Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 — Surat dari Donatur
Telepon panti terus berdering.
Nada deringnya biasa—ringan, sedikit sumbang—tapi bagi Nayara, suaranya seperti palu yang menghantam dada.
Seolah setiap getarannya adalah langkah seseorang yang sedang mengejar masa lalu yang ia kubur.
Bu Lilis menatap layar, lalu menatap Nayara.
“Ini… dari pihak donatur. Harusnya diangkat.”
Hening sejenak.
Nadim berdiri di samping Nayara, tubuhnya tegang seperti tali busur yang ditarik keras. Ia bukan anak kecil lagi; sepuluh tahun cukup membuatnya mengerti kapan bahaya datang.
“Ibu, angkat aja,” Aru berbisik polos, tidak sadar bahwa satu panggilan bisa mengubah hidupnya.
Nayara meremas jemari Aru, lembut tapi erat, seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu yang paling berharga.
“Aku… aku angkat ya, Bu?” suara Bu Lilis pelan, hati-hati.
Nayara tidak menjawab.
Ia hanya mengangguk sangat sedikit—nyaris seperti gerakan refleks orang yang sedang tersudut.
Klik.
Sambungan terhubung.
Suara laki-laki terdengar, jernih, formal… tapi ada kehangatan samar yang membuat kulit Nayara merinding.
“Selamat siang. Saya dari Santoso Foundation. Kami ingin mengatur jadwal kunjungan ke panti asuhan Anda. Kami sudah memilih panti ini sebagai program fokus kami selama satu tahun.”
Nada suaranya sopan.
Namun setiap katanya seperti bara kecil yang jatuh ke lantai kayu yang kering.
Nayara merasakan dadanya mengencang.
Santoso.
Nama itu seperti pintu yang ia tutup rapat bertahun-tahun—dan kini ada tangan yang mencoba memaksa membukanya.
Bu Lilis menjawab dengan semangat.
“Wah! Terima kasih banyak! Tentu kami senang sekali. Ini kabar baik untuk anak-anak. Kapan pihak Foundation bisa datang?”
“Secepatnya,” jawab suara itu. “Direktur kami ingin bertemu langsung dengan salah satu anak penerima beasiswa. Namanya… Aru, ya?”
Aru menatap sekeliling, tidak mengerti apa-apa, tetapi matanya bersinar bangga mendengar namanya disebut.
Nadim langsung menegakkan badan. Wajahnya berubah.
Sementara keringat dingin mengalir di punggung Nayara.
Pria di seberang telepon kembali berkata:
“Kami akan kirim surat resmi dan jadwal lengkap dalam beberapa menit. Harap pihak panti bisa memfasilitasi pertemuan tersebut.”
Suaranya sopan. Profesional.
Dan lebih mengerikan dari yang pernah Nayara bayangkan.
Karena suara itu bukan suara Rendra.
Bukan siapa-siapa dari masa lalu secara langsung.
Tapi nama lembaganya… tidak mungkin salah.
Santoso Foundation hanya bisa dimiliki oleh satu garis keluarga.
Keluarga… itu.
Telepon ditutup.
Ruangan langsung penuh bisik-bisik bahagia.
“Alhamdulillah, Yara!”
“Akhirnya panti kita dapat donatur tetap!”
“Kita bisa renovasi toilet, beli kasur baru!”
“Aru… kamu hebat sekali, nak!”
Aru tertawa, dipeluk banyak anak.
Nadim masih diam, wajahnya gelap.
Nayara tidak bisa bergerak.
Dadanya naik turun cepat. Ruang kantor panti terasa mengecil. Suara-suara di sekelilingnya seperti bercampur menjadi satu gumaman panjang.
Bu Lilis kembali menatap Nayara.
“Yara… kamu kenapa? Senang kan? Ini kesempatan besar. Jarang panti seperti kita dapat perhatian sebesar ini.”
Nayara mencoba tersenyum, tapi bibirnya seperti kaku.
“Iya, Bu… Saya cuma… kaget.”
“Wajar,” sahut Bu Lilis. “Nanti mereka kirim surat resmi. Saya simpan dulu ya.”
Belum sempat Nayara menjawab, notifikasi email berbunyi dari komputer Bu Lilis.
PING.
Bu Lilis membuka email tersebut sambil tersenyum lebar.
“Nah, ini dia… cepat sekali mereka.”
Matanya membaca cepat.
Senyumnya perlahan memudar.
“Nayara… kamu harus lihat ini. Ada yang perlu kamu tanda tangani.”
“Apa itu?” suara Nayara serak.
“Surat formal dari Foundation. Mereka ingin pertemuan difokuskan pada program ‘Pemulihan Anak’ dan… menuliskan satu catatan khusus.”
“Catatan apa?”
Bu Lilis mengernyit.
“Katanya, salah satu wali anak penerima beasiswa diminta hadir. Dan… nama wali yang mereka tulis adalah… kamu.”
Nayara mematung.
Nadim mencelos.
Aru melihat ke wajah ibunya. “Ibu? Itu bagus kan? Kita diajak ketemu?”
Nayara memaksa tersenyum. “Iya, sayang… bagus.”
Tapi matanya tidak bisa berbohong.
Ada sesuatu yang terlalu tepat, terlalu terarah.
Santoso Foundation.
Beasiswa untuk Aru.
Surat resmi mencantumkan nama dirinya sebagai wali.
Permintaan bertemu langsung.
Ini bukan bantuan biasa.
Bukan kebetulan.
Bukan program spontan.
Seseorang sedang mencari.
Seseorang sedang mendekat.
Seseorang yang akhirnya menemukan satu titik kecil di peta…
… titik yang selama ini ia sembunyikan dengan segala tenaga.
Sore harinya panti lebih ramai dari biasanya.
Anak-anak membicarakan “donatur besar” seolah mereka sedang menunggu artis datang.
“Aku mau pakai baju bagus besok!” “Panti kita mau bagus nih!” “Aku mau tunjukkin gambar ke orang kaya itu!”
Suasana penuh harapan.
Hanya satu orang yang tidak merasa demikian.
Nayara duduk di bangku kayu halaman panti, menatap tanah yang becek bekas hujan.
Nadim menghampiri.
“Kak.”
Suaranya rendah. “Kita harus siap kemungkinan terburuk.”
Nayara menunduk. “Aku tahu.”
“Mereka bukan cuma nyari panti, Kak. Mereka nyari orang.”
Nayara menatap Aru yang bermain bola kecil dengan teman-temannya.
Tatapannya penuh cinta… dan ketakutan.
“Kalau benar mereka sudah tahu…” suara Nayara pecah, “…aku tidak akan biarkan siapa pun mengambil Aru.”
Nadim duduk di sampingnya.
“Aku sama kamu, Kak. Sampai kapan pun.”
Ada hening panjang.
Hanya suara anak-anak dan bola kecil yang memantul.
Lalu Aru berlari ke arah mereka, pipinya memerah karena bersemangat.
“Ibu! Om Nadim! Aku mau cerita! Nanti kalau orang Foundation datang, aku mau kasih mereka robot dari kardus yang aku buat. Boleh kan?”
“Iya, sayang.” Nayara mengusap rambutnya.
Aru tersenyum besar… lalu kembali berlari.
Nayara menatap punggung kecil itu.
Ada sesuatu pada cara Aru bergerak—tegap, mantap—yang membuat dadanya perih.
Mirip.
Semakin hari, semakin mirip.
Nadim tahu apa yang ia pikirkan.
“Dia punya hak hidup normal, Kak,” bisiknya. “Jangan biarkan masa lalu masuk seenaknya.”
Nayara mengangguk.
Namun sebelum ia menjawab, Bu Lilis keluar dari kantor sambil membawa amplop putih besar.
“Nayara! Ini surat fisiknya! Mereka kirim juga lewat kurir!”
Amplop itu tebal, resmi, dengan stempel biru Santoso Foundation yang mengilap.
Nayara berdiri.
Bu Lilis menyerahkan amplop itu padanya.
“Tadi mereka bilang ini urgent. Kamu yang harus buka.”
Nayara menerima amplop itu.
Tangannya bergetar.
Ia membuka perlahan.
Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen dan satu surat berkop resmi.
Di bagian paling atas tercetak nama besar
SANTOSO GROUP — CHILD IMPACT PROGRAM
Dan tepat di bawahnya, di kolom “Direktur Pelaksana Program” tertulis:
Rendra Wijaya Santoso
Nafas Nayara terputus.
Dunia berhenti—lagi.
Hanya nama itu.
Tapi nama itu cukup untuk mengubah arah seluruh hidupnya.
Di bagian bawah surat, ada satu kalimat pendek yang membuat seluruh tubuhnya lemas:
> “Kami ingin bertemu langsung dengan wali Aru untuk verifikasi data.
Harap hadir dalam pertemuan pertama.”
Pertemuan pertama.
Sebentuk permulaan yang menakutkan.
Nadim meraih bahunya. “Kak…”
Tapi suara Nadim terdengar jauh.