Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Tiga hari berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Jatah giliran Maya pun telah habis. Selama tiga hari itu, tak ada perubahan signifikan dalam dinamika rumah tangga barunya.
Saat siang hari, Riski pasti ada di lingkungan proyek yang juga menyatu dengan rumah dinas mereka—tempat Umma Fatimah dan anak-anak tinggal. Riski datang ke kontrakan Maya hanya saat makan siang, istirahat sejenak,dan kembali ke maya setelah isya, kemudian menghilang lagi saat subuh.
Setiap waktu salat, Maya selalu salat sendirian. Tidak pernah sekalipun ia mendapatkan waktu penuh bersama Riski selama tiga hari itu, waktu untuk sekadar mengobrol santai atau mengenal lebih dalam suaminya.
Kini, jatah giliran mereka pun sudah dibagi dengan adil secara hitungan: sehari untuk Maya di kontrakan sunyi nya, sehari untuk Umma Fatimah di rumah dinas yang ramai.
Hari ini adalah jatah giliran Riski bersama Umma Fatimah. Matahari bersinar cerah, tapi bagi Maya, dunia terasa kelabu dan sepi. Sejak subuh, ia ditinggalkan sendirian di rumah kontrakan yang kini terasa lebih hampa dari sebelumnya.
Maya duduk termangu di ruang tamu yang masih terasa asing baginya. Rasa kesepian mencengkeram hatinya, mengingatkannya lagi pada statusnya yang terasing. Ia merasa terbuang, ditinggalkan sendirian di hari di mana seharusnya ia berbagi kebahagiaan rumah tangga.
Namun, di tengah kesunyian itu, terdengar suara riang anak-anak di luar. Tak lama kemudian, pintu diketuk. Maya membukanya, dan disambut oleh senyum ceria ketiga anak sambungnya.
"Assalamualaikum, Tante Maya!" seru mereka bersamaan.
"Waalaikumsalam, anak-anak pintar!" balas Maya, hatinya sedikit menghangat.
Anak-anak pun masuk dan langsung bermain di rumah kontrakan Maya. Tawa riang mereka mengisi setiap sudut ruangan yang tadinya sepi. Maya ikut bermain bersama mereka, sejenak melupakan rasa kesepian dan kegelisahan hatinya. Kehadiran anak-anak itu bagaikan oase di tengah padang pasir, memberikan kehangatan dan kehidupan pada hari yang seharusnya terasa panjang dan sunyi.
Untuk sesaat, Maya tidak terlalu merasakan kesepian lagi.
Nayla kemudian mendekat ke arah Maya, matanya yang polos menatap lurus ke wajah Maya.
"Kata Umma," Nayla memulai, suaranya sedikit pelan, "Tante Maya Umma-nya Nayla juga ya?"
Hati Maya tersentuh mendengar pertanyaan lugu itu. Ia mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sayang. Nayla punya dua Umma."
"Apa Nayla malu punya dua Umma?" tanya Maya hati-hati, khawatir jika status poligami ini berdampak buruk pada anak-anak.
Nayla langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak!" jawabnya dengan suara ceria, kembali ke nada riangnya yang khas anak-anak. "Teman Nayla malah ada yang punya empat Umma, Tante!"
Maya tersenyum, geli sekaligus lega mendengar jawaban polos itu. Ia membelai lembut rambut Nayla, merasakan kehangatan yang tulus dari anak-anak yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Kehadiran mereka sejenak menghapus keraguan dan kesepian yang mendera hatinya.
....
Siang pun tiba. Matahari bersinar terik tepat di atas kepala, dan adzan Dhuhur mulai berkumandang, memanggil umat muslim untuk menunaikan ibadah. Tepat saat itu, anak-anak Riski bersiap untuk pulang.
"Tante Maya, kami pulang dulu ya, Abi sudah nunggu di rumah," pamit Nayla, mewakili saudara-saudaranya.
"Iya, hati-hati di jalan ya, Sayang. Nanti main lagi ke sini," balas Maya, mengantar mereka ke depan pintu.
Setelah kepergian anak-anak, rumah kontrakan Maya kembali sunyi senyap. Kehangatan tawa riang mereka lenyap seketika, digantikan oleh keheningan yang familiar. Maya kembali sendirian.
Namun, kali ini rasanya berbeda. Maya tersenyum hangat. Hatinya masih dipenuhi sisa-sisa kebahagiaan karena kedatangan anak sambungnya. Rumah itu memang sepi, tapi tidak lagi terasa hampa. Ada secercah harapan baru yang muncul, pengingat bahwa di balik status "perempuan kedua" dan segala kerumitan yang ada, masih ada kebahagiaan sederhana yang bisa ia temukan dalam kebersamaan dengan anak-anak.
..............
Malam telah tiba, dan Maya telah selesai menunaikan tugasnya sebagai hamba, melaksanakan salat magrib di kontrakan sunyinya. Setelah itu, ia memutuskan untuk menghubungi Wawa lewat telepon. Kesempatan itu ia gunakan dengan baik, daripada hanya berdiam diri yang membuatnya semakin merasa sendiri dan kesepian.
Telepon Maya diangkat, Wawa menyapa Maya dengan ceria. Wawa juga sempat menggoda Maya tentang kehidupan barunya. Kali ini, Maya berpura-pura ceria, ia tidak ingin membuat Wawa khawatir dan terbebani dengan kondisi rumah tangga poligaminya yang rumit. Mereka bertukar cerita ringan, sampai akhirnya, di tengah perbincangan, Maya memberanikan diri untuk bertanya, hatinya penuh dengan keraguan.
"Kak, rumah tangga poligami yang sesuai tuntunan tuh gimana sih?" tanya Maya, suaranya terdengar serius. "Apakah dalam semua hal dituntut untuk adil? Cinta juga gitu?"
Di seberang sana, Wawa menarik napasnya dalam-dalam, memahami arah pembicaraan Maya. Kemudian ia menjawab dengan tenang, tapi jelas.
"Untuk hal yang bisa diusahakan adil, kita diperintahkan untuk adil, May," jelas Wawa. "Tapi dalam hal kecondongan hati, itu nggak ada tuntutan untuk adil, karena soal hati itu sulit dikendalikan. Allah Maha Tahu."
Wawa berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Meskipun begitu, tetap ada aturan untuk menjaga perasaan masing-masing dari istri-istrinya, tidak menampakkan kecondongan tersebut kepada istri-istrinya yang lain karena hal tersebut bisa menyakiti dan memicu pertengkaran atau kecemburuan di hati masing-masing istri, sehingga rumah tangga poligami yang harusnya damai menjadi sebaliknya."
Maya mengerti dengan penjelasan Wawa. Ia paham, bahwa urusan hati tidak bisa dipaksakan. Penjelasan itu sedikit menenangkan hatinya yang terluka karena melihat interaksi Riski dan Umma Fatimah.
Maya pun kembali bertanya, lebih dalam lagi, menyentuh inti masalah yang ia hadapi. "Terus soal giliran itu gimana, Kak?"
Wawa menjawab dengan tegas, "Kalau soal giliran itu harus adil mutlak, May. Misalkan sehari di Maya, sehari di Ummu Fatimah. Selama sehari itu, kalau lagi giliran Maya, Umma Fatimah nggak boleh ganggu dengan alasan apa pun, sekali pun ada hal urgent."
"Adabnya," lanjut Wawa, "Umma Fatimah harus meminta izin dulu sama Maya, karena waktu gilirannya misalnya terpakai beberapa jam karena urusan mendesak Umma Fatimah. Begitu juga sebaliknya. Jadi kesimpulannya, kalau Maya mendapatkan giliran bersama Riski, harus utuh satu hari itu untuk Maya, dari pagi sampai keesokan paginya lagi."
"Terus untuk bepergian apakah harus selalu bersama dengan istri yang lain, Kak?" tanya Maya lagi, hatinya penuh harap, mencoba memvalidasi rasa sakitnya saat di toko perabotan waktu itu.
Wawa menjawab dengan tegas, memberikan pencerahan yang ditunggu-tunggu Maya.
"Seharusnya nggak, May. Kecuali memang ada kegiatan pada hari itu yang mengharuskan seluruh anggota keluarga pergi, misalnya acara keluarga besar atau liburan yang sudah direncanakan."
"Selebihnya," lanjut Wawa, "kalau giliran Maya, dan Maya perlu membeli sesuatu, ya cukup Maya dan Riski saja yang pergi berdua. Begitu pun sebaliknya. Kalaupun ada kebutuhan mendesak dan harus segera dibeli, kan bisa titip, tanpa harus ikut juga, May. Ini soal menjaga perasaan dan memberikan hak penuh di hari giliran masing-masing."
Maya mencerna setiap kata Wawa. Ada campuran perasaan dalam hatinya. Ia merasa sedikit divalidasi, tetapi juga kecewa dengan situasi yang dihadapinya.
Wawa, yang masih merasakan firasat tidak enak, kini ganti bertanya, suaranya penuh kekhawatiran, "Apa ada masalah di sana, May? Jujur sama saya."
Maya tersentak, cepat-cepat menepis kekhawatiran Wawa. "Nggak ada, Kak, nggak ada masalah kok! Aku cuma mau nanya aja, kan aku nggak tau soal poligami. Aku juga mualaf, rumah tangga poligami sama yang nggak kan pasti beda, cuma mau tau aja, Kak."
Wawa di seberang sana bernapas lega mendengar penolakan cepat Maya, mempercayai kata-kata Maya yang dipaksakan ceria. Keduanya pun akhirnya mengakhiri obrolan mereka dengan salam penutup.
Telepon ditutup. Keheningan kembali melanda rumah kontrakan Maya. Senyum paksa di bibirnya menghilang seketika, digantikan oleh ekspresi getir.
Maya terduduk di tepi kasur. Kepalanya penuh dengan informasi baru dari Wawa. Penjelasan tentang keadilan giliran yang harus utuh dan adab menjaga perasaan istri lain terasa kontras dengan realitas pahit yang baru saja ia alami.
"Jadi, Riski dan Ummu Fatimah sudah melanggar adab itu?" Monolog pilu memenuhi benaknya. Sikap Riski yang seolah mengabaikannya, keberadaan Umma Fatimah yang selalu ada di setiap rencana siang hari, dan terutama momen di toko perabotan waktu itu—semua itu kini terasa semakin menyakitkan. Wawa bilang, bahkan untuk urusan mendesak pun, adabnya harus meminta izin. Tapi Riski dan Umma Fatimah seolah menganggap ketidakhadiran Maya di momen-momen penting adalah hal yang wajar.
"Aku berbohong pada Kak Wawa."
Rasa bersalah karena berbohong pada satu-satunya pendukungnya itu mencengkeram hatinya. Tapi ia tidak ingin menjadi sumber masalah. Ia tidak ingin Wawa marah dan menimbulkan pertengkaran.
Maya menatap ponselnya nanar. Pengetahuan baru ini memberinya kekuatan, sekaligus beban yang lebih berat. Ia tahu aturannya, ia tahu haknya, tapi ia juga tahu betapa sulitnya menuntut hak itu tanpa merusak kedamaian yang rapuh ini.
Malam itu, Maya kembali terlelap dengan hati yang penuh pertimbangan, kini dipersenjatai dengan pengetahuan tentang aturan, namun masih terikat oleh ketakutan untuk memperjuangkannya.
Bersambung...