Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumit, Makin Rumit
Apa benar itu? Aku tidak percaya bahwa Ivi menyukaiku. Tidak mungkin! Jangan sahabatku lagi, aku mohon!
Saat di jam pelajaran, kami berempat kembali bermain surat-menyurat. Pada akhir percakapan dalam surat itu tertulis sebuah rencana untuk kumpul bersama di Panti Wreda. Apa yang mereka rencanakan? Tiba-tiba Arka berbisik, “Ivi suka sama lu, Val. Lu juga suka, ‘kan?”
Aku memang menyukai Ivi, tapi apa secepat ini?
“Jujur saja, lu suka juga ‘kan, Val?” tanya Arka.
“Hmm, iya … bagaimana?” tanyaku.
“Bagaimana apanya? Nanti sepulang sekolah kita ke Panti Wreda, di sana lu harus nyatain perasaan lu. Oke?” ucap Arka.
“Apa? Belum siap nih!” kataku.
“Udeh, tenang aje!” kata Arka.
“Vi, entar jadi ya kumpul di Panti Wreda?” tanya Arka.
Pasrah saja deh. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini.
Sepulang sekolah kami berkumpul di Panti Wreda. Sepanjang perjalanan menuju Panti Wreda, badan tidak hentinya gemetaran. Aku grogi, tidak mau diam dan tenang. Apa yang akan aku ucapkan nanti? Jika mengungkapkan perasaan lagi, rasa takut ditolak itu dominan. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengungkapkannya.
Arka menyuruhku mendekati Ivi yang saat itu sedang duduk di kursi bambu yang ada di bawah pohon sawo Panti Wreda. Arka menyuruhku untuk segera mengungkapkan perasaan. Aku sebenarnya ingin, tapi aku takut. Di saat yang sama, Ivi terus-menerus menunjukkan sifat yang aneh.
Dia seperti malu-malu. Terlihat dari kejauhan, dia duduk sambil menundukkan kepala dan tangan kanan yang terus mengelus-elus tangan kirinya. Seperti orang yang sedang menunggu sesuatu. Mungkin omongan Arka benar, bahwa Ivi menyukaiku. Namun aku tetap tidak percaya, aku berulang kali menghampiri Ivi, lalu pergi, dan menghampirinya lagi. Hingga beberapa kali melakukan itu. Akhirnya aku berhenti di depan gerbang Panti Wreda, di saat itu sifat pengecut ini datang. Saat Arka dan Risa tidak didekat aku dan Ivi. Mereka hanya memantau dari kejauhan.
“Vi, gue pura-pura nembak lu ya. Nanti bilang saja kalau gue sudah nembak lu ya,” kataku.
Bodoh! Kenapa aku melakukan ini? Laki-laki macam apa aku ini? Seharusnya tinggal bilang suka saja sekalian, daripada seperti ini, dua kali lebih memalukan daripada mengungkapkan cinta. Bahkan lebih memalukan daripada ditolak.
“….” Ivi pun diam. Aku mengajak Ivi menghampiri Arka dan Risa.
“Sudah nembak Dit?” tanya Arka.
“Sudah,” kataku.
“Bagaimana?” tanya Arka.
“Bagaimana apanya?” kataku.
“Diterima atau ditolak?” tanya Arka lagi.
Sial! Aku lupa hal itu. Seharusnya aku memutuskan juga ditolak atau diterima. Kenapa bohongnya tanggung begini? Sadar! Sadar! Jika aku pura-pura diterima. Apa Ivi setuju? Jika setuju berarti kami hanya pura-pura pacaran. Jika aku pura-pura ditolak, sama saja aku menjelekkan Ivi di depan mereka. Mereka mungkin akan menganggap Ivi itu orang yang tega, padahal secara tidak langsung akulah yang menyakitinya.
“Oke, gue belum nembak Ivi, Ar!” kataku.
“Lah, gimana sih? Cepat tembak dah!” kata Arka.
“….” Aku terdiam. Hatiku mulai gelisah.
Ivi mulai menjaga jarak. Sepertinya dia kecewa. Bodohnya aku, seharusnya aku bilang bahwa aku menyukainya. Tiba-tiba Arka mendorongku agar segera mengungkapkan perasaan.
“Val, cepatan tembak!” kata Arka.
“Val, cepatan tembak!” balasku. Entah apa yang aku pikirkan, tiba-tiba mencoba mengikuti semua yang dikatakan oleh Arka. Semua ucapannya, seperti orang bodoh. Mungkin karena otakku yang tidak dapat berpikir lagi, sehingga menjadi seperti ini.
“Yee, malah ikutin gue ngomong,” kata Arka.
“Yee, malah ikutin gue ngomong,” kataku.
“Serius bangke!” kata Arka.
“Serius bangke!” kataku.
Arka terlihat kesal. Aku ingin pulang. Arka mengikuti. Hingga saat keluar dari pintu gerbang Panti Wreda, Arka berlari mengejar. Aku langsung berlari hingga naik angkutan umum dan pulang. Aku benar-benar takut, takut melihat Arka besok di sekolah. Aku ingin tidak masuk sekolah tapi tidak bisa lari dari semuanya. Aku harus tetap masuk besok.
Keesokan harinya, Arka belum datang ke kelas. Ivi dan Risa tidak mengeluarkan kata apa pun pagi ini. Mereka pasti kecewa karena tingkahku kemarin, terutama Ivi. Aku menyesal saat itu. Aku mencoba tenang dan duduk di kursi. Lima menit kemudian, Arka datang. Dia juga hanya duduk dan diam. Tidak lama Arka bicara padaku.
“Eh, Val! Ke mana kemarin?” kata Arka.
“Enggak ke mana-mana,” kataku.
“Kenapa kabur?” kata Arka.
“Tentu saja karena lu ngejar-ngejar gue kayak mau bunuh orang,” kataku.
“Mengejar?” kata Arka.
“Iya kemarin lu ngamuk-ngamuk, ‘kan?” kataku.
“Yaelah, gue kemarin justru mau nanya, lu mau ke mana? Makanya gue ngejar lu!” jawab Arka.
“Alamak! Gue kira mau ngapain,” balasku. Aku kira Arka ingin membunuhku saat itu karena tidak mau mengungkapkan perasaan pada Ivi. Ternyata dia mengejar hanya karena ingin bertanya alasanku kabur kemarin.
Ivi masih diam seharian. Apa yang aku lakukan kemarin? Aku benar-benar seperti seorang pengecut yang tidak tahu diri. Padahal aku merasa inilah kesempatan untuk mendapatkan seorang yang mereka sebut pacar. Padahal tinggal sedikit lagi aku bisa menyatakannya. Ini akan jadi penyesalan yang terdalam seumur hidup.
Sepulang sekolah, aku terus memikirkan tingkah Ivi yang terus diam seharian tadi di sekolah. Aku mencoba mengirimkan SMS kepadanya. Aku ingin meminta maaf tentang kejadian kemarin. Aku bilang padanya bahwa aku tidak bermaksud untuk menolaknya. Aku menjelaskan yang sebenarnya, bahwa aku takut ditolak, dan trauma karena pernah ditolak mentah-mentah. Akhirnya dia memaafkanku. Dia mengerti itu. Namun tanpa sengaja, di akhir percakapan kami berdua, aku menyatakan perasaan lewat SMS.
Mungkin terdengar tidak etis. Aku tidak punya pilihan. Aku bilang kepadanya bahwa aku menyukainya. Dia berhenti membalas SMS-ku. Aku berpikir dia marah dan mencoba menunggu. Setelah kurang lebih 30 menit aku kembali melihat ponsel. Ivi membalas SMS-ku. Jantung ini berdebar-debar hanya untuk membuka SMS-nya, padahal tinggal menekan pilihan open tapi rasanya susah sekali, seperti ada hal yang menghalangi tangan untuk memilih pilihan itu. Aku mencoba memejamkan mata dan mulai membuka pesannya.
Val, maaf kalau soal itu, kenapa enggak dari kemarin bilangnya? Itu enggak gampang, Val. Gue masih sakit karena sifat lu kemarin. Mungkin gue butuh waktu untuk mengulangnya lagi.
Aku benar-benar terpukul dengan isi SMS dari Ivi. Aku memang bodoh. Kenapa saat itu tidak langsung menyatakannya? Aku menyesal, aku benar-benar membenci diri sendiri. Aku membalas SMS dari Ivi, aku minta maaf dan menyesali hal itu. Ivi membalasnya lagi.
Tidak, itu bukan salah siapa-siapa, lagi pula mungkin sulit dengan keadaan lu yang sekarang. Enggak apa-apa kok, tenang saja. Kita masih bisa berhubungan baik kok, Val.
Keesokan harinya, Ivi menyapaku kembali di kelas. Sepertinya dia sudah tidak marah lagi. Aku senang melihatnya, hatiku mulai lega walaupun di dalam hati masih retak karena lagi-lagi ditolak. Aku mencoba tegar dan memasang wajah ceria sebisa mungkin. Menyapa Ivi layaknya teman biasa seperti semula, tanpa ada perasaan canggung atau sejenisnya.
Tiba-tiba Arka datang, dia menceritakan suatu hal padaku. Arka bercerita bahwa sewaktu aku membatalkan untuk mengungkapkan perasaan pada Ivi dua hari yang lalu. Saat aku pulang, Arka juga mengungkapkan perasaannya pada Ivi di lapangan basket. Namun, belum ada jawaban sampai sekarang, bahkan dia bilang, dia sampai memanjat tiang basket. Di waktu yang sama, Adi yang dahulu ternyata mantan kekasihnya Ivi, juga ingin balikan lagi dengan Ivi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...