Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Makan Siang
Di dalam kamar mandi restoran yang tenang dan bersih, Shanaira berdiri menunduk di depan wastafel, napasnya memburu. Perutnya terasa dikocok dari dalam. Tak butuh waktu lama sampai tubuhnya menyerah, dan ia pun muntah dengan hebat di dalam toilet.
Tangannya bertumpu pada dinding, tubuhnya lemas, dan kepalanya terasa berat. Air mata tak sadar merembes di sudut matanya, bukan hanya karena rasa mual, tapi karena semua ini begitu nyata sekarang. Ia benar-benar sedang mengandung. Ada kehidupan kecil di dalam dirinya, dan itu datang bersamaan dengan segalanya yang belum selesai dalam hidupnya—luka, perubahan, dan kenyataan pahit yang belum sempat ia cerna seluruhnya.
Ia memandangi bayangannya di cermin. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Ia mengambil tisu, membasuh wajah, lalu menarik napas panjang sebelum keluar. Harus kuat. Tak boleh ada yang tahu.
Beberapa menit kemudian, Shanaira kembali ke meja makan dengan senyum dipaksakan.
“Maaf ya, agak nggak enak badan,” katanya sambil duduk kembali.
“Ya ampun, kamu nggak apa-apa?” tanya Dina, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Shanaira mengangguk pelan. “Cuma masuk angin kayaknya. Aku nggak lapar juga, kalian makan aja ya.”
Reza dan Dina saling berpandangan, tak ingin memaksa. Suasana makan siang pun berlanjut dengan hati-hati, sementara Shanaira hanya menyesap teh hangat yang disajikan pelayan.
Dalam diamnya, ia tahu bahwa mulai saat ini, ia harus jauh lebih kuat dari sebelumnya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kehidupan kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Langkah kaki Shanaira terasa ringan meski tubuhnya masih agak lemas. Tanpa sadar, kakinya membawanya melintasi trotoar menuju arah yang sangat dikenalnya.
Matanya menangkap gedung hotel Renault yang menjulang kokoh, dan di lantai dasarnya, di sisi yang lebih tenang dari bangunan itu, terpajang papan kayu klasik dengan huruf timbul beraksen Rusia—Aurore.
Shanaira berhenti di depan pintu masuk. Ia menatap restoran itu sejenak. Aroma khas roti gandum hangat dan sup rempah dari ventilasi udara menyeruak pelan ke hidungnya, membawa rasa nyaman yang entah mengapa membuat dadanya sedikit hangat.
Ia melangkah masuk dengan pelan, seperti seorang anak kecil yang kembali pulang ke rumah setelah hari yang panjang.
Suasana restoran yang tenang langsung menyambutnya. Interior khas Rusia dengan kursi kayu berat, tirai renda putih, dan lampu gantung kristal kecil menciptakan suasana hangat dan akrab.
Salah satu pelayan yang mengenalnya langsung menyambut. “Ibu Shanaira? Mencari Tuan Karenin?”
Shanaira tersenyum lemah dan mengangguk. “Kalau dia sedang sibuk, aku bisa duduk sebentar di pojok, nggak apa-apa ya?”
“Silakan, kami buatkan teh hangat dulu,” jawab pelayan itu ramah.
Shanaira duduk di bangku dekat jendela, menghadap taman kecil di luar hotel. Napasnya mulai teratur, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Seolah tempat ini—meski belum lama ia kenal—mulai terasa seperti ruang aman di tengah hari-hari yang tak menentu.
Langkah kaki berat dan cepat terdengar dari arah dapur. Tak lama kemudian, sosok tinggi berseragam koki dengan celemek abu-abu muncul. Rambut cokelatnya sedikit berantakan, dan wajahnya menunjukkan keheranan campur kekhawatiran begitu melihat siapa yang duduk di pojok restoran.
"Shanaira?" suara Karenin terdengar rendah, tapi langsung membuat kepala Shanaira menoleh.
Ia tersenyum kecil, meski matanya tampak letih. "Hei..."
Karenin menghampiri, melepaskan sarung tangannya dan berdiri di sebelah meja. "Kau sudah makan siang?" tanyanya, suaranya lebih pelan, ada nada hati-hati di sana.
Shanaira mengalihkan pandangan sejenak. Ingatan tentang sushi yang belum sempat dia makan, rasa mual yang tiba-tiba, dan muntah di kamar mandi, membuat perutnya bergejolak lagi. Dia menggeleng perlahan. "Belum... tadi sempat ke restoran, tapi... ya, nggak jadi makan."
Mata Karenin menyipit penuh perhatian. Ia tidak bertanya lebih jauh. "Tunggu di sini. Aku buatkan sesuatu yang ringan. Kamu mau apa?"
Shanaira mengangkat bahu pelan. "Apa aja... yang penting bukan sushi."
Karenin tersenyum kecil, lalu mengangguk mantap. "Oke. Duduk manis, jangan ke mana-mana. Aku buatkan makanan khusus ibu hamil yang tidak bikin mual."
Ia lalu kembali ke dapur, dan Shanaira memandang punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya memperlakukan dia. Bukan manis yang berlebihan, tapi perhatian yang hangat dan nyata.
Untuk sesaat, restoran itu terasa seperti tempat perlindungan kecil di tengah hari yang kacau.
Tak lama kemudian, Karenin kembali dengan sebuah nampan berisi semangkuk bubur salmon hangat yang tampak menggugah selera, dilengkapi potongan sayuran lembut dan irisan jahe tipis di atasnya. Ia meletakkannya hati-hati di hadapan Shanaira, lalu duduk di kursi seberangnya.
"Aku nggak tahu ini selera kamu atau bukan, tapi ini menu aman buat ibu hamil. Ringan, nggak terlalu berminyak, dan katanya bisa bantu redakan mual," ujarnya.
Shanaira tersenyum, kali ini lebih tulus. "Terima kasih... kamu perhatian banget."
"Harus dong," sahut Karenin ringan, lalu menatapnya sesaat sebelum bertanya, "Gimana pekerjaanmu hari ini?"
Shanaira meniup pelan bubur yang masih mengepul, lalu mengangkat sendok pertamanya. "Lumayan padat. Aku dapat proyek promosi valentine. Harus susun tim dan mulai brainstorming."
Karenin mengangguk, tapi pandangannya menelisik wajah Shanaira yang tampak lelah. "Kamu yakin bisa ngelakuin itu semua dengan kondisi kamu sekarang?"
Shanaira terdiam sejenak sebelum menaruh sendoknya dan menatap Karenin. "Aku nggak bisa berhenti kerja sekarang. Aku masih butuh penghasilan dan… sibuk itu sedikit membantu aku nggak terlalu mikirin banyak hal."
Karenin menghela napas pendek, lalu bersandar di kursinya. "Aku ngerti. Tapi kalau kamu mulai ngerasa terlalu capek atau mualnya makin parah, jangan dipaksa, ya? Kamu bisa istirahat di sini, kapan aja. Bilang aja."
Shanaira tersenyum pelan. “Iya. Makasih, Karenin….”
"Serius, Nai. Kamu bukan sendiri sekarang. Kamu jaga diri kamu, itu juga buat jaga bayi kamu."
Kata-kata itu membuat dada Shanaira menghangat. Ia mengangguk pelan, lalu kembali menunduk pada buburnya. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa tidak sendiri.
Setelah menghabiskan makanannya, Shanaira berpamitan pada Karenin yang masih berada di dapur. Pria itu sempat menyelipkan sebuah roti kecil yang dibungkus rapi ke dalam tasnya. "Kalau kamu lapar lagi sebelum pulang, makan ini, ya. Jangan sampai perut kosong," katanya sambil tersenyum.
Shanaira mengangguk sambil memeluk tasnya. “Makasih, Karenin.”
Langkahnya ringan saat berjalan keluar restoran. Udara siang hari sedikit lebih hangat, membuat napasnya terasa lebih lega. Ia melangkah masuk ke lobi hotel dan naik ke lantai tempat kantornya berada.
Begitu sampai di meja kerjanya, beberapa rekan sudah kembali duduk. Dina melambai kecil dan berkata, “Eh, Shana! Kamu baik-baik aja? Mukamu tadi sempat pucat banget, loh.”
Shanaira mengangguk dengan senyum tipis. “Iya, aku cuma kecapean dikit.”
Ia menarik napas dalam, membuka laptopnya, dan kembali fokus pada proyek Valentine yang sedang mereka susun. Beberapa orang di tim kecilnya mulai berdatangan dan duduk mengelilingi meja kerja yang dijadikan pusat diskusi. Shanaira pun kembali memimpin brainstorming dengan tenang meski pikirannya masih sedikit melayang pada mual yang sempat ia rasakan tadi.
Hari kerja masih panjang. Tapi setidaknya sekarang, ia tahu ada tempat untuk kembali saat semua terasa berat.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh