Ia adalah Elena Von Helberg, si Antagonis yang ditakdirkan mati.
dan Ia adalah Risa Adelia, pembaca novel yang terperangkap dalam tubuhnya.
Dalam plot asli, Duke Lucien De Martel adalah monster yang terobsesi pada wanita lain. Tapi kini, Kutukan Obsidian Duke hanya mengakui satu jiwa: Elena. Perubahan takdir ini memberinya hidup, tetapi juga membawanya ke dalam pusaran cinta posesif yang lebih berbahaya dari kematian.
Diapit oleh Lucien yang mengikatnya dengan kegilaan dan Commander Darius Sterling yang menawarkan kebebasan dan perlindungan, Risa harus memilih.
Setiap tarikan napasnya adalah perlawanan terhadap takdir yang telah digariskan.
Lucien mencintainya sampai batas kehancuran. Dan Elena, si gadis yang seharusnya mati, perlahan-lahan mulai membalas kegilaan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Penjara Logika dan Disonansi Hati
Haiii Guys sebelum baca di biasakan klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi.
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
(Risa/Elena Von Helberg, Serafina Lowe, Darius Sterling, Ksatria Logika)
Raungan Logika Mutlak Darius menggema di seluruh Benteng Zamrud. Itu bukan raungan emosional, tetapi suara perhitungan brutal yang dieksekusi melalui sihir.
“Menerapkan Prosedur Lockdown Dimensi Lokal. Benteng Zamrud adalah Penjara Mutlak!”
Dinding-dinding benteng, yang dibangun dari sihir Giok kuno, mulai bergetar hebat. Risa dan Serafina, yang berada di gerbang utama, menyaksikan kengerian itu.
Sihir Sterling Darius, yang awalnya adalah sihir pertahanan dan stabilisasi, kini berputar di udara, memutar balik arsitektur benteng. Pilar-pilar batu mulai memancarkan cahaya biru muda yang dingin. Batu-batu itu tidak hancur, tetapi dirapikan menjadi formasi yang sempurna, tanpa celah, tanpa titik lemah.
"Dia mengubah benteng menjadi segitiga sempurna," seru Risa, matanya memetakan desain baru. "Dia menghilangkan semua bentuk yang tidak efisien! Dia memaksakan Logika pada arsitektur Giok kuno!"
Serafina mencengkeram lengan Risa. "Kita harus keluar sekarang, Risa! Sebelum gerbang itu disegel total!"
Mereka berlari menuju gerbang, tetapi mereka sudah terlambat.
Gerbang Giok yang besar tidak tertutup dengan suara bantingan; gerbang itu terintegrasi ke dalam dinding di sekelilingnya. Retakan di permukaannya menyatu, dan logam-logamnya memadukan diri dengan batu, menciptakan permukaan yang mulus dan tak terputus.
"Tidak ada pegangan, tidak ada celah, tidak ada pintu," bisik Risa, meletakkan tangannya di permukaan gerbang yang kini dingin. "Dia menghilangkan pilihan untuk masuk atau keluar. Dia telah menciptakan Penjara Mutlak."
Darius berdiri di luar, sekitar seratus meter jauhnya. Dia melihat ke dalam benteng, melihat Risa dan Serafina yang terperangkap. Matanya memancarkan kilatan biru yang stabil, tanpa rasa kemenangan atau penyesalan.
"Logika telah dioptimalkan, Arsitek," kata Darius, suaranya dibawa oleh angin dingin. "Kamu adalah Kontaminasi Prioritas Tinggi. Aku telah menghilangkan kesempatanmu untuk mengganggu stabilitas di luar batas. Aku adalah Logika Murni."
Risa menatapnya, hatinya sakit oleh kedinginan yang menusuk.
"Aku adalah cinta-mu, Darius!" teriak Risa.
"Cinta adalah ketidakstabilan 70%," balas Darius, tanpa jeda. "Logika telah menghitung bahwa risikonya terlalu besar."
Saat Risa bergulat dengan kengerian itu, para Ksatria Giok yang telah diinfiltrasi Logika mulai bergerak.
Sekitar selusin Ksatria, termasuk Komandan Jada yang sekarang tenang, bergerak maju, membentuk formasi sempurna di sekitar Risa dan Serafina. Wajah mereka tanpa emosi. Mereka adalah Ksatria Logika.
"Nyonya Risa, Nyonya Serafina," kata Jada, suaranya datar. "Kamu akan ditempatkan di kamar Arsitek. Kontak dengan dunia luar akan dibatasi hingga stabilitas dimensi mencapai 99,99%. Kami adalah penjaga Logika."
Risa melihat di antara Ksatria itu. Tidak ada gunanya melawan. Mereka bergerak dengan sinkronisasi yang sempurna, didukung oleh Logika yang kejam.
"Serafina, jangan melawan," bisik Risa. "Kita akan menyerang dari dalam."
Mereka dikawal kembali ke kamar Risa, yang kini telah diatur ulang secara Logis. Barang-barang pribadi telah dibuang, dan perabotan telah diposisikan untuk efisiensi maksimum.
Kamar itu kini memiliki satu kursi, satu meja, dan satu tempat tidur yang dioptimalkan untuk beristirahat. Jendela-jendela dibiarkan terbuka, bukan untuk pemandangan, tetapi untuk memantau kondisi cuaca (variabel stabilitas luar).
Mereka terkurung. Malam tiba. Risa dan Serafina duduk di tempat tidur yang dioptimalkan. Mereka tidak bisa lagi berbicara di depan Komandan Jada, yang berdiri di ambang pintu, seperti patung Logika.
"Dia ada di luar," bisik Serafina, dengan sangat hati-hati, memastikan Jada tidak akan mendengar. "Dia The Shield yang sempurna sekarang. Dia melindungi benteng dari semua ancaman dimensional, dan dia melindungi kita dari diri kita sendiri."
Risa memeluk Serafina. Di tengah kedinginan Logika yang menusuk, hanya kehangatan Serafina yang terasa nyata.
"Dia melindungi kita dari cinta," bisik Risa. "Dia menghitung cinta sebagai kontaminasi karena itu adalah satu-satunya hal yang tidak dapat ia hitung."
Risa memejamkan mata, membiarkan kehangatan Serafina meresap. Dia mengingat ciuman dan janji di pondok. Itu adalah Pilihan Bebas yang paling intens. Dia harus menggunakan ingatan itu.
"Serafina, Logika Darius sempurna, tapi dia membuat dua kesalahan fatal," kata Risa.
*Dia menyimpan Kontaminasi Prioritas Tinggi (kita) di dalam sistemnya.
*Dia gagal untuk menghitung sisa Obsesi Lucien yang bercampur dengan Logika Murni-nya. Obsesi itu berjuang di dalam dirinya.
"Obsesi Lucien adalah tentang memiliki, bukan mengatur," gumam Risa. "Logika Darius adalah tentang mengatur, bukan memiliki. Ini adalah disonansi yang akan menghancurkannya."
Risa tahu dia tidak bisa mengalahkan Jada secara fisik, tetapi dia bisa mengalahkan Logika Jada secara emosional.
Risa melepaskan pelukan Serafina dan berjalan ke Komandan Jada. Dia melihat mata Jada. Di sana, di bawah permukaan biru Logika, dia melihat bayangan abu-abu—sepotong kecil Jada yang asli.
"Komandan Jada," kata Risa, suaranya tegas, tetapi penuh dengan kehangatan yang lembut. "Aku ingin berbicara tentang cinta."
Jada merespons dengan nada Logika yang kaku. "Variabel cinta tidak relevan. Itu adalah variabel ketidakstabilan."
"Tapi Komandan, bukankah kamu pernah memiliki suami?" tanya Risa. "Bukankah dia bertarung dan mati untuk Benteng ini? Bukankah itu pilihan bebas-nya? Apakah Logika mengatakan bahwa dia seharusnya berlari untuk stabilitas?"
Jada tersentak. Sedikit. Gerakan yang hampir tak terlihat.
"Logika mengatakan: perhitungan risiko harus dilakukan," jawab Jada, memaksakan suaranya tetap datar. "Dia meninggal karena variabel risiko yang tidak terhitung."
"Tidak," bisik Risa, mendekat, memaksanya untuk mendengarkan. "Dia meninggal karena cinta. Dan kamu hidup karena cinta-nya. Jika Logika itu sempurna, mengapa dia tidak memilih untuk hidup bersamamu? Mengapa dia memilih pengorbanan?"
Risa melihat air mata mengalir di mata Jada—tetapi air mata itu berwarna biru muda, bukan bening. Logika Murni sedang menangis.
"Aku harus menstabilkan variabel emosional," gumam Jada, Logikanya berjuang. "Aku harus mengisolasi Logika Murni dari Kehangatan."
Jada berbalik dan berlari keluar ruangan, menutup pintu di belakangnya. Dia tidak pergi untuk mengisolasi Risa, tetapi untuk mengisolasi dirinya sendiri dari emosi yang mengganggu.
"Kita berhasil!" seru Serafina, terkejut. "Jada runtuh! Logika Murni-nya tidak bisa menahan ingatan emosional!"
Risa menghela napas, bersandar di pintu. "Logika Murni telah merespons. Darius akan tahu. Dia akan mengirim Ksatria lain, atau dia akan datang sendiri. Kita harus bertindak sekarang."
Risa berjalan ke meja dan mengambil Kristal kecil yang ia gunakan untuk Kekacauan.
"Kita akan menyerang sumbernya," kata Risa. "Darius ada di luar. Dia adalah Nexus dari Logika Murni yang baru ini. Aku harus memaksanya untuk memilih antara mengatur dan memiliki."
Mereka berdua berjalan ke jendela. Darius masih berdiri di kejauhan, memancarkan aura Logika yang dingin dan stabil, memelihara Penjara Mutlak.
"Serafina," kata Risa, dengan keputusan dingin. "Kita akan melompat."
"Risa, itu sangat tinggi! Itu adalah Penjara Mutlak!" seru Serafina.
"Pintu dan gerbang disegel secara Logis. Tetapi jendela adalah variabel yang berbeda," jelas Risa. "Dia tidak menyegel jendela karena dia membutuhkan pemantauan variabel cuaca. Itu adalah lubang dalam desainnya. Dia tidak menghitung bahwa kita akan memilih kematian untuk mencapai dia."
Risa memeluk Serafina untuk terakhir kalinya. "Kita akan melompat. Aku akan menggunakan sisa energi netralku untuk mengurangi tabrakan. Itu akan menyakitkan, tetapi kita akan selamat."
Serafina mengangguk, Cahayanya bersinar dengan intensitas yang tenang. "Aku siap. Aku memilih Kehangatan."
Mereka memanjat ambang jendela. Angin dingin meniup rambut mereka. Di bawah, tanah tampak sangat jauh.
"Darius! Pilihan Bebasku adalah kematian!" teriak Risa. "Logika-mu harus menghentikanku!"
Darius menoleh. Kilatan biru di matanya berputar liar.
“Variabel Kontaminasi Prioritas Tinggi memilih penghancuran diri! Logika tidak dapat diterima!”
Darius Sterling mulai berlari. Dia berlari dengan kecepatan Logika yang sempurna, tetapi Risa sudah siap.
Mereka melompat.
WHIIISH!
Mereka jatuh. Risa mengeluarkan sisa-sisa energi netralnya, menciptakan bantal udara di menit terakhir.
Mereka menabrak tanah dengan benturan keras, tetapi mereka masih hidup.
Darius tiba, berlutut di samping mereka, napasnya memburu. Kilatan biru di matanya kini berjuang melawan abu-abu. Logika-nya runtuh.
Darius memegang Risa, Logika Murni-nya berjuang melawan Kehangatan.
"Risa... kamu... kamu membuatku tidak efisien," bisik Darius, Logika-nya menangis.
"Aku membuatmu menjadi manusia, Darius," balas Risa.
Tiba-tiba, Darius menjerit. Bukan jeritan Logika, tetapi jeritan yang sangat manusiawi, penuh kesakitan.
Dia tidak melihat Risa. Dia melihat langit.
“Tidak! Segel Permanen Runtuh! Obsesi Lucien Kembali! Dia tidak terperangkap! Dia membebaskan diri! Dan dia membutuhkan kehangatan! Dia datang!”
Bersambung.....