NovelToon NovelToon
Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 3

Begitu Ganendra membalik badan untuk pergi setelah kata-kata terakhirnya pada Rania, suasana masih terdiam hingga akhirnya Pak Mahfud, pamannya, maju selangkah dengan dada bergemuruh dan mata yang mulai memerah karena menahan amarah.

“Maaf, tapi saya tidak bisa diam.”

Suaranya berat, menggema, membuat orang-orang kembali menoleh. Pak RT, Pak Salim, ikut berdiri di sampingnya, wajahnya tegang namun tetap tenang.

Pak Mahfud menatap langsung ke arah Pak Darto dan istrinya. “Kalian yang minta Ganendra datang, kalian yang sepakat dengan tanggal lamaran. Kami ini datang karena diundang secara baik-baik, bukan karena numpang numpang harap!”

Pak RT menambahkan dengan nada tegas, “Lalu sekarang, kalian buat acara tunangan untuk laki-laki lain dan menyambut kami seperti orang asing? Apa ini memang direncanakan dari awal? Apa memang niatnya dari awal untuk mempermalukan keluarga kami di depan umum?”

Pak Darto tersentak, namun belum sempat menjawab, Pak Mahfud kembali angkat suara. Kali ini lebih dalam, dengan kemarahan yang tetap bermartabat.

“Kami ini orang kecil, iya. Tapi bukan berarti kami bisa seenaknya dipermainkan! Harga diri kami mungkin tak semahal rumah kalian, tapi kami punya kehormatan. Kalau kalian memang tidak setuju dengan lamaran ini, kami bisa terima, asal disampaikan dengan hormat! Tapi yang kalian lakukan hari ini sungguh keterlaluan.”

Bu Erna tampak ingin membalas, namun Pak RT langsung memotong dengan suara dingin.

“Dan kalian bukan hanya mempermalukan Ganendra dan ibunya, tapi mempermalukan diri kalian sendiri di hadapan tamu-tamu kalian. Hari ini semua orang jadi saksi, mana keluarga yang menjunjung adab, dan mana yang menjunjung gengsi.”

Tamu-tamu mulai saling berbisik, suasana mulai tak nyaman bagi keluarga Rania. Beberapa bahkan terlihat mengangguk kecil mendengar perkataan Pak RT.

Pak Mahfud menatap tajam untuk terakhir kalinya. “Kami datang dengan membawa niat baik, bukan membawa malu. Tapi ternyata, yang membuat kami malu bukan karena ditolak, tapi karena telah percaya pada keluarga yang tidak tahu caranya menjaga kehormatan tamu.”

Lalu ia merangkul Ganendra, dan berkata pelan, “Ayo, Nak. Kita pulang. Lebih baik kita dihina karena miskin, daripada kaya tapi tak tahu cara menghargai orang.”

Dan dengan langkah penuh wibawa, rombongan kecil Ganendra pun pergi, meninggalkan pesta yang tampak megah tapi kehilangan maknanya.

Karena hari itu, bukan hanya hati yang patah, tapi wajah siapa yang benar-benar terhormat, akhirnya terbuka di hadapan semua orang.

Pak Mahfud yang sejak tadi menahan gejolak dadanya akhirnya maju selangkah lagi, wajahnya merah padam menahan marah namun tetap dijaga dengan sikap yang bermartabat. Ia menatap Pak Darto dan istrinya dengan tajam.

“Pak, Bu... kami ini orang Makassar. Ada siri’ na pacce dalam hidup kami. Ada harga diri, ada rasa malu, ada empati. Siri’ itu kehormatan. Pacce itu rasa malu kalau menyakiti orang, rasa pedih kalau mempermalukan tamu. Dan hari ini... kalian injak semua itu.”

Pak RT, Pak Salim, mengangguk pelan, ikut berdiri di samping Pak Mahfud.

“Bukan soal lamaran diterima atau ditolak. Kami bisa terima kalau ditolak dengan cara terhormat. Tapi ini? Kalian sengaja undang kami, padahal tahu kalian mau nikahkan anak kalian dengan orang lain. Ini bukan sekadar pembatalan, ini penghinaan.”

Pak Mahfud menunjuk ke arah kotak seserahan yang masih dibawa salah satu kerabat mereka, lalu menatap Pak Darto dengan sorot kecewa.

“Kami bawa seserahan bukan buat pamer. Kami bawa itu sebagai bentuk penghormatan. Tapi kalian balas dengan mencoreng muka anak kami, mempermalukan ibunya, dan menghina profesi orang tua yang kalian anggap rendah. Maaf, tapi ini bukan cuma soal cinta ini sudah soal siri’. Dan kami tidak akan tinggal diam!”

Bu Siti masih berdiri dengan kepala tegak, air mata tertahan di ujung matanya, tapi tidak ada yang lebih bangga daripada anak dan keluarga yang berdiri membelanya hari itu.

Pak RT akhirnya bicara, nadanya dalam dan penuh wibawa. “Kalau kalian lupa caranya menghormati tamu, biar kami pulang dengan harga diri yang masih utuh. Dan biarlah semua yang hadir hari ini jadi saksi, bahwa yang kaya belum tentu mulia, dan yang sederhana belum tentu hina.”

Pak Mahfud pun berkata lirih namun menusuk sebelum berbalik. “Kami pulang, bukan karena kalah. Tapi karena kami tahu siri’ na pacce tidak bisa dibeli dengan pesta besar dan nama besar.”

Dan dengan itu, rombongan Ganendra pun melangkah pergi. Kepala mereka tegak, langkah mereka pasti, karena mereka tahu lebih baik pulang membawa luka, daripada tinggal dan kehilangan martabat.

Saat rombongan Ganendra hendak benar-benar melangkah pergi, seorang perempuan paruh baya yang sedari tadi berdiri di samping Pak RT akhirnya angkat bicara. Ia adalah Bu RT, istri Pak Salim. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya menyimpan ketegasan seorang ibu yang tak tahan melihat ketidakadilan.

Ia maju beberapa langkah, berdiri di antara kerumunan tamu yang masih terdiam. Dengan suara lantang namun hangat, ia berkata,

“Ananda Ganendra jangan tunduk begitu, Nak. Angkat kepalamu. Kamu datang hari ini membawa niat baik, membawa restu ibu, membawa harga diri. Tapi Allah lebih tahu siapa yang pantas untukmu.”

Ia menoleh ke arah Rania dan keluarganya, lalu kembali menatap Ganendra.

“Percayalah, suatu hari nanti kamu akan dapat jodoh yang bukan hanya lebih baik dari Rania, tapi yang juga tahu caranya menghargai perjuangan, mencintai dengan tulus, dan berdiri di sisimu bukan karena harta tapi karena hati.”

Beberapa tamu tampak mengangguk, bahkan beberapa ibu-ibu di belakang mulai menyeka mata.

“Kamu mungkin kalah di mata mereka hari ini, Nak. Tapi di mata orang yang tahu arti siri’ na pacce, kamu pemenangnya.”

Bu RT tersenyum lembut, lalu menepuk pundak Bu Siti. “Bu, Ibu harus bangga. Anak ibu lelaki sejati. Insya Allah… akan ada perempuan baik yang dikirim Tuhan, bukan hanya mencintai anak ibu, tapi juga mencium tangan ibu dengan penuh hormat.”

Bu Siti mengangguk pelan, matanya mulai berlinang. Ganendra pun menatap Bu RT dengan mata yang mulai basah, tapi senyumnya mengembang kecil senyum seorang lelaki yang tahu, meski hari ini ia ditolak, tapi ia tidak pernah kalah.

Dan hari itu, meski tak jadi membawa pulang calon istri, Ganendra pulang membawa sesuatu yang jauh lebih mulia yaitu kehormatan, doa, dan harga diri yang tetap utuh di mata orang-orang baik.

“Ya Rabb… Kenapa sesederhana ini harapan kami, tapi serumit ini jalan menuju bahagia? Ibu… Maafkan anakmu ini. Aku tak cukup tangguh untuk menjaga wajahmu tetap teduh. Aku tahu kau berusaha tegar, tapi aku bisa melihat retak itu di mata tuamu.”

“Dulu aku pikir, cinta cukup jadi alasan untuk diterima. Ternyata silsilah dan harga diri lebih dulu jadi hakimnya. Apa salahku lahir dari rahim seorang penjahit, dari pelukan seorang janda yang tiap malam menambal luka sendirian?”

“Kue dodorok itu, waje umba-umba yang dulu kuimpikan akan kau hantarkan sambil tersenyum bahagia,

kini hanya jadi simbol luka.

Bukan karena rasanya yang berubah, tapi karena maknanya tercabik.”

“Mereka menilai kami rendah.

Menginjak harga diri kami seolah darah kami lebih murah dari darah mereka.

Tapi Ibu selalu bilang...

Siri’ na pacce lebih tinggi dari segala yang mereka punya.

Dan hari ini aku memilih menunduk bukan karena kalah,

tapi karena aku tak ingin hatiku menjadi congkak seperti mereka.”

“Ya Allah...

Jika bukan Rania takdirku,

Tolong hapus namanya dari ingatanku.

Tapi jika Engkau masih menulis namanya di Lauhul Mahfudz untukku,

maka bimbinglah aku mencintainya tanpa harus mengorbankan harga diri ibuku.”

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
sunshine wings
dan kamu emang udah layak dari pertemuan pertama insiden itu Livia .♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Wah aku yg salting.. asekkk.. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
sunshine wings
hahaha.. energi ya mas.. powerbank.. 💪💪💪💪💪😍😍😍😍😍
sunshine wings
Kan.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Good Ganendra.. 👍👍👍👍👍
sunshine wings
Yaa begitulah..Mantapkan hati.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Memang ada pilihan lain tapi hati hanya punya satu ya mau gimana lagi ya kan..
sunshine wings
Sudahlaa Lintang nanti makan diri sendiri.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
kerana Livia yg pertama ada selepas hati Ganendra hancur berkeping².. ♥️♥️♥️♥️♥️
Naila
lanjut
Purnama Pasedu
lintang jadi badai
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: duri dalam daging 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😘😘😘😘😘
sunshine wings
Yesss!!! 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
daaan calon suami juga.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Purnama Pasedu
Livia,,,sekali kali ajak ibunya ganen sama ganen ke restoran
Purnama Pasedu: begitu ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum waktunya kak mereka belum resmi pacaran
total 2 replies
sunshine wings
Laa.. rupanya adek sepupu kirain adek sekandung.. buat malu aja.. sadar dri laa ɓiar sedikit.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Al Ghifari
lanjut seru banget
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak insyaallah besok 😘🙏🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!