Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama 32 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#20
#20
Pagi itu, Johan baru selesai mandi, ia hendak bersiap pergi bekerja, namun Sonia masih terlelap memeluk bantal guling kesayangannya. “Sayang, mana Kaos kaki dan dasiku?” tanya Johan ketika kedua tangannya sibuk mengancing kemeja.
Namun tak ada sahutan, pertanda wanita itu masih tidur, padahal saat ini sudah hampir jam 07.00, tapi Sonia seakan tak peduli, ia bisa bersantai karena dirumah sudah ada ART.
Akhirnya Johan pun menggoyangkan bahu Sonia, agar wanita itu terbangun. “Sayang,” bisiknya pelan, berbeda jauh jika yang ada di hadapannya adalah Marina, Johan pasti sudah berteriak keras jika ingin di layani.
Sonia mulai menggeliat, perlahan matanya terbuka, “Apa sih, Mas, Aku masih ngantuk, capek juga karena kemarin Aku seharian di luar rumah.” Suara Sonia merengek kesal, karena Johan mengganggu tidurnya.
“Ngapain Kamu seharian di luar rumah, katamu Cafe sudah ada yang mengurus?”
“Ya biasalah, urusan wanita, ke Salon.”
“Lagi?!”
Wajah Sonia merengut, “Iya dong, rasanya aku masih mencium aroma telur di rambutku, jadi aku ke Salon lagi untuk menghilangkan baunya,” ungkap Sonia, dan Johan hanya bisa menahan rasa kesal, melihat perilaku Sonia yang suka menghamburkan uang.
“Ya tapi nggak setiap hari juga ke Salon.”
“Kan Mas Johan janji mau bahagiain Aku, jadi kalau ke Salon bisa bikin Aku bahagia, kenapa nggak?” Sonia mengelus lengan dan dada Johan, agar pria itu luluh dengan rayuannya. “Dan lagi Aku melakukan perawatan, kan buat Kamu juga, biar Kamu gak malu kalau bawa Aku ke acara-acara resmi.”
“Hmmm baiklah, apa sekarang Kamu senang?” Sonia mengangguk dengan wajah berbinar, ia memeluk Johan karena sekarang ia menguasai uang Johan sepenuhnya.
“Oh iya, Mas bangunin Aku tadi mau apa?”
“Carikan dasi dan kaos kaki.”
“Sebentar, Aku tanya Bik Surti.” ujar Sonia, “Biik!” teriak Sonia dari depan pintu kamar, dan Johan hanya bisa menggeleng pasrah, setidaknya Sonia bisa mempercantik diri, maka soal dimana dasi kaos kaki dan dasi bukan masalah lagi.
Tapi mendadak ingatan Johan tertuju pada penampilan Marina malam itu, sangat berbeda dari hari-hari biasanya.
Sesaat Johan merasa seperti kembali melihat Marina dikala muda, saat itu memang Johan akui begitu tergila-gila pada kecantikan Marina, hingga tak perlu menunggu lama untuk memutuskan menikahinya walau gajinya masih pas-pasan.
Setelah mendapatkan apa yang Johan cari, Sonia pun membantu memasangkan dasi Johan.
“Ayo sarapan, Bik Surti sudah masak,” ajak Sonia setelah Johan siap.
Jika masakan Sonia saja Johan merasa tak cocok entah bagaimana dengan masakan pembantu baru di rumah.
Benar saja, baru suapan pertama Johan sudah merasa enggan melanjutkan makannya, padahal hanya tumis kangkung dan Ayam goreng, kenapa tak selezat masakan Marina?
Walau begitu, Johan mengabaikan perasaan rindunya tersebut, karena ia merasa kini Sonia adalah segalanya. Semua tentang Marina, kebaikannya, baktinya sebagai istri, jasanya dalam mengandung dan melahirkan keturunan untuknya, semua sudah terhalang oleh kecantikan Sonia.
•••
Beberapa hari berlalu, pesanan terus berdatangan karena kini tak hanya teman-teman kantor Amara yang mengenal sambal buatan Marina dan Farida. Tapi juga keluarga, paman, bibi, adik, kakak, bahkan saudara jauh mereka.
Untuk pesanan online memang belum terlalu banyak, karena tak bisa mencicipi rasa sambal secara langsung. Namun, Amara tak pernah absen memajang produk buatan ibunya di sosial media pribadinya.
Bahkan bila teman-teman sekolah, atau teman kuliahnya bertanya, maka dengan bangga ia menceritakan bahwa sambal tersebut buatan Ibu dan tantenya.
Kini dapur Farida mulai mulai keteteran, karena itulah Marina mengusulkan agar untuk sementara hasil keuntungan mereka diputar kembali untuk modal. Karena jika saat ini mereka menikmati keuntungan, maka bisa dipastikan mereka akan terus terlena, karena keberhasilan mereka saat ini masih di tahap permulaan.
Maka mereka pun mulai menambah aset usaha, seperti kompor, penggorengan, dan blender baru dengan ukuran lebih besar. Harapan mereka dengan adanya peralatan baru tersebut, pekerjaan bisa lebih cepat dan efisien.
Merekrut karyawan adalah salah satu solusi meringankan banyaknya beban pekerjaan, selain membeli peralatan baru tentunya. Disamping itu, Marina dan Farida juga berniat memberdayakan para ibu yang sehari-hari, hanya diam di rumah, hitung-hitung berbagi rezeki.
Maka Farida yang memilih dua orang tetangganya untuk membantu proses produksi, disamping mereka adalah wanita ulet, mereka juga tak suka nyinyir pada sesama, intinya mereka lebih banyak bekerja daripada hanya banyak bicara.
Selain itu kehadiran dua orang pegawai baru meringankan beban pekerjaan Marina dan Farida, karena kini ada yang khusus mengupas dan membersihkan semua bahan baku, sementara yang satu lagi memastikan ruangan tempat memasak tetap bersih.
Kini Garasi rumah Farida sudah alih fungsi menjadi tempat produksi, bahkan Marina mengusulkan agar mereka membuka usaha lainnya selain sambal. Pastinya tak jauh-jauh dari sambal, menunya sederhana, siapapun bisa membelinya dengan harga yang ramah di kantong. Yakni nasi sambal dengan lauk telur dadar, seperti menu kekinian yang sedang viral.
“Wah, boleh juga ide Kamu, Rin. Coba nanti malam Kita diskusikan sama Amara, biasanya ide-idenya nya Amara cukup brilian,” jawab Farida ketika menanggapi usulan Marina.
“Betul, sepertinya anakmu itu mirip sepertimu, gak bisa lihat uang nganggur, pengennya langsung diputar biar bisa bertambah.” Tak salah jika Marina memuji Amara demikian, karena itulah yang ia lihat beberapa hari terakhir ini.
Amara sangat antusias membantu, bahkan memberikan banyak usulan untuk promosi, dan lain-lain yang bisa membantu agar usaha terus berkembang pesat.
“Permisi, Paket!!” Suara seseorang di depan pintu pagar rumah Farida.
“Biar Aku yang lihat, siapa tahu itu botol kemasan yang kemarin Kita pesan.” Marina bergegas menuju teras rumah.
“Rumah Ibu Marina?” tanya sang Kurir.
“Saya Marina.”
“Tanda tangan di sini.” Kurir tersebut meminta Marina menandatangani tanda terima.
“Terima kasih,” ucap Marina.
“Sama-sama, Bu. Saya permisi,” pamit sang kurir.
Marina menatap amplop dengan logo pengadilan agama, “Alhamdulillah, prosesnya lebih cepat dari yang kuperkirakan, Ya Allah mudahkan prosesnya,” harap Marina dalam hati. Bukan bermaksud jadi istri durhaka, yang menggugat cerai suaminya, tapi buat apa bertahan jika Johan saja malu mengakuinya sebagai istri.
Di tempat lain, Johan pun mendapatkan surat yang sama, surat tersebut dialamatkan ke kantor Johan, karena Marina tak tahu alamat rumah Sonia.
Johan membeku menatap surat dari pengadilan tersebut, pikirannya berkecamuk, antara senang, tapi juga tak terima dirinya di ceraikan wanita yang sudah disia-siakannya.
“Jadi ini maumu? Baik Kita lihat nanti, Aku yakin kamu akan jadi gembel setelah bercerai dariku. Jangan harap Aku akan mengalah begitu saja soal harta gono-gini.’
Johan membuka ponselnya, ia menghubungi Diana guna meminta dukungan penuh.
bawang jahatna ya si Sonia
aku ngakak bukan cuma senyum2
itu bapak Gusman kira kira puber keberapa ya🤣🤣🤣
tp sayangnya aku malah dukung banget tuan Gusman sama Marina .. semangat tuan Gusman ..para pembaca mendukungmu