Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Not Your Enemy Baby
Dari balik kaca ruangan NICU, Vanya melihat sosok mungil yang dibalut dengan kain bermotif. Di dalam sebuah inkubator terlihat malaikat kecil itu terpejam, sesekali tampak bergerak-gerak mencari kenyamanan. Sungguh Vanya tidak menduga ia akan menjadi bibi secepat ini. Perasaannya campur aduk, syukur Yang Maha Kuasa masih memberi kesempatan baginya untuk menyaksikan si bayi kecil itu lahir di dunia dan kakaknya selamat.
"Cantik sekali," gumamnya ketika bayi itu menguap dengan mata yang masih terpejam.
"Kamu juga tidak kalah cantik." Suara di sampingnya mengalihkan perhatian Vanya. Ia akui, Rendra begitu setia menemaninya di rumah sakit untuk mendampingi Saga dan Miray. Tapi ia tidak menyangka jika Rendra akan terus menempel padanya seperti lem.
"Ini bukan waktu untuk bercanda, Mas."
"Saya serius."
Vanya memilih tak menggubris omongan Rendra dan kembali memperhatikan keponakan kecilnya yang baru berusia beberapa jam itu.
"Aku masih tidak percaya ...," ujarnya kemudian dengan suara lirih.
Merasa jika ucapan istrinya menggantung, Rendra tidak buru-buru untuk menjawab, memilih menunggu apa yang hendak diucapkan Vanya kemudian.
"Saat mendengar perkataan Mas Saga, aku pikir akan kehilangan kakakku." Tidak ada penutup jenis apapun di dunia ini yang bisa menutupi kerapuhan dalam setiap kata yang diucapkan oleh Vanya. "Aku pikir akan berakhir sendiri di dunia ini."
Tak tahan mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Vanya itu, Rendra meraih bahu Vanya menarik perempuannya ke dalam pelukan hangat. Meski ia bersiap untuk didorong keras oleh Vanya tetap tak peduli, saat ini yang paling terpenting adalah menenangkan istrinya.
Tak seperti yang diharapkan, rupanya Vanya memilih untuk luruh dalam dekapan Rendra.
"Kamu tidak akan sendiri, ada saya." Rendra memberi bisikan.
Tak ada balasan dari Vanya, perempuan itu tidak yakin apakah ucapan Rendra bisa dipercaya. Tapi itu cukup menghibur.
"Saya tidak akan membiarkanmu sendiri, Anantari." lanjut Rendra. Bibir Vanya masih bungkam, hanya diam mendengarkan irama jantung Rendra yang berdegup senada.
Tak berselang lama, seseorang datang menepuk pundak Rendra. Keduanya berbalik dan melihat Saga dengan wujud lusuh dan lelah tapi tetap tersenyum kepada mereka. Pria itu baru saja keluar dari badai yang sangat dahsyat, kini ia bisa merasakan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa.
"Bagaimana keadaan kakak?" tanya Vanya, ia memberikan jarak kepada Rendra.
"Dia baru saja sadar, jadi aku kemari. Dia memintaku untuk menengok anak kami." Saga tampak kegirangan.
"Syukurlah, apakah sudah dipindahkan ke kamar rawat?" tanya Rendra.
"Setelah ini, masih proses," kata Saga. "Dimana dia?" tanyanya lagi, terlihat jelas bahwa dirinya tidak sabar untuk melihat malaikat mungil yang akan menghiasi rumah mereka.
Vanya dan Rendra memberikan ruang agar Saga bisa mendekat ke arah jendela besar yang menampilkan beberapa bayi mungil. Mata Saga mencari-cari dimanakah putrinya berada. Melihat hal itu, seketika Vanya menunjukkan di mana keponakannya berada.
"Itu putrimu, Mas." Vanya menunjuk pada bayi yang berada di tengah, bayi berbalut kain bermotif yang warnanya didominasi oleh merah muda.
Binar cerah terpancar dari bola mata Saga ketika tatapannya terbentur pada sosok mungil yang tampak begitu kecil dan rapuh sedang terlelap di dalam inkubator. Senyum pun mengembang dan sebutir air mata lolos dari sudut matanya. Saga mengusap wajahnya, perasaannya membuncah penuh haru.
"Dia ... dia kecil sekali." Saga berkata sambil menunjuk ke arah putrinya.
"Apa itu kata pertama yang harus lo ucapin saat ketemu anak lo?" ledek Rendra.
Tapi seolah-olah tak mendengar apa yang diucapkan oleh Rendra, pria itu hanya memandangi anaknya. Tangannya ia letakkan di dinding kaca seperti hendak menyentuh.
"Apakah aku sudah boleh menggendongnya?" tanya Saga lagi, wajahnya terlihat penuh harap.
"Dia harus menjalani perawatan intensif, kata perawat bobotnya agak kurang jadi mungkin harus menunggu dulu sampai keadaanya benar-benar stabil," jelas Vanya. "Tenang saja, nanti juga bisa gendong."
"Bagaimana dengan minumnya? Bukankah dia harus minum asi?"
"Aku sudah beli semua kebutuhannya tadi, untuk sementara ini dia akan minum susu formula. Setelah Kak Miray dipindahkan akan diberikan asi."
"Apa itu tidak apa-apa? Bukankah asi pertama itu sangat penting untuk bayi?"
"Memang, tapi perawat pasti tahu yang terpenting."
"Udah bro, lo tenang aja. Biar perawat dan dokter yang bekerja." Rendra menepuk pundak Saga untuk menenangkan. Saga mengangguk pelan, ia tahu bukan kapasitasnya, dokter pasti lebih tahu dibanding dirinya.
*
Setelah kondisi Miray lebih stabil, Vanya dan Rendra pun kembali ke apartemen mereka. Rasa lelah yang sebenarnya menyerang mereka sejak sore hari akhirnya terasa setelah mereka tiba di apartemen. Langkah Vanya gontai hendak pergi ke kamarnya, namun tepat saat dirinya hendak berbelok menuju kamarnya, Rendra meraih lengan untuk menghentikannya.
"Aku lelah bisa lepaskan tanganmu, Mas?" Suara Vanya terdengar sama sekali tak memiliki tenaga. Saat berhadapan dengan Rendra pun ia tidak menatap wajah pria itu, berpaling untuk mengalihkan pandangannya.
"Saya tahu ... kamu masih membenci saya."
"Ya, lalu?" Vanya benar-benar malas menghadapi Rendra.
"Tapi saya tidak akan meninggalkan kamu, jadi jangan berpikir untuk merasa sendiri lagi. Kamu memiliki saya."
Mendengar itu kini Vanya perlahan mendongak, matanya sudah sayu tapi masih sanggup untuk memandang Rendra dengan tegar.
"Terserah kamu saja, Mas. Aku capek, sungguh." Vanya menampik tangan Rendra hingga lengannya terlepas dan kemudian segera berjalan masuk menuju ke kamarnya.
Menutup kamarnya, Vanya bersandar di pintu. Menghela nafas berat seperti sedang membebaskan sebuah beban dari dalam hatinya. Memikirkan kembali ucapan Rendra. Jika diperhatikan, keadaan mereka kurang lebih sama, mereka kehilangan orang terdekat. Vanya tahu ibu kandung Rendra juga sudah meninggal dunia, mereka sama-sama pernah merasa kehilangan. Pasti Rendra juga tahu rasanya tak rela jika harus kehilangan lagi.
Vanya kembali menghela nafasnya. "Apa aku terlalu kasar ya sama orang tua itu?" gumamnya. Beberapa detik kemudian buru-buru dirinya menggelengkan kepala, sudah cukup ia tampak lemah di hadapan Rendra tadi pagi. Ia tidak ingin selalu menunjukkan kelemahannya di depan seorang pria yang sudah menyabotase kehidupannya belakangan ini.
Tidak akan lagi.
**
Rendra pikir setelah apa yang terjadi kemaren, Vanya mungkin akan bersikap lebih lunak kepadanya. Nyatanya, perempuan itu menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Jika biasanya Rendra yang bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan dan pergi lebih awal agar Vanya tidak perlu menghadapinya, kini Vanya berangkat jauh lebih pagi daripada dirinya. Perempuan itu lagi-lagi menghindarinya.
Ingin rasanya Rendra meluapkan semua emosinya, mengurung Vanya di dalam sebuah ruangan bersamanya. Bicara—tidak—mereka tidak bisa bicara karena Vanya enggan mendengarkannya. Mungkin melakukan hal lain yang lebih bermanfaat untuk hubungan mereka. Tapi nyatanya, bahkan saat dia memergoki istrinya mengacak-acak ruang kerjanya, ia tidak bisa menghentikan istrinya yang keluar meninggalkannya begitu saja.
Dimana Rendra yang penuh dominasi?
Dimana Rendra yang tak mau kalah?
Semuanya lenyap setelah hatinya benar-benar terpaut pada perempuan bertubuh pendek itu.
Sebuah deringan ponsel menyadarkan Rendra dari lamunannya, ia segera mengambil ponsel tersebut dan tertera nama ibu tirinya di sana—Ibu Dewisari. Rendra tak butuh waktu lama untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Selamat pagi, Bu. Ada apa, tumben pagi-pagi gini telpon saya."
"Hallo ganteng, kamu sudah sarapan?" tanya Dewisari terdengar sumringah. Rendra duduk di meja makan, ia baru saja membuat pancake sederhana tapi mulutnya enggan untuk makan.
"Sudah," bohongnya. "Ibu sudah sarapan?"
"Sudah, Nak. Oh iya ... dimana Vanya?"
"Ibu tidak telpon langsung saja ke dia?"
"Sama aja, lagipula Ibu juga pengen ngobrol sama kamu. Kangen."
"Mungkin kita bisa makan siang bersama?" tawar Rendra, terhadap Dewisari yang selalu menyayanginya seperti putra kandungnya sendiri, Rendra pun selalu tak sampai hati jika harus bersikap dingin. Selama ini ia selalu menyempatkan waktu untuk menemani Dewisari.
"Boleh juga, kamu sekalian ajak Vanya ya, Nak. Nanti sekalian fitting baju pengantennya. Tadi ibu dihubungi sama designernya."
"Hari ini, bu, fittingnya?" Rendra tak yakin jika Vanya bersedia.
"Iya, Nak. Kamu tidak lupa kan kalau pernikahan kalian digelar dua minggu lagi?"
Dua minggu lagi, ya ...
Rendra tidak melupakannya, hanya saja apa yang terjadi diantara dirinya dan Vanya akhir-akhir ini membuatnya berpikir ulang tentang pesta pernikahan. Namun, ia tidak sanggup memberitahu ibunya untuk mengundur jadwal pernikahan mereka.
"Nak?"
"Iya, bu. Saya tidak lupa. Nanti saya akan hubungi Vanya, ya?"
"Oke deh, yasudah kalau begitu. selamat bekerja, ya!"
"Iya, Bu. Terima kasih." Dan Dewisari menutup panggilan telepon tersebut.
Baru saja Rendra meletakkan ponselnya, sebuah panggilan lagi-lagi masuk. Kali ini dari Shouta. Rendra pun segera mengangkat panggilan tersebut, pasti ada hal penting sampai asistennya menghubungi pagi begini.
"Iya, ada apa, Shouta?"
"Bang ...."
"Langsung saja pada intinya, jangan bertele-tele begitu."
"Abang sudah lihat email dari pengadilan negeri?"
"Belum, ada apa memangnya?" Rendra menyalakan loudspeaker, lalu ia menggulir layarnya untuk membuka email yang dimaksud oleh Shouta. Ada sebuah email paling atas tertulis dari pengadilan negeri.
Itu adalah pemberitahuan tentang Peninjauan Kembali putusan pada pengadilan kasasi kasus perebutan hak asuh anak klien Rendra. Mata Rendra membulat melihatnya, ia baca dengan runtut kata demi kata sampai ia menemukan nama yang seharusnya tidak terletak di dalam pemberitahuan tersebut.
VANYA ANANTARI.
Sebagai kuasa hukum mantan istri Albert.
Jantung Rendra serasa seperti diremas kuat sekali sampai ia lupa untuk menghirup udara. Rendra mengusap wajahnya kasar, namun gemuruh di dadanya tak juga mereda.
"Apa-apaan ini? bagaimana bisa pengacaranya jadi Vanya?" suara Rendra meninggi.
"Saya nggak tahu, bang."
Rendra terdiam, berusaha untuk mencerna informasi yang terlalu tiba-tiba ini. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana dengan keadaan ini. Bahaya yang berusaha ia hindarkan dari perempuan itu malah diraih sendiri olehnya.
"Kamu urus pemberitahuannya kepada Pak Albert, saya akan urus yang lain."
"Siap, Bang."
Urusan lain yang dimaksud oleh Rendra tentu saja adalah istrinya. Dari semua hal yang mengejutkan di dunia ini, ulah Vanya ini cukup mengejutkan baginya. Mengapa gadis itu tidak tahu jika urusan keluarga Ankara hanya akan membawa bahaya baginya. Rendra menyisir kasar rambutnya ke belakang, buru-buru ia berangkat untuk menemui sang istri.
Setelah mengetahui di mana letak ruang kantor Vanya, langsung ia pergi menuju ke tempat itu. Langkahnya sempat terhenti oleh seorang wanita yang memiliki meja di depan ruang kerja Vanya. Tapi Rendra tidak peduli, ia langsung menerobos masuk begitu saja, menghiraukan larangan Rachel.
Di sanalah ia mendapati istrinya sedang duduk menekuni beberapa berkas yang ia yakini sebagai berkas-berkas klien yang akan ditangani oleh Vanya. Terlihat mata Vanya agak membulat saat Rendra menerobos masuk ke dalam ruangannya. Ia tampak cukup terkejut.
Di belakang Rendra berdiri Rachel yang menyusulnya, perempuan itu tampak merasa bersalah karena tak bisa menahan amarah Rendra yang meluap-luap.
"Bu, maaf saya sudah mencoba menahannya."
"Nggak apa-apa, Rachel. Kamu boleh pergi."
"Baik, bu." Rachel kemudian pergi dengan menutup pintu di belakang Rendra.
Merasa mereka sudah berdua saja di ruangan itu, Rendra langsung melangkah untuk mendekat. Langkahnya pelan tapi setiap jejaknya terasa penuh dengan emosi. Tatapannya tak bisa lepas dari Vanya yang kini sudah berdiri untuk menyambutnya.
"Apa yang sudah kamu lakukan, Vanya Anantari?"
Jantung Vanya berdegup kencang saat Rendra menyebut namanya dengan lengkap. Ini kedua kalinya pria itu memanggilnya dengan nama lengkap, yang pertama saat mereka menikah di depan penghulu. Pria itu tampak benar-benar marah.
Ya, Rendra hampir tak mampu menahan gemuruh di dalam dirinya, ada sesuatu yang hendak meledak tapi ia tahan agar itu tidak meletup dan melukai perempuan yang ada di hadapannya ini.
"Apa maksud kamu, Mas? Menerobos seperti ini dan marah tanpa alasan." Vanya berusaha tetap tegar. Ia tahu lawannya adalah Rendra Adiatmaharaja, pria itu terlihat akan kehilangan kendali dirinya.
"Saya ingin kamu mundur dari kasus hak asuh anak keluarga Ankara."
Vanya berdecih, ia memutari meja dan melangkah mendekati Rendra. Meski tinggi mereka tak sejajar, tapi Vanya masih bisa menantang Rendra dengan wajahnya yang ayu. "Kamu tidak bisa mengatur apa yang boleh dan tidak boleh aku tangani dalam bekerja, Mas."
Rahang Rendra mengetat, ada urat-urat yang menonjol di sekitar keningnya. Pria itu benar-benar berada dalam batasnya. Lengah sedikit maka amarahnya akan meledak. Rendra mencengkram kedua lengan kecil istrinya dan berkata, "Keluarga itu berbahaya! Kamu dalam bahaya, Anantari. Apa kamu tidak mengerti itu?"
"Aku tidak takut, aku bukan pengecut, Mas! Apapun itu aku akan menghadapinya."
"Saya takut. Saya yang ketakutan, Anantari."
Terhenyak Vanya mendengar ucapan Rendra, matanya membulat kala netra Rendra memaksanya untuk saling berhadapan. Di sana ia melihat jelas rasa frustasi yang membelenggu Rendra.
Namun, keputusannya tidak bisa dianulir lagi.
"Hentikan bualanmu, Mas. Hadapi aku dengan profesional."
Tangan Rendra lepas dari tangan Vanya lantas mengusap kasar wajahnya sendiri dengan helaan nafas berat. Rendra berbalik memunggungi Vanya, ia tahu bahwa istrinya sangat keras kepala dan berprinsip, tidak akan mudah untuk menaklukkannya, ia tahu persis itu. Tidak akan mudah untuk membuat Vanya membatalkan keputusannya.
"Jalan ini tidak akan mudah ...." Belum selesai Rendra mengucapkan kalimatnya, Vanya sudah menyela.
"Aku tahu," balasnya datar.
"Jika kamu tahu kenapa tetap memilih untuk menjalaninya?"
"Karena aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya saat hidupmu disabotase, Mas Rendra."
"Saya bukan musuhmu, Anantari." Rendra lantas berbalik, kini memandangi istrinya dengan seksama. Menatapnya dengan mata sayu, ingin meraih Vanya tapi jarak di antara mereka kini terasa semakin jauh dan curam.
"Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu lagi, Mas. Selesaikan saja secara profesional." Vanya kemudian berbalik kembali ke kursinya. "Percakapan kita selesai sampai di sini."
Dan perempuan itu kembali menekuni dokumen pekerjaannya, mengabaikan keberadaan pria frustasi di hadapannya. Rendra hanya bisa menghela nafas, ia harus memutar otak agar Peninjauan Kembali itu tidak pernah terlaksana sekaligus menjauhkan Vanya dari keluarga Ankara yang berbahaya itu.
...*Bersambung*...
...Object Of Desires | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa