Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Rio menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Aruna. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Semua ini bukan tentang melupakan masa lalumu, tetapi tentang memberi diri kamu kesempatan untuk merasakan sesuatu yang baru. Kamu tidak perlu langsung memutuskan apapun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, jika kamu siap.”
Kata-kata Rio menyentuh hati Aruna, dan meskipun masih ada keraguan dalam dirinya, ia merasa ada sedikit kedamaian yang mulai menggantikan kecemasannya.
Dalam dirinya, ia mulai menerima kenyataan bahwa ia tidak perlu terburu-buru. Hidup bukanlah perlombaan. Ia tidak harus segera memilih atau membuat keputusan besar. Ia hanya perlu memberi waktu pada dirinya sendiri untuk merasakan apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan.
Malam itu, Aruna pulang ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia berbaring di tempat tidurnya, merenung tentang apa yang telah terjadi.
Terkadang, ia merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan, bingung harus memilih yang mana.
Masa lalu dan masa depan tampak bertarung dalam pikirannya. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan sedikit kelegaan. Ia tidak perlu memaksakan diri untuk memilih sekarang. Ia bisa memberi dirinya waktu.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Aruna memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam karier desainnya. Ia mulai menerima lebih banyak proyek, bahkan yang lebih besar dan lebih menantang.
Setiap hari ia merasa semakin percaya diri dengan kemampuannya. Ia menyadari bahwa pekerjaan ini bukan hanya tentang menghasilkan uang, tetapi juga tentang menciptakan sesuatu yang bermakna.
Setiap desain yang ia buat adalah cara baginya untuk mengekspresikan perasaan dan visi yang kadang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
Rio juga semakin sering hadir dalam hidupnya, tetapi mereka tetap menjaga jarak yang sehat. Tidak ada tekanan untuk menjadi lebih dari teman, dan Aruna merasa nyaman dengan itu.
Mereka menikmati kebersamaan mereka dengan cara yang sederhana. Terkadang, mereka hanya berjalan-jalan bersama, berbicara tentang segala hal yang mengalir begitu saja, atau duduk bersama menikmati secangkir kopi.
Aruna merasa senang dengan kebersamaan itu. Ia tidak merasa ada paksaan, tidak ada harapan yang harus ia penuhi. Rio memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa merasa harus memenuhi ekspektasi apa pun.
Namun, meskipun ia merasa lebih tenang, Aruna masih merasa ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya bisa melepaskan masa lalu. Revan, meskipun sudah pergi, masih terkadang muncul dalam pikirannya.
Ia masih teringat tentang lelaki itu, tentang hubungan mereka yang penuh dengan harapan yang tidak pernah terwujud. Tetapi kini, ia mulai menyadari bahwa perasaannya untuk Revan bukanlah cinta yang murni.
Itu adalah sebuah harapan yang tidak pernah terbalas, sebuah keinginan untuk menjadi cukup, untuk diperhatikan, yang tidak pernah terwujud.
Malam itu, setelah pertemuan singkat dengan Rio, Aruna duduk di teras apartemennya, menikmati udara malam yang sejuk. Ia merasa semakin ringan, semakin bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya telah berubah.
Ia tidak lagi bergantung pada orang lain untuk merasa lengkap. Ia tahu bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam dirinya sendiri, dari cara ia memandang hidup dan menerima segala yang datang.
Aruna tersenyum kecil pada dirinya sendiri, merasakan rasa syukur yang mendalam. Ia telah melewati banyak hal, tetapi kini ia tahu bahwa perjalanan hidup ini belum selesai.
Ada banyak hal yang masih harus ia temui, banyak hal yang masih harus ia pelajari. Namun, satu hal yang pasti, Aruna tahu bahwa ia siap untuk melangkah maju. Ia siap untuk menerima takdirnya, apa pun itu, dengan hati yang lebih lapang dan pikiran yang lebih jernih.
Hari-hari yang dilewati Aruna semakin terasa lebih ringan, meskipun ia tahu bahwa perasaan-perasaan lama tak bisa hilang begitu saja.
Kehidupan barunya yang perlahan terbangun tanpa kehadiran Revan, membawa angin segar dalam dirinya. Namun, di balik ketenangan itu, bayang-bayang masa lalu masih sering mengganggu.
Revan lelaki yang dulu pernah menjadi suaminya masih hadir dalam pikirannya, meskipun ia berusaha keras untuk melupakan.
Revan bukanlah sosok yang mudah terlupakan.
Setelah pernikahan mereka berakhir begitu dingin dan penuh luka, Aruna merasa ia sudah cukup melupakan segala harapan yang pernah ia tanamkan untuk Revan. Namun, satu hal yang ia tahu, Revan tidak pernah benar-benar membiarkan dirinya pergi.
Aruna merasa seperti telah dibebaskan dari penjara yang membelenggunya bertahun-tahun, tetapi Revan seakan tidak bisa menerima kenyataan itu.
Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka. Revan tampaknya masih belum siap menerima bahwa Aruna benar-benar pergi, meskipun ia tahu dalam hatinya bahwa mereka tidak mungkin kembali.
Setiap kali Aruna melihat ponselnya, ada pesan atau panggilan yang tak terjawab dari Revan. Pesan-pesan itu singkat, tetapi penuh dengan kata-kata yang penuh penyesalan dan keinginan untuk berbicara.
Suatu pagi, saat Aruna sedang duduk menikmati sarapan di teras apartemennya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Revan muncul di layar.
"Aku ingin bertemu. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."
Aruna menatap layar ponselnya untuk beberapa saat. Hatinya berdebar, ada rasa tidak nyaman yang muncul, meskipun ia sudah tahu bahwa ia tidak ingin kembali ke masa lalu itu. Namun, entah mengapa, kata-kata Revan masih memiliki daya tarik tersendiri. Aruna menarik napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan cepat.
"Aku tidak ingin kembali, Revan. Sudah terlalu banyak yang terjadi."
Beberapa detik kemudian, pesan Revan masuk. "Aku tahu aku salah, Aruna. Tapi aku tidak bisa melupakanmu. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tidak bisa membiarkan kamu pergi begitu saja."
Aruna menutup ponselnya dengan tangan gemetar. Cinta Revan tidak pernah cukup untuknya, tetapi kenangan tentang masa lalu masih terus menghantuinya. Menghadapi kenyataan bahwa ia telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dengan orang yang lebih mencintai bayang-bayang masa lalu daripada dirinya sendiri, membuat hati Aruna kembali terluka. Namun, kini ia tahu, perasaan itu harus ia simpan dalam-dalam. Tidak ada jalan kembali.
Namun, yang membuatnya semakin bingung adalah kehadiran Rio. Rio, pria yang selama ini menemani Aruna sebagai teman, mulai membuatnya merasa sesuatu yang berbeda.
Setiap pertemuan dengan Rio memberikan rasa aman yang baru, jauh dari bayang-bayang masa lalunya bersama Revan. Rio tidak seperti Revan yang terjebak pada masa lalu. Ia adalah seseorang yang hadir di hadapan Aruna dengan ketulusan dan tanpa beban.
Tapi, Revan tidak suka dengan kedekatan Aruna dan Rio. Setelah beberapa kali melihat Aruna bersama Rio, Revan mulai merasakan kecemburuan yang tak terkontrol. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ia jelaskan, sesuatu yang membuatnya merasa seperti kehilangan. Ia selalu ingin berada di sekitar Aruna, bahkan jika itu berarti membuatnya semakin menjauh.