“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Angin sore yang sejak tadi bertiup lembut tiba-tiba seperti berubah berat. Seolah udara pun tahu ada sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar pertengkaran keluarga yang menunggu di depan pintu rumah itu.
Kevin berdiri tegap, namun Davina bisa melihat dari atas jendela bagaimana bahunya menegang ketika mendengar suara Papa memanggilnya.
“Kevin?”
Papa menutup pintu mobil dengan sentakan kecil. Tatapannya lurus, tajam, dan tidak memberi ruang untuk bicara santai.
Kevin akhirnya menoleh perlahan. Ia memberi hormat kecil, sopan, tapi jarak di antara mereka seperti jurang yang tidak bisa diseberangi.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Papa datar, tapi dinginnya menusuk.
Kevin menarik napas pelan, menahan dirinya supaya tetap tenang. “Aku … ada berkas yang harus aku ambil di kantor lama, Pa. Jadi aku pulang sebentar. Sekalian mampir lihat Mama.”
Papa memicingkan mata, jelas tidak percaya. “Berkas?” Ia mendengus pendek. “Jangan bohong sama Papa.”
Kevin tidak membantah. Tidak juga membenarkan. Ia hanya diam, menatap papa tirinya dengan cara yang membuat Davina tahu, di balik diam itu ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi tertahan.
Papa maju beberapa langkah. Sorot matanya berubah semakin keras. “Kevin, Papa sudah bilang apa?” suaranya menekan setiap suku kata. “Kalau bukan Papa yang minta kamu pulang, jangan pulang!”
Davina menelan ludah dari balik tirai. Ia ingin menahan Papa, ingin berteriak bahwa Kevin tidak salah. Tapi kakinya seperti menancap ke lantai.
Kevin mengangguk pelan, tanpa membantah. “Baik, Pa.”
Tidak ada pembelaan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan tambahan. Kevin tahu percuma.
Papa menatap putranya lama, seolah menunggu Kevin mencair, menunggu Kevin mengaku sesuatu yang Papa curigai. Tapi Kevin hanya membalas tatapan itu tanpa gentar.
Akhirnya Papa membuang muka dengan gerakan frustrasi. “Pergi.” Satu kata padat tapi mengiris.
Kevin mengangguk sekali lagi, menunduk hormat, lalu melangkah pergi. Tidak menoleh ke rumah. Tidak menoleh ke jendela. Padahal Davina berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Taksi yang entah sejak kapan berhenti beberapa meter dari pagar kembali menyalakan lampu sein, seolah menunggu. Kevin membuka pintu dan masuk tanpa ragu. Nada mesinnya mulai bergerak.
Davina akhirnya tidak tahan. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Hatinya seperti diremas ketika melihat taksi itu perlahan melaju pergi membawa Kevin menjauh darinya. Pria yang ia cintai. Pria yang tak boleh ia cintai.
Taksi itu berbelok di ujung jalan, lampunya menghilang di antara bayangan pepohonan. Dan ketika itu terjadi, terasa seperti satu bagian dari Davina ikut pergi. Satu bagian yang ia tidak tahu apakah bisa kembali.
Davina mundur pelan dari jendela ketika terdengar suara langkah kaki Papa naik ke lantai dua. Ia buru-buru menghapus air matanya, tapi suaranya pasti tidak bisa ia sembunyikan. Pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan.
Papa berdiri di sana. Tubuh tegaknya memenuhi ambang pintu. Tidak ada senyum. Tidak ada kelembutan seorang ayah. Yang ada hanya sorot mata yang tajam seperti mau menembus isi kepala Davina.
“Davina.”
Davina menegakkan tubuh. “I-iya, Pa?”
Papa masuk ke kamar, menutup pintu di belakangnya. Suaranya berat dan tegas, tanpa ruang untuk disela.
“Minggu depan pertunanganmu dengan Shaka dipercepat.”
Jantung Davina nyaris berhenti. “Pa? Minggu depan? Kenapa?”
“Papa tidak mau dengar kamu membantah,” potong Papa cepat, memotong kalimatnya seperti pisau.
Davina mematung. Napasnya tercekat. “Tapi Pa … aku … aku belum siap.”
“Kesiapanmu tidak penting.” Suara Papa makin keras. “Yang penting kamu menjauh dari Kevin.”
Davina membelalakkan mata. “Pa … itu tidak ada hubungannya.”
“ADA!” Papa membentak sampai Davina tersentak. “Papa tahu kamu punya perasaan lain terhadap abang tirimu itu!”
Davina langsung pucat. Tubuhnya melemas. Matanya melebar. Napasnya terputus.
Ia tidak tahu bagaimana Papa mengetahui isi hatinya. Atau sejak kapan Papa menduga. Tapi yang jelas, tidak ada celah untuk berbohong.
Papa melangkah mendekat, membungkuk sedikit agar berada setara dengan wajah Davina. Matanya dingin, keras, kejam dalam caranya sendiri.
“Nikah sama Shaka." Satu kalimat. Tidak pakai tanya. Tidak pakai opsi.
Tapi itu bukan bagian paling mengerikan. Papa melanjutkan kalimatnya dengan suara yang sangat rendah, nyaris seperti bisikan yang menusuk telinga.
“Dan kalau kamu masih berani melanjutkan hubungan ini .…” Papa berhenti sebentar, menatap Davina lurus, tatapannya seperti tombak yang menancap. “Papa pastikan, kamu dan Kevin tetap akan dipisahkan.”
Davina menggeleng lemah, matanya memanas. “Pa, tolong … jangan ....”
“Tidak bisa pisah hidup .…” Papa mendekat, wajahnya makin kelam. “Akan pisah mati.”
Davina menutup mulutnya. Lututnya hampir goyah. Papa melangkah mundur satu langkah, suaranya kini datar. Tenang. Justru karena tenang itu, ancaman itu jauh lebih mengerikan.
“Kalau kamu mau lihat mayatnya Kevin, silakan lanjutkan hubungan ini.”
Davina seperti tertusuk dari dalam. Dadanya sakit sampai sulit bernapas.
“Pa .…” Suaranya pecah, bergetar. “Jangan bilang begitu. Bang Kevin nggak salah apa-apa.”
“Papa tau kalian saling mencintai” Nada Papa dingin. “Jika Kevin tak bisa diomongin, Papa mau kamu yang mundur. Jangan libatkan perasaanmu yang bodoh itu.”
Air mata Davina jatuh lagi, kali ini tanpa ia bisa tahan.
Papa mengulurkan tangan. “Berikan ponselmu.”
Davina terkejut. “Pa … jangan ambil HP-ku. Aku butuh ....”
“Berikan!.” Satu kata dengan keras papa ucapkan.
Davina gemetar. Lambat-lambat ia mengeluarkan ponselnya dari saku sweater. Tangannya bergetar ketika menyerahkannya.
Papa mengambilnya tanpa ekspresi, lalu memasukkannya ke saku jas. “Mulai hari ini, kamu tidak boleh menghubungi Kevin. Tidak lewat telepon, pesan, atau apa pun.”
“Pa, jangan … tolong, jangan pisahin aku dari Bang ....”
“Davina.” Papa menatapnya dengan sorot yang tidak bisa dilawan. “Ini bukan negosiasi.”
Davina menunduk, bahunya bergetar. Papa berbalik menuju pintu, tapi sebelum membuka, ia berkata lagi tanpa menoleh.
“Kalau kamu tak mau terjadi sesuatu dengan Kevin, kamu hilangkan perasaanmu itu.”
Pintu ditutup pelan. Tapi sakitnya seperti pintu itu menampar jantung Davina.
Begitu Papa pergi, Davina akhirnya roboh terduduk di lantai. Tangisnya pecah, besar, dalam, penuh ketakutan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Suaranya hampir hilang ketika ia berbisik pada dirinya sendiri. “Bang … gimana kalau Papa beneran nyakitin abang?”
Ia menggenggam dadanya, mencoba menahan sakit yang menggedor-gedor dari dalam. Ia tahu Papa bukan tipe orang yang main-main dengan ancaman. Ia tahu Papa punya kekuasaan. Ia tahu Papa bisa melakukannya. Dan itu yang paling menakutkan.
“Bang Kevin .…” Nama itu keluar dari bibirnya seperti doa sekaligus luka.
Ia memejamkan mata erat, berusaha tidak membayangkan Kevin sendirian di luar sana, tanpa tahu apa yang baru saja terjadi di rumah. Tanpa tahu bahwa Davina baru saja dipaksa memilih keselamatan Kevin dengan mengorbankan hatinya sendiri.
Davina bangkit perlahan, berjalan ke jendela. Langit sudah mulai gelap. Jalanan sepi. Tidak ada tanda-tanda Kevin. Tidak ada cahaya dari taksi yang kembali. Ia menempelkan kening ke kaca jendela yang dingin.
“Bang, semoga kamu bisa jaga diri. Aku rela memendam perasaan ini, asal kamu selamat dan sehat. Mungkin kita tak di takdirkan bersama."
TPI kyaknya saka cinta kmu dri pndgn prtama deh Devi....dn mau trima kmu apa adanya.....TPI... entah lah hanya emak yg tau....
ngapain juga kyk gitu ....kolot kuno egoisssss
ternyata papa davin dan ibu kevin pasangan yg cocok sbg ortu yg tdk bijak bersikap!!! anak yg jd korban