Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 19
...****************...
Sisa sarapan mulai dingin di piring mereka, tapi suasana di meja justru menghangat. Tak ada gesekan, tak ada canggung—hanya dua orang yang duduk, saling menyentuh dunia satu sama lain lewat diam dan kata yang sederhana.
Arion menatap ke arah cangkir kopinya sejenak sebelum bertanya, suaranya tenang namun mengandung sesuatu yang baru… entah perhatian, atau sekadar kebiasaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
“Apakah lusa kamu sibuk?” tanyanya, sambil mengangkat pandangan ke arah Aresya. “Jika tidak, ada acara bisnis yang harus aku hadiri. Aku mau kamu ikut denganku.”
Aresya sempat terdiam, membiarkan keheningan menggantung sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah,” ucapnya ringan, bibirnya mengulas senyum samar yang terlihat manis di mata siapa pun… kecuali bagi yang tahu betapa terlatihnya senyum itu.
Namun di dalam hatinya, senyum lain merekah—lebih nyata, lebih gelap.
Lagi-lagi berhasil…
Rencananya berjalan sempurna, seperti bidak catur yang digiring tepat ke arah yang ia mau. Dan undangan dari Arion itu hanyalah langkah berikutnya dalam permainan yang telah ia siapkan jauh-jauh hari.
Acara bisnis.
Aresya sudah tahu tentang itu.
Sudah tahu siapa yang akan datang, siapa yang akan bicara, bahkan siapa yang akan berdiri paling dekat dengan Arion nanti.
Dan ia siap. Lebih dari siap.
Sementara Arion masih menatapnya dalam diam, tak menyadari bahwa wanita yang kini duduk di hadapannya bukan sekadar istri kontrak… melainkan bayangan licik yang perlahan mengikis celah-celah pertahanannya.
Arion meletakkan garpunya perlahan, menatap Aresya yang masih menikmati sarapannya dengan tenang. Suara denting logam pada piring terdengar pelan, tapi cukup untuk membuat wanita itu menoleh.
“Aresya,” ucap Arion dengan nada datar namun mengandung keseriusan di baliknya, “acara itu bukan sekadar jamuan bisnis biasa.”
Aresya mengangkat alis pelan, lalu meletakkan sendoknya. “Lalu?”
“Kita harus datang sebagai pasangan suami istri,” lanjut Arion, menatap lurus ke matanya. “Bertingkah sewajarnya, bersikap seolah… kita memang benar-benar menikah bukan karena kontrak.”
Sekilas, sorot mata Aresya berubah. Tapi hanya sekejap. Ia kembali tersenyum lembut, seolah permintaan itu bukan hal baru dalam daftar lakonnya.
“Baiklah,” jawabnya pelan, hampir terdengar seperti bisikan yang menggoda.
“Aku bisa menjadi istri yang sangat baik di depan semua orang… jika itu yang kamu mau.”
Arion menghela napas pendek. Ada keraguan di matanya, entah karena merasa Aresya terlalu cepat menyetujui, atau karena ia tak sepenuhnya percaya diri bisa bermain dalam sandiwara ini tanpa terbawa rasa.
Di seberang meja, Aresya menunduk kembali ke makanannya—tapi dalam pikirannya, langkah selanjutnya sudah mulai ia susun. Jika harus menjadi istri yang sempurna di depan publik, ia akan melakukannya… bahkan lebih dari itu.
Dan ia tahu persis siapa saja yang akan hadir di acara itu. Termasuk satu nama yang sudah lama ingin ia lihat dari dekat.
“Kapan kita pergi?” tanya Aresya sambil menyisip teh, seolah tak terjadi apapun.
“Lusa pagi. Aku akan minta seseorang menyiapkan gaun yang cocok untukmu.”
Aresya tersenyum tanpa menatapnya. Kau tak perlu repot, Arion, batinnya. Karena aku sudah tahu akan memakai apa… dan siapa yang akan kutargetkan.
...****************...
Butik itu dipenuhi deretan gaun indah yang tergantung rapi, menciptakan kesan mewah dan elegan sejak pertama kali melangkah masuk. Arion berdiri di dekat dinding kaca, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, memperhatikan Aresya yang tampak begitu nyaman memilih-milih gaun, seolah dunia hanya miliknya seorang.
Beberapa kali pelayan butik menawarkan gaun, tapi Aresya selalu menolak halus. Ia tahu apa yang ingin ia kenakan, dan lebih dari itu… ia tahu momen apa yang ingin ia ciptakan.
“Aku coba yang ini,” ucapnya, memegang gaun malam berwarna wine-red yang memeluk lekuk tubuh dan terbuka di bagian punggung hingga bawah tulang belikat.
Arion hanya mengangguk, pura-pura tidak terlalu memperhatikan. Tapi matanya tak bisa berbohong saat Aresya keluar dari ruang ganti beberapa menit kemudian.
Gaun itu… terlalu cocok.
Aresya berdiri di depan cermin besar, memutar tubuhnya perlahan, memperlihatkan sisi belakang gaun itu yang masih belum tersambung sempurna.
“Resletingnya agak macet…” gumamnya lirih, lalu menoleh pada Arion dengan senyum tipis. “Bisakah kamu bantu?”
Arion sempat terlihat ragu. Tapi ia tetap melangkah pelan, menghampiri wanita itu.
Aresya membalik tubuhnya, memegang rambut panjangnya ke depan untuk memberinya ruang. Punggungnya terbuka… kulit putihnya terlihat kontras dengan kain merah tua yang membingkai tubuhnya.
Jari-jari Arion menyentuh ujung resleting. Saat ia mencoba menariknya, punggung Aresya bergerak, nyaris bersentuhan. Tangan mereka bertemu sebentar di sisi gaun. Kontak kulit-ke-kulit yang dingin dan halus itu terasa terlalu nyata.
“Maaf,” ujar Arion pelan, nadanya tak setenang biasanya.
“Tak apa…” balas Aresya, masih menahan senyum yang hampir tak tampak di cermin.
“Kamu pelan sekali, Arion. Seperti takut menyentuhku.”
Arion menahan napas, berusaha fokus pada tugas sederhana itu. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Saat akhirnya resleting itu naik sempurna, ia buru-buru menarik diri.
“Sudah.”
Aresya membalikkan tubuh perlahan, masih dengan senyum tenangnya. “Terima kasih, Tuan Suami.”
Arion menghindari tatapan mata itu. Ada sesuatu yang berbeda di balik permainan ini, dan ia tahu… ia sedang berjalan di atas garis yang semakin tipis antara kontrak dan kenyataan.
Aresya melangkah ke arah cermin lagi, membenarkan gaunnya sekali lagi.
“Gaun ini kupilih,” ucapnya sambil tersenyum, lalu menatapnya melalui pantulan cermin.
“Kamu suka?”
Arion hanya mengangguk, tanpa suara. Ia tak tahu… siapa sebenarnya yang sedang menggenggam kendali dari permainan ini.
...****************...
Mobil hitam elegan itu meluncur mulus menyusuri jalanan ibukota menuju lokasi acara bisnis malam itu. Di dalamnya, keheningan mengikat keduanya—bukan karena canggung, tapi karena masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Arion tampak serius menatap ke luar jendela, mengenakan setelan formal dengan potongan sempurna.
Sedangkan Aresya duduk di sampingnya, mengenakan gaun merah wine yang kini resmi menjadi senjatanya malam ini. Rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helai yang sengaja dibiarkan jatuh, menambah kesan elegan dan dewasa.
Sesekali Arion melirik ke arahnya, dan Aresya tahu itu. Tapi ia tak menoleh. Ia ingin Arion terus memperhatikannya—diam-diam. Biarkan pria itu penasaran, biarkan pria itu bingung, lalu… tenggelam.
Mereka tiba di ballroom hotel berbintang, tempat para pengusaha, investor, dan kolega penting berkumpul. Kilau lampu gantung kristal menyinari ruangan yang dipenuhi orang-orang berdasi dan gaun panjang mewah. Musik lembut mengalun di latar, menciptakan suasana formal namun penuh gengsi.
Begitu keluar dari mobil, Aresya merapatkan diri ke sisi Arion, lalu menggandeng lengannya dengan sangat alami—terlalu alami hingga nyaris tampak nyata.
Arion menoleh ke arahnya, sedikit kaget, tapi tak berkata apa-apa.
“Bukankah kita harus tampak seperti suami istri?” bisik Aresya dengan senyum tipis yang terlalu manis untuk tidak mencurigakan.
Arion mengangguk pelan, membiarkannya. “Jangan terlalu berlebihan,” bisiknya lirih.
“Tentu saja tidak,” balas Aresya lembut, namun genggamannya justru sedikit mengencang.
Mereka melangkah bersama, menyatu dalam keramaian. Beberapa orang langsung menyapa Arion—para rekan bisnis, investor, dan pemegang saham. Semuanya memperhatikan wanita di sampingnya.
"Ini Aresya," ucap Arion singkat saat mengenalkannya. “Istriku.”
Aresya mengulurkan tangan dengan senyum paling anggunnya, membungkuk sopan pada setiap tamu yang menghampiri. Ia memperkenalkan diri dengan tenang, bahkan beberapa kali membuat orang tertawa kecil karena komentarnya yang halus namun mengena.
Arion memperhatikannya dari samping. Cara wanita itu bicara, menyapa, menatap orang-orang di sekitarnya… semuanya terlatih. Terlalu tenang. Terlalu lihai.
Ia menoleh ke samping, dan Aresya sedang tersenyum pada seseorang. Tapi dari sudut matanya, tatapan Aresya sempat menatapnya sekilas. Singkat, seperti sinyal.
Dan Arion tahu, dia sedang bermain dalam permainan seseorang. Tapi… siapa sebenarnya Aresya?
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...