Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana berjalan mulus
Saat Inara dan putranya masih berada dalam pelukan Rayyan, tiba-tiba saja Nyonya Martha muncul, ia terkejut melihat pemandangan yang tak biasa, namun tentunya sangat ia harapkan, berharap Rayyan mau membuka hatinya untuk Inara.
"Duh, sepertinya ibu datang di waktu yang tidak tepat!" Nyonya Martha memalingkan wajahnya, ia tersenyum kecil.
Sementara itu, Inara dan Rayyan buru-buru menjauh, dan Inara mencoba menenangkan putranya yang hampir menangis.
Rayyan menoleh dan menatap ibunya, ia terlihat geram dengan ekspresi dan perkataan darinya, pasti ibunya sudah berpikir yang tidak-tidak soal kejadian barusan, dan tentunya ia tidak suka akan hal itu.
"ada apa ibu malam-malam datang kesini? Apakah ada hal penting, bu?" tanyanya dingin.
"tidak ada apa-apa kok Nak, ibu hanya merasa bosan saja di kamar, dan sepertinya malam ini ibu ingin menemani Baby Daffa saja di kamarnya bersama dengan suster Ana!"
jawaban dari ibunya telah membuat Rayyan mengepalkan tangannya, padahal ia berharap Inara akan tidur di kamar Putranya, namun sepertinya tidak untuk malam ini, sepertinya ibunya telah mencurigai sesuatu atas peristiwa semalam.
Rayyan mendesah kasar dan ia melangkah pelan menuju kamar mandi.
"terserah ibu, lakukan apa yang ibu mau!" jawabnya sambil memunggungi dan tak menoleh. Nyonya Martha tahu jika putranya malas membalas hal remeh seperti ini, tapi ini adalah rencananya, setelah diam-diam menginterogasi Suster Ana tadi siang, akhirnya Nyonya Martha mendapatkan jawaban yang mencengangkan yakni mengetahui bahwa Inara tidur pisah kamar dengan putranya dan itu membuat Nyonya Martha murka, ia tidak ingin kejadian seperti semalam terulang kembali, itu sebabnya ia melakukan hal ini
'aku tidak akan membiarkan kamu menang Rayyan, kau harus bisa menerima dan mencintai Inara, aku yakin bersama Inara, kau akan hidup bahagia! ' batinnya.
.
.
Baby Daffa akhirnya tertidur pulas setelah menyusu. Nyonya Martha, yang sejak tadi duduk di samping ranjang bayi, menghela napas lega. Inara sedang merapikan botol-botol dan menyimpan stok ASI perahnya di kulkas mini. Kamar bayi yang seharusnya menjadi tempat yang tenang kini terasa sedikit tegang.
"Inara," panggil Nyonya Martha pelan, suaranya mengandung nada perintah yang halus. "Daffa sudah nyenyak, Nak. Ibu yang akan tidur di sini malam ini, setelah insiden semalam, Ibu tidak mau kalian pisah kamar lagi. Cepat kembali ke kamar Rayyan."
Inara menoleh, ekspresi keraguan tak bisa ia sembunyikan. Kembali ke kamar Tuan Rayyan? Itu berarti kembali berhadapan dengan suaminya yang dingin dan, yang terpenting, kembali berbagi ruang yang sama setelah perjanjian konyol mereka, dan Inara tidak menyangka bahwa ibu mertuanya telah mengetahuinya.
"Tapi, Bu... saya bisa tidur di sofa luar atau..."
Tiba-tiba, pintu kamar Baby Daffa terbuka. Rayyan berdiri di sana, sorot matanya yang tajam langsung menghujam Inara. Ia melotot singkat pada Inara, memberinya isyarat tanpa suara, sebelum secepat kilat mengubah ekspresinya. Senyum manis yang sangat palsu telah terukir di wajahnya saat ia menatap ibunya.
"Ibu, kenapa belum istirahat? Ibu tidak perlu repot-repot tidur di sini. Ada Bi Sumi dan Suster Ana yang bisa menjaga Daffa," kata Rayyan dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
"Tidak, Nak. Kalian baru saja menikah, harusnya menikmati waktu berdua. Biar Ibu yang di sini," balas Nyonya Martha.
Rayyan berjalan mendekat. Di depan ibunya, ia meraih tangan Inara dan menggenggamnya dengan sangat lembut. Inara merasakan kehangatan yang asing dan terkejut, Rayyan menatap Inara, sorot matanya berpura-pura romantis, dan itu membuat Inara merinding.
"Inara, ayo kita tidur, ini sudah hampir larut malam. Aku sangat lelah sekali malam ini, bisakah kau memijat ku?"
Permintaan itu membuat Inara tercengang. Memijat? Tuan Rayyan yang dingin dan kasar, yang selalu menghindari kontak fisik, tiba-tiba meminta dipijat? Dan bukankah perjanjian kontrak pernikahan mereka jelas-jelas mencantumkan peraturan tidak adanya kontak fisik? Inara menghela napas.
Nyonya Martha tersenyum lebar. Matanya berkilat tajam, puas melihat putranya menunjukkan sikap 'suami idaman' di hadapannya.
"Ayo Inara cepat kau pergi bersama dengan suamimu, tuh kamu dengar dia minta apa? Jangan membantah! Nanti Ibu siapkan minyak Zaitun untuk memijat Rayyan, dan sedikit minuman herbal untuknya!"
Inara pasrah, genggaman Rayyan terasa menguat, membimbingnya keluar dari kamar bayi, dan meninggalkan Nyonya Martha yang kini sudah nyaman di ranjang lipat di sana.
Setibanya di dalam kamar mereka, Rayyan segera melepaskan genggaman tangannya. Ia berjalan ke arah ranjang dan berbalik menghadap Inara dengan tatapan dinginnya.
"Aku serius. Aku ingin dipijat," kata Rayyan. Tujuannya hanya satu yakni mencari celah untuk membuat Inara kesal atau setidaknya tidak nyaman.
Inara mengerutkan kening. "Tuan yakin ingin saya pijat? Bukankah di dalam surat perjanjian tidak ada kontak fisik?"
Rayyan menyeringai, senyum meremehkan. "Ya memang tak ada kontak fisik, tapi bukan berarti kau lepas dari tanggungjawab mu sebagai seorang istri. Kau tetap harus melayaniku termasuk memijat ku, faham kamu!"
Inara terdiam, Ia tidak mau memperpanjang perdebatan yang bisa saja didengar oleh ibu mertuanya.
Rayyan kemudian menarik piyama atasnya, melepaskan pakaian itu. Inara bisa melihat dengan jelas punggungnya yang tegap dan otot-otot kekarnya yang terbentuk. Inara spontan memalingkan muka, membalikkan badannya menghadap jendela, merasakan pipinya memanas.
Tidak lama kemudian, pintu kamar diketuk. Nyonya Martha dan Bi Sumi masuk. Nyonya Martha membawa cangkir berisi cairan keruh dan Bi Sumi membawa botol minyak Zaitun.
"Rayyan, sebelum kau dipijat, minum ramuan rempah-rempah ini, khasiatnya bagus untuk tubuhmu!" Nyonya Martha menyodorkan cangkir itu.
Rayyan menatap curiga. "Minuman apa ini, Bu?"
"Cuma rebusan daun dan rempah-rempah, kau cium saja aromanya!"
Rayyan menciumnya. Aromanya memang hanya rempah-rempah yang kuat, tidak ada yang mencurigakan. Ia terpaksa meminumnya sampai tandas, meskipun rasanya pahit dan getir. Setelah itu, ia meminum madu yang diberikan ibunya.
'Semoga madu ini memiliki reaksi seperti yang dijelaskan oleh Bu Ajeng.'
gumam Nyonya Martha dalam hati, senyum misterius terukir di bibirnya.
Setelah semuanya selesai, Nyonya Martha dan Bi Sumi bergegas pergi.
Rayyan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, posisinya tengkurap. "Nah, cepat mulai. Aku lelah," ujarnya tanpa menoleh.
Inara dengan hati-hati menuangkan sedikit minyak Zaitun ke atas punggung suaminya. Jari-jari lentiknya mulai menyentuh kulit Rayyan dan menggosoknya pelan. Inara masih terasa kaku dan canggung, takut salah sentuh.
"Hey, kau itu sedang memijat manusia apa kucing, hah? Tidak ada tenaganya sama sekali! Apakah di rumah ini kau tidak pernah makan?" protes Rayyan, kesal karena pijatan Inara terlalu ringan.
"Maaf, Tuan, saya hanya..."
"Sudahlah! Kalau begini, sampai besok pagi pun tidak akan terasa, injak saja punggungku!" perintah Rayyan tiba-tiba.
Inara terkejut. "Apa? Menginjak?"
"Ya! Aku bilang injak! Aku butuh tekanan, ayo Cepat!"
Inara akhirnya menurut. Dengan ragu, ia naik ke atas ranjang dan mulai menginjak punggung suaminya secara perlahan. Namun, karena masih ada sisa bekas minyak Zaitun yang licin di punggungnya, pijakan Inara sedikit goyah.
Tiba-tiba, kakinya terpeleset.
"Aaaah!"
Inara kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Rayyan dengan refleks membalikkan badan, dan Inara jatuh tepat di atas tubuhnya.
Kini keduanya saling berhadapan, tubuh mereka bersentuhan erat. Mata Inara membelalak karena terkejut. Mata Rayyan juga terkejut, namun bukan hanya karena posisi mereka. Tiba-tiba saja Rayyan merasakan kedutan yang tak biasa, perasaan yang panas dan ganjil dari balik celana dalamnya.
'What, apa ini? Apa yang telah terjadi denganku?'
Bisik Rayyan panik dalam hati, sementara matanya masih terkunci pada wajah Inara yang hanya berjarak beberapa inci darinya.
Bersambung...
hamdan jantung amankan ya klu mau copot minta sm othor suruh ganti pake jantung kucing🤣🤣🤣🤣🤣