Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Yura terbangun karena kaget ketika suara alarm dari ponsel barunya meraung nyaring di ruang tengah. Ia mengucek matanya, mencoba mengingat di mana ia berada, dan baru tersadar bahwa semalam ia tertidur di sofa tanpa sempat berganti baju.
Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Meski tubuhnya masih terasa lelah, Yura memaksakan diri untuk bangkit.
“Semangat…” ucapnya lirih pada diri sendiri, mencoba menyuntikkan energi positif sebelum melangkah ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, ia selesai dengan rutinitas paginya. Setelah mengenakan pakaian rapi dan menenteng ransel, Yura keluar rumah. Jam menunjukkan pukul 06.07, lebih awal dari biasanya. Ia membuka pagar dengan cepat dan segera menjalankan mobilnya, bukan karena takut terlambat ke sekolah, tapi karena ingin menghindari kemungkinan bertemu Ardhan.
Dalam perjalanan, ia mencoba menelepon Bundanya.
Panggilan pertama… tidak dijawab.
Panggilan kedua… masih tak ada respons.
“Masih tidur kali ya?” gumam Yura sambil tersenyum kecil, menurunkan kecepatannya saat mendekati gerbang sekolah.
Sesampainya di ruangan, ia baru saja duduk ketika ponselnya bergetar. Nama “Presiden Rumah” terpampang di layar.
“Oh, Bunda!” ucap Yura sambil buru-buru mengangkat.
“Bunda!” serunya ceria.
“Hmm… ada apa Kak?” sahut suara di seberang, terdengar berat dan khas orang yang baru bangun tidur.
“Kakak ganggu ya? Baru bangun?” tanya Yura sambil terkikik pelan.
“Menurut Kakak?!” sahut Bundanya sedikit kesal, namun terdengar sayang. “Pagi-pagi banget sih nelpon, ada apa?”
“Bun… pagar rumah bisa gak diganti yang pakai remot gitu?” keluh Yura. “Capek banget tiap hari harus turun naik mobil cuma buat buka tutup pagar.”
“Lho, udah tiga tahun lebih tinggal di rumah itu baru sekarang ngeluh soal pagar? Kenapa tiba-tiba?” tanya Bundanya heran.
“Justru karena itu. Masa sampai tua harus turun-naik mobil terus cuma buat buka tutup pagar,” ucap Yura setengah bercanda.
“Nanti Bunda bilang Ayah.”
Yura tersenyum lega. “Kakak udah di sekolah loh Bun.”
“Wah, tumben banget!” suara Bunda terdengar makin terjaga. “Ternyata Kakak tinggal sendiri bisa hidup juga ya.” lanjutnya sambil tertawa.
“Ih Bunda! Kakak bisa ngurus diri sendiri juga kali!” Bundanya hanya tertawa.
“Tapi tadi sarapan gak?”
“Belum, nanti aja beli di kantin.”
“Oke deh, nanti Bunda omongin sama Ayah. Jaga diri ya, semangat.”
“Siap, Bunda juga. Bye.”
“Love you Kak.”
“Lov...”
Panggilan di matikan oleh bundanya.
Yura menatap ponselnya sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Bukan Bunda gue kalau gak nutup telepon di tengah kalimat.”
Bersamaan dengan itu, Aldin membuka pintu dan langsung disambut suara Yura yang sedang mengomel pagi-pagi.
“Kenapa lo?” tanya Aldin sambil meletakkan tasnya, sedikit heran melihat wajah kesal Yura.
“Ini Bunda nutup telepon padahal gue belum selesai ngomong!” jawab Yura sambil manyun, memajukan bibirnya kesal.
Aldin mengangkat alis. “Gak sadar diri apa, lo juga sering kayak gitu.”
“Gak yah, beda.” sanggah Yura cepat.
Sambil cemberut, Yura mengeluarkan laptop dari dalam tas.
“Eh, tapi kenapa lo tiba-tiba nelpon Bunda pagi-pagi? Bukannya lo tau beliau pasti masih tidur jam segini?” tanya Aldin penasaran.
“Gue minta pagar rumah diganti. Capek banget tiap hari naik turun mobil cuma buat buka-tutup pagar.” jawab Yura, masih fokus ke layar laptop.
Aldin mengangguk-angguk, memahami keluhannya. “Wajar sih. Lo juga baru sadar sekarang?”
Yura hanya melirik sekilas, malas menanggapi.
“Terus, lo ngapain bawa laptop segala ke sekolah?” tanya Aldin mengganti topik.
Yura langsung menoleh dengan ekspresi serius. “Lo lupa ya? Semalam lo sendiri yang nyaranin bawa.”
Aldin terbahak. Sambil mengangkat laptopnya, ia menunjukkannya pada Yura. “Santai dong, gue juga bawa kok. Jangan sensian Yur.”
“Hampir lo gue makan.” Yura menatapnya tajam, membuat tawa Aldin makin pecah.
Tak lama kemudian, Rizki masuk ke ruangan. “Ada apa tuh rame-rame?” tanyanya penasaran.
“Lo bawa laptop gak?” tanya Yura cepat, kali ini dengan tatapan tajam.
“Hah? Laptop? Buat apa?” Rizki bingung.
Pintu kembali terbuka, disusul masuknya Hana dan Febi hampir bersamaan.
“Suara kalian kedengeran sampai luar, sumpah ribut banget,” omel Hana.
“Iya tuh, kerasa banget hebohnya,” tambah Febi sambil duduk.
“Lo berdua bawa laptop gak?” tanya Yura, membalikkan badan menyapu pandangan ke arah mereka.
“Laptop? Buat apa?” tanya Febi, tampak tak tahu apa-apa.
Hana hanya tersenyum kecut sambil mengangkat tangan tanda menyerah. “Ups, gue lupa.”
“Yes!” Yura bersorak, wajahnya langsung berubah ceria. “Oke, Rizki sarapan, Febi makan siang, Hana makan malam. Deal!”
Yura menoleh ke Aldin, “Kek mana Din?”
“Oke, disepakati!” ucap Aldin sambil memberi jempol.
Ketiga temannya langsung tertunduk menyesal.
Baru mereka ingat, semalam dalam perjalanan pulang dari warung makan, Aldin memang menyarankan agar membawa laptop ke sekolah untuk mulai mengerjakan laporan PKL. Lalu Rizki, dengan semangat, bercanda kalau yang gak bawa harus traktir yang bawa. Semalam semuanya setuju, tapi pagi ini hanya Yura dan Aldin yang ingat janji itu.
“Astaga, kok bisa gue lupa,” keluh Hana sambil memegangi dahinya.
“Gara-gara lo sih Ki!” seru Febi menyalahkan Rizki.
“Lah? Lo juga setuju semalam, jangan lempar tanggung jawab dong,” Rizki membela diri.
Tawa meledak di ruangan itu. Meski pagi dimulai dengan kehebohan, suasananya hangat dan penuh tawa, sejenak menghapus lelah dari laporan PKL yang menanti.
Di tengah keheningan, ponsel Yura bergetar. Sebuah pesan dari Bundanya masuk.
"Besok pagi ada orang ke rumah buat cek ukuran pagar ya Kak."
Yura mengangguk pelan sambil membatin, “Cepat juga responnya.”
Belum sempat ia menanggapi pesan itu, Rizki memecah suasana, “Eh guys, Senin itu kita nyiapin konsumsi buat dosen gak sih?”
Febi menanggapi sambil berpikir, “Bagusnya sih iya.”
Hana ikut menyahut, “Jadi gimana? Setiap dosen masuk ruangan kita kasih snack gitu?”
“Iya, jadi masing-masing dari kita bawa aja, satu jenis makanan ringan gitu atau jajanan pasar,” ujar Febi, memberikan usulan.
Yura menimpali, “Makan berat juga? Atau cukup snack aja?”
“Siapin juga lah, nanti kan mereka di ruangan kita lumayan lama.” kata Rizki.
“Ngasih guru-guru juga gak? Sama satpam?” tanya Febi sambil menoleh ke teman-temannya.
Semua terdiam sejenak, memikirkan hal itu.
“Gak enak sih kalau gak ngasih,” ucap Hana pelan, tapi jelas.
“Jumlah guru dan satpam ada berapa ya?” tanya Yura, mulai menghitung dalam hati.
Rizki mengernyit. “Kenapa emang?”
“Ya biar tau mau nyiapin berapa bungkus. Kalau ngasih, ya sekalian semuanya. Jangan sampe ada yang gak kebagian, malu dong.”
Aldin, yang dari tadi mendengarkan sambil buka laptop, akhirnya angkat suara, “Guru sekitar dua puluh empat orang, satpam dua. Total berarti dua puluh enam. Kalau ditambah dosen sama kita, ya kira-kira tiga puluh duaan lah.”
“Oke. Nanti kita cari mau pesan dimana, soalnya gak mungkin buat kan,” ujar Hana, sambil memperhatikan ponselnya.
"Oke, soal snack gimana?" tanya Aldin.
“Jangan bawa snack basah semua ya, harus ada yang tahan lama juga," ucap Febi.
“Dan jangan bawa yang banyak minyak, ntar dikira jualan minyak lagi,” celetuk Rizki disambut tawa yang lainnya.
Yura tersenyum melihat kekompakan mereka. Meski kadang ribut dan saling sindir, tapi kalau soal tanggung jawab, mereka tetap satu suara.