"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Dua Syarat
Bahkan semakin dekat dengan suaminya, Kanya mulai mencium sesuatu yang lain.
Bukan hanya aroma parfum wanita—manis, menusuk, dan asing—tapi juga bau samar lain yang pelan-pelan mengusik pikirannya.
"Aroma ini..?"
Ia tak pernah menyentuh alkohol seumur hidupnya, namun aroma itu terasa familiar.
Sekilas, ia teringat kenangan lama—saat berjalan bersama ayahnya, melewati seorang pria yang terhuyung di pinggir jalan. Bau tajam dan aneh itu… ia mual waktu itu, dan kini ia mencium aroma yang sama. Samar, tapi cukup kuat untuk membuat hatinya goyah.
“Mungkinkah itu aroma alkohol? Tapi... baunya hanya samar. Aku yakin dia tak minum. Tapi parfum wanita... dan noda lipstik di kerah bajunya…”
Kanya menelan ludah. Kepalanya penuh tanya, tapi belum sempat pikirannya menyusun jawaban…
Sebuah suara memotong, tajam.
“Ck. Cepat buka! Lelet banget. Aku udah capek, tahu!”
Nada suara Kian—geram, lelah, dan… tak peduli.
Kanya menarik napas panjang. Jemarinya kembali bergerak… satu per satu… melepas kancing itu dengan hati yang bergemuruh.
Lidahnya kelu. Tapi matanya tetap menatap kerah kemeja itu…
Noda lipstik itu masih di sana. Seperti bukti yang menampar diam-diam.
"Apa dia jajan di luar karena aku belum menunaikan kewajiban? Tapi... Papa dan Mama orang taat... pasti mereka mendidik anak mereka dengan baik. Tapi… tapi kenapa…"
Aroma itu. Noda itu. Tak bisa ia abaikan begitu saja.
Akhirnya ia tak tahan.
"Kak..."
Suara itu lirih. Nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat Kian menatapnya sejenak.
"Apa?" tanyanya malas, seperti enggan diganggu.
Jemari Kanya masih membuka kancing, tapi matanya tak berani menatap.
"Kamu... nggak jajan di luar, 'kan?"
Sunyi.
Jantung Kanya berdetak kencang.
Menunggu.
Degupnya seperti menunggu vonis.
Kian tersentak. Sorot matanya berubah saat mendengar pertanyaan lirih istrinya.
“Kamu... gak jajan di luar, 'kan?”
Sejenak sunyi menggantung.
Tatapan Kian turun, menelusup dari balik cadar yang menutupi wajah Kanya. Ia tak menyangka—istrinya yang begitu kalem… bisa seblak-blakan itu.
“Kenapa?” gumamnya, pelan tapi tajam. “Kau tak suka aku menyentuh wanita lain?”
Kanya menghela napas. Kancing terakhir kemeja Kian akhirnya terlepas dari lubangnya. Ia menarik kain itu pelan dari tubuh suaminya, lalu menjawab tenang—namun sarat luka.
“Mana ada perempuan yang senang jika suaminya menyentuh wanita lain?”
Kian menyeringai. Senyum tipis, sinis… penuh tantangan.
Ia menunduk, membisik di telinga Kanya.
“Kalau kau takut… kenapa tak jalankan kewajibanmu sebagai istri?” bisiknya dingin. “Berikan hakku sebagai suami. Sekarang.”
Suaranya rendah, menggoda. Tapi nada itu menusuk. Sengaja. Seperti menunggu istrinya menyerah dan berkata: “Aku tak sanggup.”
"Cepatlah, Kanya," gumamnya dalam hati. "Katakan saja kau menyerah. Katakan kau ingin pisah. Jangan buang waktuku… dengan hubungan tanpa cinta karena terpaksa ini."
Namun, Kanya bergeming.
Dadanya bergemuruh—jantungnya berdetak begitu keras hingga ia takut Kian bisa mendengarnya.
Bukan hanya karena kata-kata Kian, tapi juga karena kedekatan ini… terlalu dekat. Ini pertama kalinya ia berada sedekat itu dengan seorang pria. Bahkan ayahnya pun… tak pernah sedekat ini.
Tapi Kanya tetap berdiri. Ia melawan gejolak itu dengan sorot mata yang terangkat perlahan.
Dari balik cadarnya, matanya menatap langsung ke mata Kian. Tatapan itu tegas dan bening. Bukan amarah. Bukan pemberontakan. Tapi keyakinan—yang menggetarkan.
“Aku akan berikan hak Kakak. Sekarang. Saat ini juga.”
Kian sempat terdiam.
“Tapi…” lanjut Kanya, dengan nada yang tetap tenang, “…dengan dua syarat.
Belajarlah mencintai aku.
Dan berjanjilah hidup bersamaku… selamanya. Di atas. Al Qur’an.”
Kata-kata itu tidak diucapkan dengan suara keras. Tapi justru karena lirihnya, maknanya terasa lebih menghantam.
Senyum Kian langsung lenyap.
Bersumpah di atas Al Qur’an?
Kata-kata itu menggema di kepalanya. Tak main-main. Bagi seorang muslim yang tahu nilainya, bersumpah atas nama kitab suci bukan sekadar janji biasa. Itu perjanjian dengan langit—yang jika diingkari, bisa menghancurkan hidup.
Tak sedikit orang jadi gila karena bermain-main dengan sumpah semacam itu.
Sorot matanya meredup. Pikirannya berkabut. Tak menjawab. Tak menyahut. Hanya diam... lalu perlahan, kakinya melangkah menuju kamar mandi.
Brak.
Pintu ditutup. Tak keras, tapi cukup menunjukkan: ia tidak suka. Ia tidak siap.
Kanya menatap pintu itu lama… lalu menunduk menatap kemeja yang masih digenggamnya. Aroma parfum wanita lain itu menusuk hidungnya. Noda lipstik samar di kerah baju seakan menampar harga dirinya sebagai seorang istri.
Tapi itu tak seberapa…
Dibanding suaminya sendiri yang pergi, saat ia menawarkan cinta dan kesetiaan—dengan syarat paling manusiawi: dicintai.
Kanya menghela napas panjang, napas yang terasa seperti batu menekan dadanya.
Ia berjalan perlahan ke sofa, duduk diam dalam risau. Matanya tak menangis, tapi hatinya berdarah pelan-pelan.
----
Di kamar mandi, air dingin mengguyur tubuh Kian tanpa ampun.
Matanya terpejam. Tapi pikirannya menolak diam.
Perkataan Kanya tadi terus bergaung, berulang, menyusup ke setiap ruang dalam benaknya.
Hingga kenangan akan percakapan mereka tadi menyeruak—
membawanya kembali pada awal segalanya.
Satu setengah jam yang lalu…
Kian melajukan mobilnya menyusuri jalanan menuju rumah. Kecepatan sedang, pikirannya setengah lelah, setengah ingin pulang cepat.
Lalu—
Ponselnya berdering.
Nada dering itu...
Masih nada yang sama.
Nada khusus yang dulu hanya untuk satu nama.
Dan masih belum ia ganti—entah lupa, atau memang tak sanggup.
Friska.
Jantung Kian berdetak tak beraturan. Matanya terpaku pada layar.
Sudah berhari-hari sejak hari itu…
Sejak Friska berdiri dari meja akad dan pergi— setelah pernikahan mereka batal bahkan sebelum menjadi sah.
Sejak dunia mereka runtuh dalam diam.
Sejak itu, Friska tak pernah menghubunginya.
Dan ia pun tak punya cukup nyali untuk mengirimkan satu pesan pun.
Apa yang bisa ia katakan?
Maaf?
Itu tak cukup untuk luka sebesar itu.
Tapi kini... Friska menelepon.
Kian buru-buru menepikan mobil ke bahu jalan. Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol hijau.
"H-Halo, Fris?"
Namun bukan suara manja Friska yang menyambutnya.
Melainkan suara asing. Suara pria.
“Maaf, Pak. Saya bartender di klub malam The Night Garden. Wanita pemilik ponsel ini sedang mabuk... saya takut ada pria yang berniat buruk padanya.”
Jantung Kian terhenti sejenak.
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia membanting setir dan memutar arah. Gas diinjak dalam-dalam.
“Friska… apa yang kau lakukan di tempat seperti itu?” desisnya.
Selama ini, Friska tidak pernah menyebut soal klub malam. Bahkan dia mengaku tak suka tempat ramai. Tapi malam ini...
-----
Lampu neon klub menyilaukan mata.
Aroma alkohol dan musik EDM menyambutnya seperti tamparan.
Kian langsung menuju meja bartender.
Matanya membelalak saat melihat Friska di sana—kepalanya terkulai, matanya sayu dan sembab.
Yang membuat rahangnya mengeras adalah seorang pria muda yang duduk terlalu dekat, tangannya menyentuh pipi Friska.
“Friska!” pekiknya dalam hati.
Friska tampak menepis, lemah dan terhuyung. Tapi pria itu masih mencoba mendekat.
Dengan langkah lebar Kian berjalan menghampirinya.
Tanpa pikir panjang, ia mencengkeram lengan pria itu.
Genggamannya kuat. Dingin. Mematikan.
“Singkirkan tangan kotormu darinya,” desis Kian, tepat di telinga pria itu, suaranya pelan tapi mengandung ancaman tajam di tengah dentuman musik.
Pria muda itu meringis, mencoba menarik lengannya.
“Hei! Apa urusanmu, ha?! Jangan ikut campur—”
“Aku kekasihnya,” potong Kian tegas.
Si pria terdiam.
Bartender mendekat, wajahnya tegang.
“Tuan-tuan, tolong... jangan buat keributan. Kalau tidak, kami terpaksa memanggil keamanan.”
Kian menatap bartender sekilas, lalu kembali menatap pria muda itu.
Dengan kasar, ia mendorong lengan pria itu menjauh.
Pria muda itu menggeram.
“Aku akan ingat malam ini...” katanya penuh dendam sebelum berbalik pergi.
Kian tak menjawab. Tatapannya cukup membuat pria itu tahu siapa yang sedang dihadapi.
Kian lalu beralih pada bartender.
“Kamu yang menelepon tadi?”
“Iya, Tuan. Saya temukan nomor Anda di speed dial. Ini... tas dan ponselnya.”
Kian mengangguk. Menerima tas dan ponsel dengan satu tangan, sementara tangan satunya menopang tubuh Friska yang sudah mulai limbung.
“Terima kasih,” ucap Kian.
Bartender mengangguk dan mundur.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁