Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditinggalkan
Jema pulang ke rumah dengan langkah pelan. Kepalanya masih terasa berdenyut, bekas kejadian di lapangan basket belum sepenuhnya hilang. Ia hanya ingin rebahan, tidur, dan melupakan hari yang terasa terlalu panjang.
Namun begitu sampai di depan rumah, langkahnya terhenti.
Di pagar rumahnya terpasang tulisan besar yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak: DISITA OLEH BANK.
Jema menelan ludah. Dadanya terasa sesak.
Di luar rumah, ibunya terduduk di lantai, menangis histeris. Tangisnya pecah, tak beraturan, seolah semua beban dunia runtuh bersamaan. Tetangga-tetangga berdiri tak jauh, berbisik-bisik dengan wajah prihatin.
“Ada apa, Ma?” Jema berlari menghampiri ibunya, lututnya gemetar.
Namun sebelum sempat mendapatkan jawaban, plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya.
Jema terhuyung. Belum sempat bereaksi, tangan ibunya sudah menjambak rambutnya dengan kasar, menariknya hingga kulit kepalanya terasa perih. Pukulan demi pukulan mendarat tanpa ampun.
“Anak sialan!” teriak sang ibu penuh amarah dan air mata.
“Ma! Stop, Ma!” Selin dan Susan berusaha menarik tubuh ibu mereka. Para tetangga ikut turun tangan, memisahkan Jema yang sudah terdorong jatuh ke tanah.
Tubuh Jema terasa sakit di mana-mana. Kepalanya makin berdenyut, dadanya sesak, tapi yang paling menyakitkan bukan pukulan itu—melainkan tatapan ibunya yang penuh kebencian.
“Dasar anak sialan! Ayah kamu juga sialan!” teriak ibunya lagi.
Jema menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa, Ma? Ada apa sebenarnya?”
Ibunya terisak keras, suaranya bergetar saat akhirnya berkata,
“Ayah kamu ternyata punya utang.”
Jema membeku.
“Sebelum meninggal, dia nggak pernah bilang apa-apa. Semua utang itu… atas nama mama,” lanjut ibunya dengan suara hancur.
Kaki Jema melemas.
“U… utang?”
“Rumah ini disita buat nutup utang ayah kamu,” ibu itu menjerit. “Tapi tetap nggak cukup!”
Kepala Jema terasa kosong. Dadanya sakit.
“Papa… punya utang?” gumamnya lirih, nyaris tak bersuara.
“Sekarang kita mau tinggal di mana, hah?!” jerit ibunya menengadah ke langit. “Ya Tuhan…!”
Susan dan Selin memeluk ibunya erat, mencoba menenangkannya.
Sementara Jema…
Ia hanya berdiri terpaku di kejauhan.
Bahkan untuk mendekat pun ia takut—takut ibunya kembali melampiaskan amarah, takut dianggap penyebab dari semua ini, takut menjadi beban yang paling dibenci.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Jema merasa benar-benar kehilangan rumah.
Saat itu sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari rumah mereka. Jema menoleh pelan.
Om Chandra.
Begitu turun dari mobil, Chandra langsung berlari menghampiri ibu dan memeluknya erat. Ibu yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menangis di pelukan pria itu, seakan semua kekuatannya runtuh bersamaan.
“Tenang… tenang,” ucap Chandra lembut sambil mengusap punggung ibu. “Kita kan sebentar lagi menikah. Kamu jangan khawatir.”
“Tapi sekarang aku harus gimana, Chandra?” suara ibu bergetar. “Semuanya sudah disita… aku nggak punya apa-apa lagi. Hutangnya pun belum lunas…”
Chandra menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah beberapa orang yang masih berdiri di sekitar rumah, termasuk pihak penagih. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan kartu nama, lalu menyerahkannya pada salah satu debt collector.
“Saya yang akan melunasi seluruh utang mantan suaminya,” ucap Chandra tegas. “Untuk sementara, saya minta kalian beri kami waktu.”
Orang itu mengangguk, tampak jauh lebih sopan setelah melihat nama yang tertera di kartu.
Chandra kembali menatap ibu. “Sekarang jangan sedih lagi. Kita ke hotel dulu, ya. Sementara kalian tinggal di sana.”
Ibu mengangguk lemah.
Susan dan Selin segera membantu ibu masuk ke dalam mobil. Mereka tampak lega, seolah baru saja diselamatkan dari jurang yang dalam.
Namun Jema…
Tidak ada yang menoleh padanya.
Pintu mobil tertutup. Mesin menyala. Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Jema berdiri sendirian di depan rumah yang bahkan tak bisa ia masuki lagi.
Jema mematung.
Dadanya terasa kosong, seperti ada lubang besar yang menganga. Ia ingin memanggil ibu, ingin bertanya kenapa ia ditinggal, ingin ikut masuk ke mobil itu—tapi suaranya tertelan tenggorokan sendiri.
Ia tidak punya kunci.
Ia tidak punya rumah.
Dan, rasanya… ia juga tidak punya siapa-siapa.
Dengan langkah gontai, Jema mulai berjalan menjauh. Ia tidak tahu harus ke mana. Tidak ada kerabat, tidak ada sanak saudara yang bisa ia datangi. Perutnya perih—lapar, tapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih kosong.
Langkahnya membawanya ke sebuah Indomaret di pinggir jalan. Lampunya terang, pintunya terbuka, orang-orang keluar masuk dengan wajah biasa saja. Dunia tetap berjalan, seolah hidup Jema tidak baru saja runtuh.
Jema berhenti beberapa meter dari pintu.
Ia hanya berdiri di sana, memandangi etalase makanan dari kejauhan.
Ia tidak masuk.
Ia tidak membeli apa pun.
Karena untuk pertama kalinya, Jema benar-benar tidak tahu…
ia masih punya tempat di dunia ini atau tidak.
Jema duduk di teras Indomaret, memeluk tas ranselnya erat-erat. Bahunya bergetar, air mata jatuh membasahi pipi, sementara kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Nathan baru saja memarkirkan motornya ketika pandangannya tertangkap pada sosok itu. Ia berhenti melangkah. Matanya menyipit, mencoba memastikan.
Apa gue salah lihat?
Nathan mendekat, lalu berjongkok di hadapan gadis itu. Tangannya hampir menyentuh kepala Jema, namun tepat saat itu Jema mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu.
Sama-sama terkejut.
Wajah Jema penuh air mata, ada luka lebam di pipinya, rambutnya acak-acakan. Penampilannya membuat siapa pun bisa salah paham—seperti orang yang kehilangan arah.
“Lo kenapa?” tanya Nathan pelan.
Jema belum sempat menjawab, perutnya justru berbunyi keras, memecah keheningan.
Nathan menghela napas pendek. “Tunggu di sini.”
Ia masuk ke dalam Indomaret. Beberapa menit kemudian, Nathan keluar membawa beberapa roti, satu mie cup yang sudah diseduh, dan sebotol air mineral.
Nathan menghampiri Jema dan menyuruhnya duduk di kursi. Ia meletakkan makanan itu di depan gadis tersebut.
Jema tidak bicara apa-apa. Ia langsung makan dengan lahap, seolah sudah lama menahan lapar.
“Pelan-pelan makannya,” ucap Nathan.
Tatapan Nathan tertuju pada wajah Jema. Luka lebam itu jelas terlihat, kontras dengan wajahnya yang seharusnya terlihat manis.
“Tunggu sebentar,” kata Nathan lagi.
Jema hanya mengangguk kecil.
Nathan pergi ke apotek tak jauh dari Indomaret. Saat kembali, Jema masih makan. Nathan duduk di depannya, diam. Ia tidak bertanya, tidak mengeluarkan satu kata pun sampai Jema selesai makan dan minum.
“Ini rotinya buat gue?” tanya Jema pelan.
“Ambil aja.”
Jema memasukkan plastik berisi roti ke dalam ranselnya.
“Jema…” panggil Nathan.
Jema menatapnya. Nathan memberi isyarat dengan tangannya agar wajah Jema mendekat ke arahnya. Jema ragu sejenak, tapi akhirnya menurut.
Nathan membuka plastik kecil dari apotek. Ia mengambil kapas dan obat antiseptik.
“Diem,” ucapnya singkat.
Jema refleks ingin mundur, tapi tangan Nathan sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya. Tidak kasar, justru terlalu hati-hati—seolah takut melukainya lagi. Nathan membersihkan luka lebam di sudut bibir Jema. Jema meringis, tangannya mengepal di atas paha.
"Ah sakit..."
Nathan tidak membalas. Fokusnya penuh pada wajah Jema. Alisnya berkerut tipis saat melihat lebam di pipi dan bekas kemerahan di pelipis gadis itu. Setelah membersihkan luka, ia menempelkan plester dengan gerakan hati-hati.
Aroma antiseptik bercampur dengan wangi manis yang sudah sangat familiar baginya—aroma yang entah kenapa selalu membuat dadanya terasa aneh.
“Udah,” ucap Nathan setelah selesai.
Jema menarik napas lega. “Makasih…”
Nathan menyimpan kembali sisa obat ke dalam plastik. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Jema, menyandarkan punggungnya, lalu menatap gadis itu lama.
“Ayo, gue antar lo pulang.”
“Gue nggak bisa pulang.”
Nathan mengernyit. “Hah? Kenapa nggak bisa pulang?”
“Rumah gue disita bank.”
Nathan terdiam sejenak. “Terus lo gimana? Nyokap lo?”
Jema menggeleng pelan.
Nathan sebenarnya sudah tahu ayah Jema telah meninggal dan gadis itu tinggal bersama ibu sambungnya. Tapi lebih dari itu, ia nggak pernah benar-benar tahu bagaimana kehidupan Jema. Dari gelengan kepala itu saja, Nathan bisa menebak—hubungan mereka pasti nggak baik.
“Nathan…” suara Jema bergetar. “Gue boleh nginep di rumah lo nggak?”
Nathan hampir jatuh dari kursinya. “Hah?!”
“Gue nggak tahu lagi harus ke mana. Rumah Jesika jauh dari sini.”
Nathan memijat pelipisnya. Kepalanya penuh. Kalau dia bawa Jema pulang, sudah pasti rumah bakal heboh. Belum lagi, pagi tadi ia baru saja bertengkar hebat dengan ayahnya. Semua terasa ribet.
“Gue tahu lo benci sama gue,” lanjut Jema pelan, menunduk. “Tapi gue bener-bener nggak tahu lagi harus gimana. Kali ini aja bantuin gue, gue mohon…”
Nathan menghela napas panjang. Ia berdiri, membuat Jema menatapnya dengan cemas.
“Ayo.”
Jema mengerjap. “Ke mana?”
“Nggak usah banyak tanya. Ikut gue, mau nggak?”
“Iya… iya, gue ikut.”
Mereka berjalan ke parkiran. Nathan sudah naik ke motornya, tapi lalu matanya tertuju pada Jema—masih mengenakan seragam sekolah, dengan rok yang jelas terlalu pendek untuk malam hari.
“Lo kenapa nggak ganti baju dulu sih?”
“Gimana mau ganti baju,” jawab Jema lirih. “Kan gue nggak dikasih masuk rumah.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan melepas jaketnya. Ia langsung menyodorkannya ke Jema.
Jema menerimanya, lalu naik ke motor dan duduk menyamping. Ia menutupi pahanya dengan jaket Nathan, sementara Nathan menyalakan motor dan mulai melaju.