NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:270
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TATAPAN YANG BERUBAH

Utusan Permaisuri muncul di ambang pintu kediaman Pangeran Wang dan Zhao. Sikapnya kaku, matanya lurus menatap Zhao.

"Yang Mulia Permaisuri memanggil Nona Zhao untuk segera menghadap," ucapnya tegas.

Zhao menahan napas.

"Astaga... Dia tahu lebih cepat dari yang kuduga."

Pangeran Wang yang berdiri di sampingnya langsung menoleh. Sorot matanya tajam dan khawatir.

"Kau yakin ingin menemuinya sekarang?"

Zhao mengangguk pelan.

"Mau bagaimana lagi? Beliau memanggilku... akhir-akhir ini justru terasa seperti sedang mengawasi setiap gerakanku."

Wajah Pangeran Wang mengeras.

"Dia pasti sedang mencoba menekanku melalui dirimu."

Zhao tersenyum kecil, seolah menyembunyikan keresahan.

"Tidak apa-apa. Kalau memang tak menyukaiku, seharusnya dari awal dia bisa menggagalkan pernikahan ini. Tapi nyatanya… dia tetap membiarkannya terjadi."

Pangeran Wang menatapnya lama, matanya menyipit.

"Aku tak mau siapa pun mengacaukannya" gumam zhao

Zhao menatap pangeran wang, sorotnya hangat.

" aku akan hadapi semuanya. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusaknya."

Pangeran Wang mengangkat tangannya, menepuk bahu Zhao lembut.

"Aku akan ikut bersamamu."

Zhao menggeleng sambil tersenyum.

"Tidak usah. Nanti kau susul saja. Kalau kau ada di sampingku, aku malah makin canggung bicara dengannya."

Pangeran Wang tampak ingin membantah, namun Zhao lebih dulu membungkuk ringan.

"Aku tidak akan lama."

Dia berbalik dan melangkah pergi, gaunnya berkibar diterpa angin. Pangeran Wang memandang punggung Zhao sampai sosoknya menghilang di kejauhan.

---

Beberapa saat kemudian, Meilan datang menghampiri Pangeran Wang. Ia menunduk memberi hormat.

"Apa yang kau temukan?" tanya Pangeran Wang dengan nada dingin namun tegas.

"Saya berhasil bicara dengan wanita itu. Dia mengaku dibayar oleh seorang dayang dari istana," jawab Meilan cepat.

Pangeran Wang terdiam, matanya menyipit penuh kalkulasi.

"Saya mencurigai Nona Hwa Jin. Jadi saya menunjukkan sketsa wajahnya dan juga dayangnya… dan benar, dayang pribadinya yang melakukannya," lanjut Meilan mantap.

Pangeran Wang mengepalkan tangan.

"Aku sudah menduganya sejak Zhao bilang dia diajak oleh Hwa Jin. Tapi aku menahan asumsi… karena belum ada bukti nyata. Dan sekarang… kau membawakannya padaku."

---

Di istana Permaisuri,

Zhao berlutut dan menundukkan kepala di hadapan wanita paling berkuasa itu.

"Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" suara Permaisuri terdengar tajam, nyaris dingin seperti es.

Zhao tak langsung menjawab.

"Aku yakin kau tahu," lanjut Permaisuri, matanya menatap lurus pada Zhao.

Zhao mengangkat wajah sedikit.

"Maaf, Yang Mulia… Tapi itu terjadi karena dia lebih dulu mengusikku."

Permaisuri menaikkan alis.

"Seorang istri Pangeran seharusnya tidak terpengaruh oleh godaan atau provokasi seperti itu."

Zhao menggenggam roknya erat, menahan emosi.

"Aku bisa diam saat direndahkan, dihina. Tapi tidak… saat suamiku ikut mereka hina. Itu batasnya."

Permaisuri mengamati Zhao, sejenak matanya menunjukkan keterkejutan namun cepat tertutup kembali oleh dinginnya sikap bangsawan.

"Tapi kau masih dalam masa hukuman. Bagaimana mungkin kau berkeliaran sesukamu?" tanyanya dingin.

Zhao terdiam.

"Jika aku menyebut nama Hwa Jin, dia akan terlibat. Tidak… ini bukan waktunya." Batinnya

"Kenapa diam? Tak bisa mencari alasan?" ujar Permaisuri dengan nada menyudutkan.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya ceroboh… saya salah," ucap Zhao dengan suara berat dan mata tetap menunduk.

Permaisuri bersandar ke sandarannya, matanya tajam.

"Itu yang ingin kudengar. Karena kelalaianmu dalam menjalani hukuman, membuat onar di pasar, dan mempermalukan nama keluarga kerajaan, kau akan dihukum: berlutut di bawah sinar matahari, tepat di depan istanaku, sampai matahari turun."

Zhao mengepalkan tangannya, lalu perlahan berdiri.

"Baik, Yang Mulia…" ucapnya datar, menunduk memberi hormat sebelum berjalan keluar.

---

Beberapa saat kemudian, Zhao sudah berada di bawah teriknya matahari siang, berlutut di halaman istana Permaisuri. Gaunnya perlahan mulai basah oleh keringat, namun pandangannya tetap lurus ke depan. Dayang-dayang hanya berani memperhatikan dari jauh.

Di dalam, Permaisuri duduk diam menatap keluar jendela, ekspresinya sulit ditebak.

"Jika kau ingin berdiri di sisinya… maka kau juga harus sekuat dirinya," gumamnya pelan.

---

Sementara itu, di taman belakang, Pangeran Wang masih berbicara dengan Meilan.

"Yang mulia harus memberitahu Pangeran Yu… sebelum Hwa Jin terlalu jauh. Aku tak ingin mengulang tragedi seperti Nona Lee. Keselamatan Zhao juga bisa terancam," ucap Meilan penuh kekhawatiran.

Pangeran Wang menatap langit.

"Tak kusangka. Kupikir hati Hwa Jin cukup tenang untuk tidak terpengaruh."

"Hati yang murni tak selamanya kuat," ucap Meilan pelan.

"Apalagi saat ia selalu menyaksikan Nona Zhao dikelilingi oleh tiga pangeran. Sedangkan hidup Hwa Jin… terlalu sunyi."

Pangeran Wang mengepalkan jemarinya.

"Dan sunyi itu ternyata cukup untuk goyah… saat angin datang menerpa."

Ia menatap Meilan tegas.

"Aku akan temui Pangeran Yu setelah menyusul Zhao di kediaman ibuku."

Meilan tiba-tiba tampak kaget.

"Yang Mulia… Nona Zhao sekarang berada di istana Permaisuri!"

Pangeran Wang membalikkan badan dengan sorot terkejut.

"Apa?"

"Dia sedang dihukum. Saat ini sedang berlutut di bawah sinar matahari… di depan istana Permaisuri," lapor pengawal yang baru saja datang.

Pangeran Wang dan Meilan saling berpandangan. Wajah mereka sama-sama tegang.

Terik matahari memantul dari atap istana, membakar lantai batu tempat Zhao berlutut. Keringat menetes dari dagunya, matanya sudah mulai sayu. Tapi tubuhnya tetap tegak.

Langkah yang sangat ia kenali terdengar menghampiri. Pangeran Wang berhenti tepat di hadapannya dan tanpa berkata sepatah kata pun, ia ikut berlutut di samping istrinya.

"Zhao... Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya lirih, meski nada suaranya tetap tegas.

Zhao menoleh sedikit.

“Pangeran, ini bukan tempatmu. Ini wilayah Permaisuri. Kumohon… mundurlah,” bisiknya lembut.

Meilan yang berdiri tidak jauh hanya bisa menunduk, ikut menahan napas.

Namun Pangeran Wang tak bergeming. Tatapannya mengamati wajah Zhao yang memerah karena panas.

"Wajahmu memerah… mataharinya terlalu terik. Ayo ikut aku."

Zhao menggeleng lemah.

"Aku tidak apa-apa. Ini hukumanku. Dan aku tak akan lari darinya."

Pangeran Wang mengepalkan jemarinya.

"Tapi ini bukan salahmu. Kau dihukum karena membelaku."

Zhao tersenyum tipis, lemah tapi tulus.

"Dan aku tidak menyesal melakukannya."

Melihat tekad di mata istrinya, Pangeran Wang berdiri. Tanpa ragu, ia melangkah masuk ke istana ibunya tanpa permisi, tanpa pengawal. Ia menerobos masuk seperti badai yang tak bisa dibendung.

Permaisuri yang tengah duduk dengan tenang di dalam langsung menatapnya.

"Sudah kuduga, kau pasti akan menerobos masuk," ucapnya tenang, namun mata tajamnya tak dapat menyembunyikan amarah.

"Kenapa anda menghukumnya seperti itu? Dia tidak bersalah! Dia hanya membelaku," tegas Pangeran Wang.

Permaisuri tersenyum tipis, getir.

"Itu tak mengubah apa pun. Dia tetap melanggar."

Pangeran Wang menatap lurus ke mata ibunya.

"Kau bisa menekanku sepuasmu. Tapi jangan sentuh dia."

Tatapan Permaisuri mengeras.

"Jadi... kau benar-benar menyukainya?"

"Itu bukan urusan Yang Mulia."

"Aku ibumu, Wang! Kau tidak pantas bicara seperti itu padaku!"

"Dan dia istriku. Aku tak peduli siapa pun itu bahkan Anda. Aku tak akan membiarkan siapa pun menyakitinya."

Permaisuri berdiri perlahan, suara gaunnya menggesek lantai marmer.

"Kalau begitu, aku akan menyiapkan selir untukmu. Mari kita lihat seberapa kuat perasaanmu itu."

Pangeran Wang menatapnya dingin.

"Silakan... kalau Anda mampu."

Tanpa memberi kesempatan lagi, ia membalikkan badan dan melangkah keluar.

"Jangan coba-coba membawanya lari dari hukuman, Wang!" teriak Permaisuri dari belakang.

Namun Pangeran Wang tak menoleh sedikit pun.

---

Di luar, Zhao masih berlutut ketika sepasang tangan tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan tegas namun hati-hati.

"Pangeran… apa yang kau lakukan? Kau tak boleh..." ujar Zhao panik.

"Diamlah. Aku suamimu. Dan kau... ikut saja," ucap Pangeran Wang sambil terus menggendongnya.

"Tapi ibumu…"

"Kau percaya padaku?" tanyanya cepat.

Zhao terdiam. Lalu perlahan mengangguk, pasrah dalam dekapannya. Meilan mengikuti di belakang, dan semua dayang di sekeliling hanya bisa menunduk tanpa suara, menyaksikan pemandangan langka itu.

Dari balik tirai istananya, Permaisuri memandangi mereka. Matanya tajam, namun ada sekilas rasa yang sulit dijelaskan dalam sorotnya.

"Sepertinya… darah wanita itu masih hidup dalam dirinya. Wanita yang dulu pernah mengambil hati kaisar dan menentangku, kini hidup kembali dalam tubuh istri putraku sendiri," gumamnya lirih, nyaris seperti mengakui sesuatu yang selama ini ia tolak.

---

Di kediaman Zhao dan Pangeran Wang

Pangeran Wang meletakkan tubuh Zhao perlahan di atas tempat tidur.

"Istirahatlah. Aku akan minta Meilan menggantikan pakaianmu dan membawakan air dingin," ucapnya dengan nada datar, tapi ada kehangatan yang perlahan terasa.

Saat ia hendak beranjak, Zhao menarik lengannya.

“Kau… melawan ibumu demi aku?” bisiknya pelan.

Pangeran Wang menatapnya lama.

“Kau lebih dulu melindungiku hari ini. Aku hanya membalasnya.”

Zhao menunduk, suaranya mulai melemah.

“Lalu… ibumu…?”

“Itu urusanku. Kau cukup berada di sampingku. Aku akan melindungimu… selalu.”

Zhao tersenyum haru. Ia perlahan menarik tubuh Pangeran Wang dan memeluknya erat dari pinggang. Untuk sesaat, pria itu terdiam… lalu memejamkan mata dan membalas pelukan itu.

"Ada yang harus aku urus. Kau istirahat dulu. Aku akan segera kembali," ucapnya lembut di telinga Zhao sebelum beranjak.

Zhao mengangguk pelan. Pangeran Wang tersenyum, mengusap rambutnya, dan melangkah keluar.

Saat pintu menutup, Zhao menyentuh dadanya.

"Apa dia… mulai memperhatikanku?"

---

Di ruang pribadi Pangeran Yu

Pangeran Yu memutar tubuh saat mendengar pintu terbuka.

“Kakak? Ah, ya… Aku dengar Zhao mendapat masalah di kediaman permaisuri. Aku belum sempat bertemu dengannya karena banyak urusan. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pangeran Wang menatap adiknya lama.

“Sebaiknya… kau tak terlalu sering menemuinya.”

Pangeran Yu terdiam.

“Kakak?”

“Bukan hanya demi perasaanku… tapi juga demi perasaan istrimu.”

Pangeran Yu tampak bingung.

“Perasaan Hwa Jin? Maksudmu apa? Dia baik-baik saja. Kami tidak pernah mempermasalahkannya…”

“Karena kau tak pernah benar-benar melihat matanya, Yu. Kau hanya melihat senyumnya.”

Perlahan, ekspresi Pangeran Yu berubah lebih serius. Pangeran Wang lalu menceritakan segalanya tentang rencana licik dayang Hwa Jin, tentang pasar, tentang sketsa wajah, dan siapa di baliknya.

Pangeran Yu terdiam. Sulit dipercaya, tapi mulutnya tak mampu membantah. Bukan hanya karena ini dari Pangeran Wang tapi juga karena ini menyangkut Zhao.

Dua orang yang paling ia percaya.

Pangeran Wang menepuk bahu adiknya.

“Sekarang giliranmu yang bertindak. Aku sudah melakukan bagianku.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Pangeran Yu yang kini terdiam dalam pergolakan hati yang mulai membara.

Di kediaman pribadi Hwa Jin, suasana terlihat damai. Udara sore yang sejuk menyelinap lewat jendela, mengayun lembut tirai tipis berwarna gading. Di tengah ruangan, Hwa Jin duduk dengan anggun, tangan rampingnya sibuk menyulam sehelai kain putih. Ekspresinya begitu tenang, nyaris polos seolah tak ada yang pernah terjadi.

Zhao melangkah masuk perlahan.

Tatapannya lembut, namun ada ketegasan tenang di balik sorot matanya. Tanpa bantuan Meilan pun, ia sudah cukup peka untuk memahami situasi yang sedang terjadi… dan siapa yang mungkin berada di balik semua ini.

Hwa Jin menoleh, senyumnya hangat seperti biasa.

“Kakak Zhao…?”

Zhao membalas senyuman itu. Sama seperti biasa hanya saja, senyum itu kini terasa lebih berat.

“Kakak, ada keperluan apa datang ke sini? Apa ada yang ingin kau ceritakan?” tanya Hwa Jin lembut, nadanya tetap manis, seperti tak ada badai yang tengah menunggu.

Zhao melangkah mendekat.

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Tadi pagi, kau tiba-tiba menghilang saat aku berkelahi. Aku mencemaskanmu... kau terlalu lembut untuk melihat hal-hal seperti itu.”

“Ah… maafkan aku, Kak,” jawab Hwa Jin cepat. “Aku… gemetar melihatmu seperti itu. Bukannya membantu, aku justru melarikan diri seperti pecundang.”

“Pecundang, ya?” Zhao menatapnya dalam. “Rasanya… bukan itu sebutannya.”

Hwa Jin tersenyum tipis, namun tatapannya sedikit goyah.

“Hmmm…”

“Aku tidak mengerti perasaanmu. Bahkan… aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam dirimu. Karena selama ini yang aku kenal, Hwa Jin… begitu lembut.”

Ekspresi Hwa Jin mulai berubah.

“Kakak… maksudmu apa?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

“Jika aku pernah menyakitimu, tolong katakan saja. Aku bukan orang yang bisa membaca luka dari diam. Apalagi dari senyum yang kau paksa tetap indah.”

Hwa Jin terdiam. Jari-jarinya berhenti menyulam. Ia mencoba tetap tenang.

“Kakak… kau sepertinya membahas sesuatu yang aku tak pahami,” jawabnya, masih mencoba menghindar.

Zhao tersenyum kembali. Kali ini lebih tulus… namun penuh luka.

“Tidak, tidak. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Itu saja.”

Hwa Jin ikut tersenyum, tapi senyum itu tak sepenuhnya sampai ke matanya.

Zhao menahan napas. Matanya memanas. Ia membalikkan badan, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh.

“Maafkan aku kalau nanti aku mulai jarang memperhatikanmu… Bukan karena aku tak peduli. Tapi… mungkin karena aku mulai asing dengan tatapanmu.”

Ia melangkah pergi, membuka pintu perlahan. Di luar, angin sore menyambut wajahnya yang masih lembap oleh emosi yang tertahan.

Di balik punggungnya, Hwa Jin menatap kepergian Zhao. Air matanya jatuh perlahan diam-diam. Rasa bersalah dan cemburu bergumul dalam dadanya, saling mencakar.

Ia belum sempat bicara, belum sempat menjelaskan semua yang ia rasakan. Zhao masih bersikap baik… dan justru itulah yang menyakitkan.

Di ambang pintu, berdiri sosok lain.

Pangeran Yu.

Ia sedari tadi berdiri di sana, mendengar percakapan itu. Tatapannya jatuh pada Hwa Jin yang menangis… dan kemudian berpindah ke Zhao yang berjalan menjauh.

Beberapa langkah di belakang, Pangeran Wang menyusul. Ia menyentuh lengan Zhao dan menggandengnya dengan tenang.

Zhao menoleh, menatapnya. Pangeran Wang tersenyum hangat, tanpa kata.

Zhao membalas senyum itu.

Di kejauhan, Pangeran Yu tetap berdiri di tempatnya.

Menatap dua orang yang kini berjalan pergi bersama…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!