Bukan Sekedar Takdir

Bukan Sekedar Takdir

Bab 1

"Kenapa gue bisa kesiangan sih," gerutu Hana kesal sambil merapikan rambutnya yang masih acak-acakan.

"Kenapa lo gak bangunin gue?" tanya Hana dengan nada setengah marah ke sahabat karibnya, Yura.

Yura hanya diam sambil menikmati sarapan rotinya. Tanpa berkata-kata, ia menyuapkan sepotong roti ke mulut Hana, seolah menyuruhnya diam, lalu berdiri dan berjalan keluar rumah.

"Bener-bener lo ya... tungguin woy!" seru Hana. Ia dengan cepat mengambil ransel dan berlari mengejar Yura.

Sepanjang perjalanan, Hana terus mengomel.

"Parah lo, masa gak bangunin gue sih? Tahu gitu gue pasang tiga alarm," omelnya.

"Gak habis-habis lo ngomelin gue," sahut Yura santai.

"Ya abisnya salah lo juga gak bangunin gue," balas Hana masih dengan nada kesal.

Yura hanya diam, membiarkan Hana mengeluarkan uneg-unegnya.

Sesampainya di sekolah tempat mereka melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) sebagai guru, mereka langsung berjalan cepat menuju ruangan.

"Haduuuh anak gadis, tumben telat hari ini? Habis kencan ya semalam?" goda Bu Marni, salah satu guru senior yang cukup akrab dengan mereka.

"Hehehe, gak lah Bu cantik," elak Hana sambil nyengir.

"Udah, cepat! Kita ada rapat!" potong Yura sambil menarik lengan Hana. "Kami duluan ya Bu," ucapnya berpamitan.

Bu Marni menganggukkan kepalanya, "Cepat, Bu Tina tadi sudah ke ruang rapat." ucapan Bu Marni membuat mereka panik.

Mereka pun bergegas ke meja masing-masing untuk menyiapkan berkas yang akan dibawa ke rapat.

"Untung berkasnya udah disiapin kemarin. Kalau enggak, bisa-bisa kena ceramah duluan nih," kata Hana lega.

"Makanya, kalau dibangunin itu langsung bangun," sahut Yura ketus.

"Mana ada lo bangunin gue?" Hana menatap Yura tak percaya.

"Serah lo Han," jawab Yura cuek, lalu melangkah menuju ruang rapat.

"Yeeeee," balas Hana, lalu buru-buru menyusul.

Di ruang rapat, sudah ada dua anggota kelompok mereka yang lain, serta Bu Tina, guru utama yang membimbing mereka selama PKL di sekolah.

"Siapa lagi yang belum datang nih?" tanya Bu Marni sambil melihat jam tangannya.

"Aldin Bu, mungkin masih di jalan," jawab Febi ragu-ragu karena tidak yakin kalau Aldin sudah di jalan atau tidak.

"Ini sudah hampir lewat waktunya. Coba hubungi temannya," perintah Bu Tina tegas.

Tanpa menunggu lama, mereka semua segera mengecek ponsel dan mengirimkan pesan ke grup WhatsApp kelompok mereka.

Beberapa menit kemudian, Rizki berseru, "Bu, Aldin sudah di parkiran katanya."

Bu Tina hanya mengangguk. "Baiklah, kita tunggu sebentar lagi. Tapi lain kali jangan sampai telat. Kedisiplinan itu penting, apalagi kalau kalian ini calon guru."

Hana dan Yura saling berpandangan, lalu tertawa kecil.

"Untung kita cuma nyaris telat," bisik Yura.

"Kalau telat beneran, bisa-bisa disuruh buat laporan refleksi lima halaman," bisik Hana sambil menahan tawa.

Setelah Aldin sampai, rapat pun langsung dimulai, walaupun diawal kena kultum singkat karena kami tidak tepat waktu.

“Sampai sini saja, untuk selebihnya langsung tanyakan ke guru mapel,” ucap Bu Tina menutup rapat dengan suara tegas namun hangat.

“Baik, Bu. Terima kasih,” jawab kami serempak.

Begitu Bu Tina meninggalkan ruang rapat, suasana yang tadinya serius langsung berubah menjadi santai. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh kami berempat untuk menginterogasi Aldin yang biasanya paling rajin tapi hari ini justru datang terlambat.

“Tumben banget lo telat hari ini Din?” tanya Rizki sambil menatap Aldin penuh curiga.

“Gue nggak bisa tidur semalam, baru bisa merem jam lima pagi,” jawab Aldin dengan wajah lelah.

“Pantesan, mata lo kayak panda,” celetuk Febi sambil tertawa kecil.

“Eh, lo berdua juga hampir telat, kenapa?” tanya Febi lagi, kali ini melirik Hana dan Yura.

“Hana nginep di rumah gue, dan lo tau kan kebo satu ini kalau udah tidur susah banget dibangunin,” jawab Yura sambil melirik kesal ke arah Hana. “Untung dia bangun sebelum gue berangkat, kalau enggak udah gue tinggal.”

“Jahat banget lo!” sahut Hana tak terima. “Mana niat ninggalin gue segala.”

“Bodo amat. Siapa suruh tidur kayak mayat,” balas Yura sambil menyeringai.

“Capek banget gue liat kalian berdua ribut terus tiap hari. Siapa sih yang ngide bikin kalian sekelompok?” Rizki menghela napas, pura-pura frustrasi.

“Yang jelas bukan gue!” jawab Hana cepat.

“Dih, muncung kau itu,” balas Yura tak mau kalah. "Jelas-jelas lo yang ngikutin gue."

“Dah, dah, dah! Bubar-bubar! Gak ada ujungnya nih dua bocah kalau udah saling sindir,” potong Febi sambil bangkit dari duduk. Ia lalu keluar dari ruang rapat.

“Duluan,” ucap Rizki sambil mengikuti di belakangnya.

Aldin menepuk bahu Yura dan Hana secara bergantian. “Udah, ayooo... bentar lagi bel. Masih mau ribut di sini sampai tua?”

Yura dan Hana hanya saling pandang, lalu tertawa kecil, menyadari betapa seringnya mereka ribut soal hal-hal sepele.

Dan benar saja, belum sempat mereka duduk lama di meja masing-masing, suara bel berbunyi nyaring.

“Yuk, jalan! Kita jadwal ngajar bareng sekarang,” seru Febi sambil berdiri.

Dengan tergesa, mereka berlima mengambil perlengkapan mengajar dan bergegas menuju kelas masing-masing. Walau banyak drama kecil di pagi hari, semangat mereka sebagai calon guru tetap membara.

...****************...

“Lelah banget…” desah Aldin sambil menjatuhkan diri ke kursi di ruangan mereka.

“Ngapain juga sih lo olahraga di lapangan? Udah tahu panasnya kayak neraka bocor, kasihan tuh anak-anak,” tegur Hana dengan nada setengah menyindir.

“Yah masa iya gue ajak mereka olahraga di dalam kelas? Ngadi-ngadi banget lo,” balas Aldin sedikit kesal.

“Kan bisa aja di gedung olahraga njir,” timpal Hana, masih tak mau kalah.

“Gue tahu kali njir! Tapi materinya beda, nggak semua bisa dipindah ke indoor. Sewot banget sih lo,” kata Aldin, mulai emosi.

“Ucapannya dijaga ya, kawan-kawanku tercinta,” potong Febi dengan nada tenang. “Sekarang jam istirahat, banyak siswa yang lalu-lalang, jaga sikap.”

“Untung kita dapet ruangan sendiri,” tambah Rizki sambil merebahkan punggung di sandaran kursi. “Kalau gabung sama guru-guru lain, bisa-bisa tiap hari kena tegur.”

“Betul tuh. Kalau gue sih, selalu menjaga ucapan ya,” ucap Yura dengan gaya centil khasnya.

“Oh, shit!” celetuk Febi spontan, disusul oleh tawa tertahan.

“Disgusting!” sahut Hana, menirukan gaya dramatis seperti di film-film, sambil menatap Yura dengan ekspresi jijik bohongan.

Rizki dan Aldin hanya bisa saling pandang, lalu memutar bola mata mereka hampir bersamaan.

“Gue gak kenal sama mereka, asli,” kata Aldin cepat.

“Bukan temen gue!” sahut Rizki pura-pura kesal.

“Haduh, dasar kalian…” Yura tertawa terbahak-bahak sampai menepuk-nepuk lututnya sendiri.

Ruangan itu pun kembali dipenuhi dengan gelak tawa. Meski kelelahan setelah mengajar, canda dan keusilan khas mereka selalu berhasil mencairkan suasana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!