NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19

Shaka duduk di ruang kerjanya yang modern di lantai tertinggi kantor pusat Darmawan Corp di Jakarta. Dari balik jendela kaca lebar, gedung-gedung pencakar langit tampak seperti pion-pion diam dalam permainan besar yang sedang ia kendalikan.

Di hadapannya, beberapa layar monitor menampilkan grafik saham dan laporan intelijen digital. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, menyusun strategi.

Shaka berbicara tegas melalui headset, "Saham kita stabil. Tapi Wiraguna... penurunannya makin curam. Fokuskan tekanan ke lini properti dan logistik mereka. Pastikan investor mereka mulai gelisah."

Damar menjawab dari seberang, "Kami sudah tempatkan tekanan di jalur distribusi mereka. Tiga perusahaan rekanan sudah mulai menarik diri. Butuh instruksi lanjutan?"

Shaka menjawab tenang, "Gunakan media untuk meniupkan isu. Jangan terlalu frontal, cukup buat mereka tampak rapuh. Masyarakat akan menghakimi sendiri."

Ia berdiri dan berjalan ke arah mini bar kecil di sudut ruangan, menuangkan air putih ke gelas tinggi.

Shaka menatap pantulan dirinya di kaca. Pandangan matanya tajam. "Aku tahu Rendra akan menyerang dengan cara licik. Tapi dia lupa, aku lahir dari tekanan yang lebih keras."

Setelah jeda sebentar, ia menambahkan, "Kita belum buka semua kartu. Tapi satu langkah lagi, dan mereka akan jatuh."

Kembali ke meja kerjanya, Shaka mendapat laporan tentang Maura—gadis yang diam-diam menjadi titik lemahnya. Foto wajah Maura terpampang di pojok layar. membuatnya berhenti dan membaca lebih serius.

Laporan itu berisi pantauan tentang Maura dan rumah Oma. Penjagaan di rumah Oma sangat ketat, jadi pihak lawan tak bisa menembusnya. Tapi Maura berbeda. Ia sering pergi sendiri, tanpa sopir atau pengawal, karena merasa risih selalu diawasi.

Shaka menghela napas. Ia tak menyangka maura akan di targetkan oleh musuhnya. Ia harus segera bertindak dengan memberikan pengawalan kepada nya. tahu Maura apakah dia mau ? tapi ini soal keselamatan.

Ia langsung menekan tombol di jam tangannya dan terhubung dengan kepala keamanannya.

“Pastikan ada penjaga bayangan untuk Maura. Jangan sampai dia sadar, tapi tetap awasi dia setiap saat.”

“Siap, Pak. Kami hampir kehilangan jejaknya tadi karena target masuk kawasan kampus .”

“Tingkatkan pengawasan. Jangan biarkan ada celah.”

Setelah menutup komunikasi, Shaka menatap titik lokasi Maura di layar. Ia berbisik pelan, “Aku harus melindungi kamu, Maura. Apapun yang terjadi.”

Shaka segera mengambil ponselnya dan menekan nama Maura. Tak butuh waktu lama, panggilannya langsung diangkat.

"Halo, Shaka," suara Maura terdengar lembut di seberang.

"Kamu lagi dimana sekarang?" tanya Shaka tanpa basa-basi.

"Masih di kampus. Baru selesai kelas," jawab Maura heran, karena biasanya Shaka jarang menelepon di siang hari.

"Aku mau ketemu sebentar. Bisa keluar pas jam istirahat? Kita ketemu di depan kampus."

Maura diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Oke, aku sempatin. Tapi sebentar aja ya, habis itu ada kelas lagi."

"Nggak lama. Aku tunggu."

Panggilan terputus. Shaka langsung bersiap, mengambil kunci mobilnya dan menuju ke luar gedung. Wajahnya serius, jelas ada hal penting yang ingin disampaikan.

Begitu kelas usai, Maura bergegas keluar dari gedung kampus. Langkahnya cepat menuju gerbang depan, matanya langsung menangkap mobil Shaka yang terparkir rapi di tepi jalan. Tanpa ragu, ia mendekat dan mengetuk jendela kaca.

Kaca jendela perlahan turun, memperlihatkan wajah Shaka yang serius.

"Masuk aja," katanya singkat.

Maura membuka pintu dan duduk di sampingnya. Begitu pintu tertutup, Shaka langsung menyalakan mesin dan melajukan mobilnya tanpa banyak bicara.

"Ke mana kita?" tanya Maura pelan, menoleh ke arahnya.

"Ke apartemenku. Ada yang harus aku bicarakan langsung sama kamu," jawab Shaka dengan nada tegas namun tetap tenang.

Maura mengangguk pelan, mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba berdegup lebih cepat dari biasanya.

Maura melirik jam tangannya, lalu menoleh ke arah Shaka dengan raut bingung.

"Ada apa, Shaka? Aku masih ada kelas lagi nanti," ujarnya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan.

Shaka tak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jalan, ekspresinya dingin seperti biasa. Tapi nadanya terdengar mantap saat akhirnya bicara.

"Aku yang akan urus. Tenang saja," katanya singkat.

Maura terdiam. Ia tahu, kalau Shaka sudah bicara seperti itu, artinya tak ada ruang untuk perdebatan.

Maura hanya mengangguk kecil ketika Shaka menyuruhnya masuk ke mobil. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Shaka, tapi firasatnya mengatakan ini bukan sekadar ajakan biasa. Selama perjalanan, tak satupun kata terlontar. Hanya suara mesin mobil yang menemani keheningan di antara mereka.

Sesampainya di lobi apartemen, Shaka turun lebih dulu. Ia tidak menunggu Maura untuk turun bersamaan seperti biasanya. Maura sedikit bingung, tapi tetap mengikuti langkah cepat pria itu. Shaka menekan tombol lift dan berdiri di depannya dengan ekspresi sulit ditebak.

Lift datang. Mereka masuk berdua. Shaka kembali menekan tombol lantai atas, lalu berdiri tegak dengan tatapan lurus ke depan.

Maura diam. Suasana dalam lift terasa begitu menegangkan. Bahkan bunyi lembut dari musik instrumental yang mengalun di dalam lift pun tak bisa mencairkan suasana. Matanya menoleh sesaat, memperhatikan garis rahang Shaka yang mengeras. Wajahnya terlihat tegang, seperti menahan sesuatu yang ingin ia lontarkan, tapi masih ragu.

Maura pun mencuri pandang, namun segera mengalihkan tatapan saat Shaka sempat melirik ke arahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha bersikap biasa saja, tapi suasana ini terlalu sunyi untuk diabaikan.

Saat lift hampir mencapai lantai tujuan, Maura akhirnya membuka suara.

"Ada apa, Shaka?" tanyanya pelan namun jelas.

Shaka hanya menghela nafas pelan. "Nanti kita bicara di atas."

Nada bicaranya tenang, tapi dingin dan tegas. Tak membuka ruang untuk bertanya lebih jauh.

Lift berbunyi, pintu terbuka.

Shaka melangkah lebih dulu, Maura mengikutinya dari belakang. Ia berusaha menebak-nebak maksud Shaka, tapi pikirannya sendiri dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.

Sesampainya di depan pintu unit, Shaka menggesekkan kartu akses. Pintu terbuka. Tanpa berkata apa-apa, ia masuk dan langsung berjalan ke ruang tamu. Maura menyusul, tapi langkahnya pelan dan ragu.

Shaka duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya dengan pandangan mengarah ke luar jendela besar apartemen yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang padat. Hening lagi.

Maura berdiri di dekat pintu, menunggu.

"Maura, duduklah," ucap Shaka akhirnya, suaranya pelan namun cukup terdengar jelas.

Maura menuruti, duduk dengan rapi di ujung sofa, menjaga jarak. "Kenapa kamu ajak aku ke sini?"

Shaka menatapnya sesaat, lalu menjawab. "Aku dapat laporan, ada yang mengawasimu. Dari musuh dalam lingkungan bisnis ku"

Maura terkejut. "Mengawasiku? Kenapa? Kenapa aku ?”.

"Karena mereka tak bisa menyentuh Oma. Penjagaan terlalu ketat. Jadi mereka cari celah lain. Dan kamu, Maura... kamu celah itu. Mereka tau kamu dekat dengan aku. “

Maura menunduk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya.

"Aku... aku nggak pernah mau ada di tengah semua ini," bisiknya.

"Aku tahu," kata Shaka lirih. "Tapi kamu sudah di sini. Mau tak mau kamu terlibat. Dan aku nggak akan biarkan mereka menyentuhmu, satu rambut pun."

Tatapan Shaka mengeras. Tapi dibalik itu, ada rasa protektif yang begitu nyata. Maura merasakannya, dan dadanya ikut sesak.

"Aku tahu kamu nggak suka diikuti, nggak suka dijaga. Tapi mulai sekarang, kamu harus izinkan aku. Biarpun kamu keberatan, aku tetap akan pasang pengawasan bayangan. Untuk jaga kamu."

Maura menatap Shaka. Matanya berkaca. Ada kehangatan yang tiba-tiba tumbuh, meski ia tahu, ia harus tetap menjaga jarak. Karena bagaimanapun juga, Shaka bukan miliknya.

"Terima kasih... tapi aku masih bisa jaga diriku sendiri," ucapnya lembut, meski nada suaranya terdengar ragu.

"Aku tahu kamu kuat, Maura. Tapi kali ini, izinkan aku yang jaga kamu.” 

Setelah kata-kata tegas itu terlontar, ruangan mendadak terasa hening. Maura terdiam, matanya menatap Shaka yang kini terlihat begitu berbeda. Aura dinginnya mengendur, berganti dengan sorot mata yang dalam, tajam, namun ada kelembutan di sana.

Maura menelan ludah, bingung harus berkata apa. Situasi ini membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Ia tahu batas—Shaka bukan miliknya. Tapi mengapa perasaannya begitu sulit dikendalikan saat ini?

Shaka mengusap wajahnya pelan, lalu mengendurkan dasi yang menyesakkan lehernya. Ia melangkah mendekati Maura dengan perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah gadis itu.

“Maura…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Maura menoleh, dan sebelum ia sempat menjawab, Shaka telah memiringkan wajahnya dan menangkup pipi Maura dengan lembut.

Lalu…

Cup.

Sebuah kecupan ringan mendarat di bibirnya. Begitu lembut, begitu tak terduga. Maura membeku. Matanya membelalak, tapi tubuhnya tak bergerak. Ia tak bisa berkata apa-apa. Tidak sempat.

Shaka menatapnya dalam, seolah bertanya diam-diam apakah ia menolak. Tapi tak ada penolakan di sana. Hanya keheningan dan detak jantung yang berpacu cepat. Dan ketika Shaka kembali menurunkan wajahnya untuk mencium Maura sekali lagi, gadis itu tak menghindar.

Tak ada kata. Hanya kejujuran rasa yang selama ini mereka simpan rapat-rapat, kini perlahan terungkap lewat sentuhan yang penuh emosi. Ciuman itu bukan sekadar hasrat. Tapi rasa yang terlalu lama dipendam dan kini menyeruak dalam diam.

Maura menutup matanya, membiarkan perasaan itu mengalir—meski hanya sesaat. Meski ia tahu, ketika ini berakhir, kenyataan akan menuntutnya kembali berpijak.

Shaka memeluk Maura erat, menyatukan dua rasa yang selama ini mereka pendam dalam diam. Jemarinya menyusuri punggung Maura dengan lembut, sementara Maura membalas pelukannya tanpa kata, hanya dengan desahan nafas yang tak teratur.

Waktu seolah berhenti. Cumbuan kecil yang bermula dari bisikan rindu kini menjelma menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tak ada penjelasan logis, tak ada rencana. Hanya momen yang menyatukan dua hati yang tak bisa terus berpura-pura.

Shaka dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Maura ke dalam pelukannya. Gadis itu menunduk malu namun tidak menolak. Mereka melangkah masuk ke dalam kamarnya—tempat yang selama ini tertutup bagi siapapun.

Pintu kamar menutup perlahan, menyisakan kehangatan yang tercipta bukan karena gairah semata, melainkan karena kedekatan hati yang tak pernah benar-benar bisa dipisahkan.

Dengan nafas yang hangat dan bergetar, Shaka menatap dalam mata Maura. Tangan mereka saling menggenggam erat, seolah ingin memastikan bahwa mereka berada di momen yang sama—di waktu yang tak ingin mereka hentikan.

Pelan tapi pasti, jarak di antara mereka lenyap, berganti dengan kehangatan yang menyelimuti. Sentuhan Shaka pada wajah Maura begitu lembut, seolah ia menyentuh sesuatu yang berharga dan rapuh. Maura memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang tak lagi bisa ia sangkal.

Shaka membaringkannya perlahan di atas ranjang, matanya masih terpaku pada Maura, seolah mencari izin dalam diam. "Aku ingin kamu... sepenuhnya," bisiknya lirih, nyaris seperti angin.

Maura hanya mengangguk kecil, tanpa kata. Itu cukup. 

Shaka kembali mencumbu tubuh maura lebih dalam lagi ,ia membuang semua yang menutupi tubuh maura ia juga melakukan hal yang sama padan nya. Desahan Mereka terdengar nyata ,Hingga Shaka berhasil  menerjang  tempat kenikmatan maura untuk yang pertama kali nya.

 Maura menitikkan air mata dan mencengkram punggung Shaka ketiak itu terjadi . Shaka memejamkan mata merasakan sensasi yang sangat  berbeda,rasa yang tak pernah ia dapat dari Thalita . Semakin lama semakin brutal Shaka mencumbu maura dan sampai pada akhirnya jeritan keduanya terdengar.

Waktu seakan berhenti memberi jalan pada dua jiwa yang akhirnya bertemu dalam kehangatan yang mereka sembunyikan begitu lama. Tak ada kata, hanya rasa. Tak ada suara, hanya degup jantung yang berpacu seirama.

Mereka tak hanya saling menyentuh tubuh, tapi juga hati—menyatu dalam perasaan yang melampaui logika. Dalam pelukan itu, tak ada dunia lain selain mereka berdua.

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!