Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LDR sementara
.
.
.
"Auntyy Briitaniaaaaaaa...." Teriakan kecil itu membuat Brii menoleh. Si kecil menggemaskan Ren tengah berlari ke arahnya, lengkap senyum cerah menghiasi wajahnya.
"Hai handsome, how's your day?" tanya Britania, mendekat kemudian berjongkok mensejajarkan wajahnya pada anak laki-laki Nathan itu.
Ren menundukkan kepalanya di depan Bri, jelas sekali rona sedih muncul di wajahnya. "Whyyy...?" Brii mengangkat sedikit dagunya untuk menatapnya.
"I feel so sad... Papah hilang dari semalam. Tadi pagi aku bangun papah udah berangkat katanya, jadi aku samperin ke sini, Aunty mau ke mana?" Suara mungil itu penuh kesedihan, membuat hati Britania terenyuh. Anak itu ternyata sangat dekat dengan papahnya, yang justru semalam menemaninya. Brii merasa bersalah, karena dia Nathan jadi mengabaikan Ren.
"Heii sayangg, mau Aunty temenin? Papah masih sibuk yaa?" tawar Brii lembut. Melihat Ren hanya bersama Brianda, Britania menoleh pada asistennya, bermaksud menanyakan keberadaan Nathan.
"Bos masih di dalam sama Nyonya Besar, Brii, lagi bahas masalah tadi siang," jawab Brianda, suaranya sedikit teburu-buru. Britania mengangguk pelan, kemudian meraih tangan Ren.
"Ren mau Aunty temenin main?" Anak itu mengangguk cepat, senyumnya kembali merekah.
Brianda mengantar Britania dan Ren untuk pulang ke rumah Nathan. Meskipun Nathan masih meeting di dalam, Brii sudah meminta izin untuk membawa Ren pulang lebih dulu.
Sampai rumah, Brii menemaninya bermain lego block sampai Ren lelah sendiri dan minta ditemani tidur di kamar Nathan. Menidurkan Ren sambil menepuk-nepuk lengannya membuat Brii ikut mengantuk, dan tanpa sadar sudah memejamkan mata, ikut terlelap di samping bocah kecil itu. Suasana hangat dan tenang ini, di tengah kekacauan di kantor, terasa seperti sebuah pelukan yang menenangkan bagi Britania.
Tepat pukul 5 sore Nathan yang baru saja pulang melihat pemandangan menyejukkan itu lantas tersenyum lebar. Melihat Bri dan Ren terlelap bersama, seperti melihat istrinya tengah tertidur bersama anaknya menunggu dia pulang, sebuah gambaran kebahagiaan yang pernah sangat ia rindukan. Perlahan dia memindahkan Ren ke kamarnya sendiri, membersihkan tubuhnya, kemudian merebahkan diri di samping Britania.
Dua manusia itu terlelap merenggut alam mimpi dengan sangat nyaman. Saling memeluk, menyalurkan kehangatan yang sedang mereka sama-sama butuhkan. Hingga keesokan paginya, jam dinding menunjukan angka setengah enam.
"Udah bangun? Hmm..?" Nathan berbisik, suaranya serak dan hangat. Sementara Bri masih mengerjapkan mata beberapa kali untuk menarik kesadarannya. Tadi sebelum membuka mata, indera penciuman Brii bisa menghirup aroma parfum milik Nathan dan sempat mengira itu karena kemarin siang mereka sempat berciuman, mungkin parfum Nathan menempel di bajunya. Detik selanjutnya, Brii masih memejamkan mata tapi bisa merasakan sangat nyaman memeluk sesuatu yang ia anggap teddy bear teman tidurnya di kamar. Tapi, kenapa teddy bear itu bisa memeluknya kembali?
Brii memberanikan diri untuk membuka mata pelan-pelan untuk meyakinkan pemilik suara sapaan serak tadi. Sontak kaget dan sudah bersiap memundurkan tubuhnya kalau saja tangan kekar Nathan tidak menahannya dan menarik kembali tubuhnya ke dalam dekapan.
Brii bisa merasakan detak jantung Nathan yang cukup kencang karena telinganya tepat menempel di dada bidangnya. Tangannya pun bisa menyentuh area punggung Nathan langsung ke kulitnya, karena tangannya entah bagaimana ceritanya sudah menyusup di balik t-shirt oblong yang Nathan kenakan. Perlahan Brii mendongak mencari keberadaan suara tadi.
"Mm... Mas Nathan... R-Ren mana, Masss?" tanyanya, sedikit meronta dari dekapan Nathan namun jelas tenaga Nathan lebih kuat menahannya.
"Di kamarnya sama mbak, jangan banyak gerak, sayangg. Aku sensitif..." Suara Nathan memberat, ada nada peringatan yang jelas bercampur hasrat di sana.
"Ya udah lepasin, aku mau ke kamar mandi, Mas..."
Nathan sedikit melonggarkan tangannya, namun matanya tetap lekat menatap wajah kesayangannya baru saja bangun tidur. "Give me morning kiss..." pintanya, dengan senyum menggoda. Secepat kilat Brii mengecup bibirnya, hanya mengecup kemudian segera berlari menuju kamar mandi, meninggalkan Nathan yang terkekeh sendiri.
Sial! Adrenalin dalam diri Brii terpacu cukup maksimal sepagi ini. Perasaan gugup bercampur debaran aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Hari libur, sayangg, kenapa buru-buru banget sih?" protes Nathan ketika mendapati Brii tengah merapikan baju yang ia pakai dan bersiap untuk pulang.
"Aku nggak enak di sini kelamaan, Mas, ya?" sahutnya mencoba beralasan.
Nathan hanya berdecis pelan kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Ada sedikit kekecewaan di wajahnya, namun ia tetap mengikuti keinginan Brii. "Terus kamu buru-buru banget balik mau kemana?" Pria itu beranjak dari tempat tidur untuk mendekap tubuh Brii lagi.
"Mau nge-gym, udah janjian sama Chacha," jawab Brii enteng.
"Nge-gym sini aja ada di lantai atas, yukk. Nanti aku panggilin Brianda deh kamu panggil Chacha." Nathan sampai menyuruh orangnya untuk membelikan Brii pakaian sport secepat kilat demi bisa olahraga di rumahnya, jadi wanita itu tidak perlu pulang sekarang.
Britania menghela napas berat, tidak habis pikir dengan kelakuan kekasihnya yang bucinnya sudah level akut. Mau tidak mau ia menurutinya saja,
"Besok aku jadinya mau ke California, sayangg. Kamu ikut yaa?" Nathan berujar sambil terus membantu Britania melakukan press leg.
"Aku banyak kerjaan, Mas, tahu kan?" Balas Brii, mengelak.
"Ada Oliv, sayangg... Ikut yaaa? Bakalan lama kayaknya, sekitar semingguan." Nathan berjongkok di depannya, wajahnya memohon dengan sungguh-sungguh, terus membujuk dengan nada suaranya penuh harap.
"Nah itu tahu bakalan lama jadi nggak mungkin aku ikutan, kamu urus aja kerjaan di sana. Aku nungguin kamu pulang sambil menyelesaikan urusan di sini." Raut wajah Nathan berubah murung, benar kata Bri namun sebuah kekecewaan yang kentara memenuhi matanya. Ia sangat berharap Brii menemaninya ke Luar negeri sekalian bisa libuarn bersama, namun ia lupa kalau pacarnya adalah seorang workaholic, yang akan menempatkan pekerjaan di atas segalanya.
"Jangan dekat-dekat sama Birru yaa atau sama cowok lainnya." peringatnya tiba-tiba, membuat Bri sedikit tergelak. Wanita yang tengah berkeringat itu berhenti sebentar hanya untuk menatapnya, menangkup kedua pipinya dengan gemas.
"Mas, kapan aku dekat sama cowok selain kamu sih? Sejauh ini kamu yang paling dekat sama aku, tahu..." kata Briella mencoba meyakinkan, sejujurnya hati dia menghangat melihat kekhawatiran Nathan.
"Rayyan gimana, sayang? Kamu dekat banget sama Rayyan, kan?" satu hal yang baru Brii tahu dari pria itu. Nathan jika sedang cemburu, ekspresinya menggemaskan. Seperti anak SMA yang sedang puber.
"Yakin kamu cemburu sama Rayyan, Mas? Hmm..." Britania makin asyik juga meledeknya seperti ini.
"Buciinnnn dasarrr bucinnn..." sela Brianda, masuk bersama Chacha juga yang langsung memberikan tatapan tajamnya pada Briella.
"Lo hutang banyak penjelasan loh, Brii, sama Gue. Ya gue tahu Pak Nathan yang bikin lo nggak bisa tidur waktu itu, tapi gue nggak nyangka kalian udah official sekarang..." todong Chacha, biasanya dia orang pertama yang tahu apapun tentang Brii. Kali ini ia merasa terkhianati.
Britania hanya meringis, memamerkan deretan gigi rapihnya pada mereka. "Ntar yaa gue ceritain, sekarang kita olahraga dulu ajaa."
***
Nathan sudah sampai di bandara, bersiap untuk flight bersama Brianda sore itu menuju California. Dia masih terus memohon agar Bri ikut bersamanya, dan itu sangat mustahil dengan seabrek pekerjaan yang harus dia selesaikan di sini.
"Nggak usah ambil lemburan yaa pokoknya, pulang tepat waktu." Peringat Nathan untuk yang kesekian kalinya pada sang kekasih beberapa menit sebelum flight. Khawatir dan protektif yang menurut Brii terlalu berlebihan dalam suaranya, seolah ia tahu Brii rentan saat sendirian. Padahal sebelum kemunculannya, Brii sudah terbiasa tangguh sendirian.
"Siap! Udah sanaa nanti ketinggalan..." Brii hanya bisa terkekeh sendiri, heran sekali, Nathan bersikap seolah akan pergi dan tak kembali lagi. Begitu berat perjalanan bisnisnya kali ini.
Mata Nathan menatap Bri sendu, tangannya pun masih tertaut sangat erat, seolah tak rela berpisah. Keraguan dan luka masa lalunya, ditambah rasa takut akan jarak, kini tampak jelas di sorot matanya.
"Safe flight yaa, kabarin kalau udah sampai. Kamu selesaiin kerjaan Kamu dengan baik di sana. Aku juga akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan di sini..." Nathan memeluk Brii lagi lalu mengecup bibirnya sedikit lama, sebuah ciuman perpisahan yang dalam, sebelum akhirnya Brianda misuh-misuh karena sudah harus pergi kalau tidak ingin ketinggalan pesawat.
Sepulang dari bandara mengantar Nathan, Britania terjebak hujan di tengah jalan, padahal sebentar lagi sampai rumah. Firasat buruknya sudah muncul, menggerogoti ketenangannya. Biasanya kalau hujan deras seperti ini akan ada petir juga. Sebelum itu terjadi, Bri bergegas mencari ponselnya, menghubungi Devanda.
"Halo, Kak Brii... ada apa?" Sahut Devanda panik, di rumah singgah sudah hujan besar jadi ia kira Brii juga tengah menghadapai situasi yang sama.
"Aku lagi di jalan Dev, hujan deress bangett... Kamu ke apartemen yaa atau Zetta..." Mereka sudah paham kalau cuaca memburuk seperti ini pasti akan datang ke apartemen untuk menemaninya. Selain Chacha, ada mereka si paling siaga untuk Britania. Tapi kali ini Chacha sedang banyak kerjaan jadi Bri tidak tega untuk meminta bantuannya. Sedangkan Rayyan belum pulang kerja pasti.
"Siap, Kak Brii... Gue segera ke sana. Gue tunggu di basement ya? Atau Gue samperin Lo aja di mana sekarang?" tawar Dave cepat.
"Aku di persimpangan jalan Sudirman, Dev. Aku berhenti di pinggir jalan besar setelah lampu merah, deress banget hujannya..."
"Ya udah Lo tunggu di situ, Gue samperin aja..." Setelah menutup telepon, Bri kembali terdiam, mencoba menetralkan rasa takutnya sendiri namun gagal. Semakin ia melawannya, semakin besar rasa takut yang muncul. Ia tidak akan bisa merasa aman di cuaca buruk seperti ini kalau sendirian. Kenangan pahit masa lalu, saat ia merasa tidak berdaya dan sendirian di tengah badai kehidupan, kembali menghantuinya. Ingin sekali ia mengutuk sebagian rasa buruk dalam dirinya ini, kenapa hanya dia yang memiliki mental selemah itu?
Setelah menunggu beberapa menit dengan kegelisahan bercampur ketakutan dan rasa panik yang memuncak.
Tokk... Tok... Tokk...
Suara kaca mobilnya diketuk, Devanda sudah berdiri di luar sana, basah kuyup namun rautnya penuh lega. Britania bergegas pindah posisi, membiarkan Devanda mengambil alih kemudi.
"Sorry ya, Dev... Lo lagi ngapain tadi?" ucapnya, gemetaran.
"It's okay, Kak Brii... Mau seribu kalipun Lo suruh Gue samperin sambil hujan-hujanan gini Gue siap. Tadi lagi sama Zetta, bantuin Dia masak buat adik-adik." Devanda menjawab dengan tenang, memancarkan aura dewasa yang Brii selalu sukai.
Perasaan Briella berangsur menjadi lebih tenang setelah ada Devanda, meski masih terus memejamkan mata sesekali saat kilat menyambar dan menahan tubuh yang masih juga bergetar.
"Aku mau telepon Rayyan tapi dia pasti belum kelar kerja kan? Kita mampir beli makan dulu aja yaa? Buat anak-anak sekalian..." Devanda sudah ingin menuruti pintanya namun tidak jadi, ia lebih mempercepat mobilnya menuju apartemen Briella.
"Nggak usah, Kak Bri, kita udah hampir kelar masak kok tadi, badan Lo udah menggigil itu, udah kedinginan nanti ditambah mampir lagi. Gue nggak tegaa..."
Britania tertawa kecil, dia memang tidak mendidiknya sejak kecil namun perubahan besar dalam diri Dave ia saksikan sendiri, dari cowok labil yang tukang sakaw, hobinya diam, memiliki tatapan elang yang begitu tajam, kini berubah sebaik itu, keberadaan mereka semua memberinya alasan untuk tetap hidup dengan baik. Kedekatan mereka melebihi sebuah ikatan keluarga baginya, sebuah ikatan yang tulus tanpa beban masa lalu.
Tidak memakan waktu lama, hanya sekitar duauluh menit mereka sudah sampai di unit apartemen Britania.
"Dev, kapan kamu UTS?" tanya Britania setelah selesai berganti pakaian. Devanda sendiri sedang membuatkan susu untuknya di dapur.
"Harusnya besok, Kak..." jawab Devanda, suaranya sedikit ragu.
"Harusnyaaa??? Terus kenapa?" Devanda menyodorkan segelas susu yang mengepulkan asap tipis pada Briella.Kkemudian duduk di sebelahnya. "Dev, jangan bilang kamu berulah di sekolahan yaa?" Brii melirik tajam padanya, sementara Devanda masih setia menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Brii
"Nggak, Kak... Suerrrr! Gue nggak berulah apa-apa, cumaa yaa... ituu... Gue belum lunasin tagihan SPP bulan ini sama beberapa tanggungan lainnya." jawabnya lirih, tidak berani menatap Bri, ada nada malu dan sedikit bersalah.
"Ya ampunnn, Dev... Sorry yaa? Aku bener-bener lupa. Belakangan ini aku banyak banget kerjaan sampai lupa bayar SPP kamu. Harusnya kamu bilang aja kalau aku lupa, bentar aku transfer ke Rayyan aja yaa, biar besok dia yang kesekolah kamu sekalian bayarin punya adek-adek juga. Berapa totalnya?" sebelah Tangan Brii langsung sibuk mengutak-atik ponsel untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening Rayyan guna membayar tunggakan biaya sekolah anak-anak. Brii menyesali kelalaian ini, ia merasa bertanggung jawab penuh atas masa depan mereka. Bisa-bisanya lupa, padahal itu pengeluaran rutin.
Terima kasih buat kalian sudah membaca sampai di bab ini. Jangan lupa komen dan likenya...