Luna terjebak dalam pernikahan kakaknya dengan william, pria itu kerap disapa Tuan Liam. Liam adalah suami kakak perempuan Luna, bagaimana ceritanya? bagaimana nasib Luna?
silahkan dibaca....
jangan lupa like, komen dan vote
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momy ji ji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18.
Setelah memastikan semua administrasi beres dan Ayah Luna mendapatkan penanganan terbaik, Liam merasa tubuhnya mulai pegal dan otaknya butuh istirahat sejenak dari hiruk pikuk rumah sakit.
Ia melirik jam tangannya sudah hampir tengah malam.
Liam kembali mendatangi Bu Rina dan Luna di ruang tunggu VIP.
“Tante... Luna,” Ujar Liam, nadanya sekarang lebih lunak, jauh dari sindiran tajam beberapa jam lalu di mansion.
“Aku sudah memesan satu kamar inap yang kosong di lantai ini. kalian harus istirahat.”
Bu Rina menolak dengan halus. “Ya ampun, Nak Liam. tidak perlu repot-repot. tante bisa tidur sebentar di kursi ini kok sambil menjaga ayah di dalam.”
“Tidak bisa tante,” Potong Liam tegas. “Tante terlihat sangat lelah. kesehatan tante juga penting. biar tante yang istirahat di kamar itu dan Luna juga disana.”
Luna yang sedari tadi hanya menatap pintu ICU... langsung menggeleng.
"Tidak, aku ngga mau. Ibu saja yang tidur,” Ucap Luna pelan tapi mantap.
“Aku mau di sini. kalau ayah tiba-tiba sadar atau butuh sesuatu, harus ada yang mengetahuinya. Ibu kan sudah seharian panik. jadi istirahat lah,” Bujuk Luna.
Bu Rina mengangguk. “Tidak apa-apa?.” Luna mengangguk yakin.
Liam menghela napas. dia tahu keras kepala Luna setara dengan Ayahnya dalam hal kecepatan mengemudi. Ia berjalan mendekat ke kursi Luna.
“Luna, kamu juga belum istrahat seharian. kamu akan sakit dan malah merepotkan. kalau kamu sakit, siapa yang akan menemani Ibumu besok?” Desak Liam, mencoba membujuk.
“Aku nggak akan sakit Tuan!” balas Luna, suaranya sedikit kesal karena frustrasi dan memang agak terasa tidak enak badan sebenarnya.
Liam menatap mata Luna dalam-dalam. Bu Rina yang langsung menangkap suasana aneh di antara pasangan itu dan memutuskan untuk pura-pura sibuk memperbaiki barang bawaannya dari rumah tadi.
“Baiklah,” kata Liam menyerah. “Kalau kamu tidak mau tidur di kamar, kamu tidur di sini sekarang.”
Sebelum Luna sempat protes, Liam sudah mengangkat tubuhnya dan menggendongnya secara tiba-tiba.
“Diam,” Perintahnya dengan suara pelan dan sedikit serak.
Luna terkejut, pipinya sedikit merona. dia tidak menyangka Liam akan melakukan ini di depan ibunya pula!
“Tuan Liam, apa-apaan sih? ini di rumah sakit!” bisik Luna malu.
Liam tidak bergeming. “Kamu bilang mau siaga di sini kan? sekarang siaga sambil tidur. anggap saja bahuku sofa mahal yang bisa kau pakai untuk sandaran kepalamu. atau aku seret kamu ke kamar itu sekarang?” ancam Liam, nadanya setengah bercanda tapi matanya serius.
Bu Rina yang diam-diam menyimak, tersenyum kecil lalu bergegas meninggalkan putri dan menantunya.
Luna akhirnya mengalah. dengan malu-malu, Ia melingkarkan tangannya di leher Liam dan menutup mata.
"Tuan, saya berat kan?" Liam menyesuaikan pegangannya, memastikan Luna nyaman.
"Kau kurus kering jadi tidak ada beratnya sama sekali, tidurlah!"
lalu Liam berjalan perlahan menuju kursi yang Dimitri baru siapakan. karena pria itu baru tiba dirumah sakit. Ia duduk dengan kaki Luna masih melingkari punggungnya.
"Hemm... Tuan aku mau turun saja." Kata Luna sangat malu, dia berada di pangkuan Liam.
"Tutup matamu... Luna,” Bisik Liam di telinga Luna, suaranya kini terdengar sangat dekat dan lembut.
Luna terdiam. Ia merasakan detak jantung Liam yang teratur dan hangat tubuhnya yang menjalar ke seluruh tubuh Luna. perlahan, kekhawatiran dan rasa lelah yang menumpuk menghangatkannya. meskipun gengsi setengah mati, Luna memejamkan mata.
Luna di punggung Liam, bergumam pelan sebelum terlelap. “Kamu… kamu sofa termahal yang pernah aku pakai bersandar untuk tidur Tuan Liam.”
Liam tersenyum tipis, memejamkan matanya sambil membiarkan Luna tertidur nyenyak di pelukannya, tepat di depan pintu ICU.
***
Cahaya pagi merambat masuk melalui jendela ruang tunggu VIP. suasana rumah sakit sudah ramai dengan aktivitas para perawat dan dokter.
Luna terbangun perlahan. hal pertama yang Ia rasakan adalah kehangatan luar biasa dan permukaan keras namun nyaman di bawah pipinya.
Ia butuh waktu beberapa detik untuk menyadari posisinya... dia masih tertidur di punggung Liam.
Aroma cologne mahal Liam menyeruak ke indra penciumannya. tangan Tuan Liam masih melingkari pinggangnya, menahan agar Ia tidak jatuh.
Sementara Liam... dengan kepala sedikit menunduk, terlihat masih pulas tertidur, napasnya teratur di belakang telinga Luna.
DEG!
Wajah Luna langsung memanas. dia panik! mereka tidur seperti ini sepanjang malam! di rumah sakit!
Di depan pintu ICU! bagaimana jika ada perawat atau dokter yang melihat? apalagi Liam dikenal sangat menjaga image dan profesionalitasnya.
Luna buru-buru mengangkat kepalanya, berusaha turun dari pangkuan Liam sehalus mungkin, takut membangunkannya.
“Aduh, aduh, gimana ini?” Bisik Luna pada dirinya sendiri.
Saat Luna berusaha melepaskan diri, Liam bergerak. tangannya yang tadinya longgar di paha Luna kini mengerat.
“Mau kemana?” Tanya Liam, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. matanya masih tertutup.
Luna kaget setengah mati. “Tuan Liam! bangun! Ini sudah pagi!”
Liam membuka mata, menoleh sedikit ke arah Luna yang wajahnya sudah semerah tomat. Ia melihat ke sekeliling, lalu kembali menatap Luna dan menyeringai tipis.
“Sudah bangun, ratu drama? nyenyak tidur di pahaku?” Goda Liam.
Luna langsung memukul pelan bahu Liam.
“Ih! ngomong apa sih! cepat lepaskan! malu tahu kalau ada yang lihat Tuan!” Liam malah terkekeh, suara tawa rendah yang belum pernah didengar Luna. Ia melonggarkan pelukannya.
“Tenang saja. aku sudah pastikan area ini steril. hanya ada beberapa petugas kebersihan yang melihat dan juga Ibumu sekitar jam 5 pagi,” Ujar Liam santai, tapi tetap tidak melepaskan Luna sepenuhnya.
“Lama-lama kamu sedikit berat juga ya... punggungku jadi pegal.”
“Makanya lepas!” Luna segera melompat turun dari pangkuan Liam, merapikan bajunya yang sedikit kusut.
“Lain kali, jangan seenaknya begitu! aku kan bisa tidur sendiri di kursi!”
“Aku tahu. tapi kamu terlihat lebih aman di pangkuanku daripada terlihat menyedihkan di kursi. Jadi, anggap saja ini adalah layanan ekstra dari sedikit kebaikan ku”
Luna mendengus sebal, tapi entah kenapa rasa kesalnya tidak terlalu dalam. Ia malah sibuk memperhatikan Liam. pria itu tampak tampan juga meskipun semalam suntuk dan dibikin sibuk oleh keluarga nya.
“Ya sudah, terima kasih deh,” Ucap Luna, mencoba menjaga jarak emosionalnya dan sedikit malu.
***
Setelah membersihkan diri dan memakai setelan jas mahal yang dibawakan oleh Dimitri, Liam keluar dari kamar sewa rumah sakit. Ia menemukan Luna dan Bu Rina sedang sarapan di ruang tunggu.
Wajah Luna sudah tidak sepucat tadi malam, tapi kekhawatiran masih jelas terlihat di matanya.
“Aku harus kembali ke kantor sekarang. ada rapat penting yang tidak bisa diwakilkan,” kata Liam sambil mengenakan jam tangan limited edition-nya.
Luna mengangguk. “Iya Tuan Liam. makasih banyak ya buat semuanya. Tuan sudah banyak membantu.”
Liam hanya berdeham. Luna menghampirinya dan berbicara sedikit jauh.
Dia mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. kartu yang bisa membeli rumah sakit ini. beserta pegawainya.
“Ini untuk segala kebutuhan mendadak. telepon aku atau Dimitri kalau ada perkembangan, sekecil apapun itu,” perintah Liam, nadanya kembali ke mode tegas yang serius.
"Tapi kan sudah ada kartu yang Tuan kasih."
"Itu untuk kebutuhan pribadi mu."
Sebelum pergi.. Liam sempat menatap Luna sejenak, tatapan yang sulit diartikan, campuran perhatian, kecurigaan, dan... sesuatu yang lebih rumit.
“Tidak usah bekerja, Dimitri akan mengurus surat izinmu. kalau bisa berhenti saja, dan ingat. jangan membuat masalah lagi Luna,”
Gumam Liam. lebih seperti peringatan untuk dirinya sendiri, lalu berbalik dan menghilang menuju lift.
Belum lama Liam pergi, tiba-tiba sebuah suara familiar menyapanya.
“Luna?” Luna mendongak.di sana berdiri Dion. wajahnya terlihat kusut.
Dion mengenakan kaus polos dan celana jeans, penampilan yang jauh lebih santai dan nyaman dibanding Tuan Liam yang lebih sering mengenakan celana formal dan kemeja.
Dion juga hanya beda setahun dan tentu lebih muda.
Meski begitu....
'Heii... ada apa denganku? kenapa aku mulai membandingkan mereka berdua?.
“Dion! kamu datang?” Dion berjalan cepat, meraih tangan Luna dan menggenggamnya erat.
Sentuhan itu. sentuhan yang sudah Ia kenal jauh sebelum Ia sah menjadi Nyonya Liam.
Sentuhan itu langsung menenangkan sarafnya yang tegang.
“Tentu saja aku datang. maaf.. aku tadi malam sibuk sekali tapi aku khawatir juga karena Dea bilang kamu ke rumah sakit karena perutmu itu. begitu aku menerima alamat dari Dea, aku langsung ke sini. bagaimana keadaan Om?” Tanya Dion, matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
“Masih kritis... Dion. dokter belum bilang apa-apa selain kondisi saat ini.” Jawab Luna, suaranya bergetar lagi.
Dion menarik Luna ke dalam pelukan singkat yang hangat dan penuh makna. “Sabar, ya... Om pasti kuat. kamu di sini sudah sejak tadi malam?”
Luna mengangguk segera melepaskan pelukan. “Iya. Tuan Li.....” Luna segera menghentikan kalimatnya, menyadari bahwa Ia baru saja mau menyebut nama suaminya di depan pria yang hatinya Ia miliki.
"Siapa yang mau kau katakan, cepat katakan!" Desak Dion posesif.
'Ini termasuk selingkuh atau tidak?' Batin Luna.
bersambung...