"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 BUKAN URUSANKU
Di dalam mobil, Ava hanya diam. Tatapannya kosong, terarah pada pantulan jalan di kaca jendela yang bergetar lembut seiring laju kendaraan. Bayangan yang baru saja terjadi di meja makan menempel erat di pikirannya—seperti noda kecil yang tak bisa dihapus. Momen ketika bibirnya tanpa sengaja menyentuh pipi Arash.
Awalnya semua itu hanya rencana kecil dalam kepalanya. Ia hanya ingin mendekatkan wajahnya, berpura-pura mencium pipi pria itu. Sebuah sandiwara sederhana agar Ayah Luis percaya bahwa hubungan mereka cukup baik, terlihat harmonis, meskipun pernikahan itu tidak lahir dari cinta, melainkan keterpaksaan.
Namun tubuhnya mengkhianati niatnya sendiri. Bibirnya benar-benar menempel di kulit Arash. Hangat. Nyata. Terlalu nyata untuk dilupakan.
Ava buru-buru menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan bayangan itu, seolah gerakan kecil itu dapat mengusir rasa panas yang masih tertinggal di wajahnya. Rambutnya bergeser pelan, dan napasnya terasa sedikit lebih berat dari biasanya.
Gerakan itu membuat Bella, yang duduk di sebelahnya, refleks menangkap tangannya. “Kau baik-baik saja? Apa mobil ini terlalu cepat?” tanya Bella khawatir, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Ava menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya, disertai senyum tipis yang terlihat rapuh di sudut bibirnya.
Bella menatap Ava dengan penuh selidik. Tatapannya tenang, tapi ia tahu betul bagaimana sahabatnya menyembunyikan luka di balik kata “baik-baik saja”. Ia adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa Ava menyimpan trauma pasca kecelakaan. Serta satu-satunya yang tahu bahwa Ava melarang hal itu sampai ke telinga Paman Luis. “Kau yakin?” ucap Bella pelan.
“Kalau kau perlu sesuatu, katakan padaku,” lanjutnya kemudian, seraya menyandarkan tubuh ke jok. Ia melirik ke arah depan. “Tolong pelankan sedikit lagi!” katanya sopan kepada sopir.
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja, Bella,” ujar Ava ringan.
Bella terkekeh kecil. “Kau sakit saja bilang baik-baik saja,” gumamnya. “Sudah diamlah. Biarkan mobil ini bergerak seperti siput demi sahabatku ini.”
Ava akhirnya tertawa kecil. “Baiklah kalau begitu, Hari ini perlakukan aku seperti tuan putri,” ujarnya setengah bercanda.
“Siap laksanakan, Nyonya Princess!” sahut Bella heboh, hingga tawa mereka menggema lembut di dalam mobil yang melaju perlahan di jalanan malam.
Ava lalu menatap wajah Bella, hatinya penuh rasa syukur. Tak semua orang beruntung memiliki seseorang yang memperlakukan mereka bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai keluarga.
Bella datang ke rumah Ava bukan semata-mata untuk menjemputnya. Semua itu atas permintaan Ava sendiri, yang tidak sanggup membayangkan harus berangkat bersama Arash lagi. Ia ingin menghindari pria itu sejauh mungkin. Dan bersama Bella, Ava merasa lebih aman, lebih terkendali—tidak harus waspada, tidak harus berpura-pura kuat. Ia hanya ingin perjalanan pagi itu terasa tenang, tanpa kejutan, tanpa debaran tak perlu, dan tanpa risiko menjadi korban kejahilan Arash lagi.
Sementara itu, Arash baru saja tiba di gedung Helion. Lobi gedung itu selalu terasa dingin—bukan hanya karena pendingin udara yang bekerja tanpa henti, tapi karena atmosfernya yang steril. Lantai marmer memantulkan langkah kaki siapa pun yang melintas, sementara dinding kaca memperlihatkan siluet gedung-gedung lain yang menjulang seperti bayangan raksasa di luar sana.
Begitu pintu kaca otomatis terbuka, Arash langsung disambut oleh Celine. Wanita itu telah berdiri dengan tablet di tangannya, layar menyala penuh dengan jadwal, nama, dan catatan penting yang tersusun rapi.
“Pagi, Tuan Arash,” sapanya sopan, segera berjalan mengikuti langkah kakinya yang mantap menuju lift.
“Pagi,” jawab Arash singkat, tanpa banyak ekspresi.
Dia berjalan lurus, bahunya tegak, langkahnya terukur—seperti seseorang yang sudah terlalu terbiasa mengontrol segalanya.
“Siang ini kita akan meeting bersama Tuan Xiao Yan dari Cina,” jelas Celine, matanya tak lepas dari layar tablet.
Pintu lift tertutup perlahan, dan pantulan mereka muncul jelas di dinding kaca berwarna keperakan. Lampu-lampu putih di dalam lift membuat wajah Arash tampak lebih tegas, lebih dingin.
Ia menatap bayangannya sendiri. “Jadi dia masih di sini?” tanyanya pelan, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
“Menurut laporan asistennya, Tuan Xiao Yan berencana kembali setelah bertemu denganmu,” balas Celine sambil menggulir data dengan jarinya.
Arash terdiam beberapa detik. “Baiklah,” ucapnya kemudian. “Kau siapkan restoran yang bisa menyenangkannya. Aku mau dia memiliki kesan yang baik setelah pertemuan kedua denganku.”
“Baik,” jawab Celine singkat.
Lift pun berhenti dan pintu terbuka. Arash melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Begitu masuk ke ruangannya, ia langsung duduk dan menundukkan kepala pada tumpukan kertas di atas meja. Laporan keuangan, kontrak, grafik, dan strategi ekspansi—semuanya tampak membosankan baginya, namun tetap harus diselesaikan.
...----------------...
Siang hari datang dengan panas yang menyengat. Matahari menggantung tinggi di langit, menyilaukan jalanan dan membuat aspal tampak berkilau seolah meleleh. Ava dan Bella berlari kecil memasuki restoran, menarik pintu kaca dengan cepat seolah ingin melarikan diri dari terik yang membakar kulit.
Hembusan udara sejuk langsung menyentuh wajah mereka. Meskipun jam makan siang hampir berakhir, restoran itu masih ramai. Suara sendok yang beradu dengan piring, gelas yang diletakkan di atas meja, dan percakapan yang tumpang tindih menciptakan dengungan halus yang hangat di seluruh ruangan.
Begitu pintu tertutup, aroma makanan hangat segera memenuhi udara—campuran harum saus krim, daging panggang, dan roti hangat. Bau itu langsung menyelinap pelan ke indra penciuman mereka, membuat perut terasa semakin lapar.
Mereka segera duduk di dekat jendela dan memesan dengan cepat. “Wah, gila,” gerutu Bella sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Kenapa wanita begitu sulit dan repot dalam hal apa pun?”
Ava terkekeh kecil. “Kau berkata seperti itu seakan-akan kau bukan wanita.”
“Meskipun aku wanita, aku merasa tidak seribet mereka,” balas Bella, menyeringai dibuat-buat. “Kau lihat wanita-wanita tadi? Mereka semua ingin tampil glamor, ada kerlap-kerlip di setiap gaunnya. Tapi saat gaunnya jadi, mereka bilang terlalu ramai. Lalu bilang pinggangnya terlalu besar. Coba saja tadi ku kemas mereka dengan lakban.”
Ava tertawa lebih lepas. “Kau benar. Bahkan satu keluarga kelakuannya mirip.”
“Itu bukan mirip,” seru Bella. “Itu semua mereka lakukan karena takut tertinggal dan kalah.”
Ava menghela napas kecil saat melihat nada sahabatnya mulai naik. “Sudahlah, kenapa kau malah emosi? Katanya kau akan memperlakukanku seperti princess.”
Bella terdiam sebentar, lalu tersenyum dramatis. “Kau benar. Aku sudah janji.” Ia mencondongkan tubuh ke meja. “Katakan, kau mau apa, Tuan Putri?”
Ava tersenyum melihat tingkah temannya, menikmati kehangatan kecil yang lahir dari candaan Bella. Untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan, seolah beban yang selalu menempel di dada Ava mengendur sedikit. Namun senyum itu perlahan membeku.
Matanya tanpa sengaja tertarik pada sosok seorang pria yang baru saja melangkah diantara meja-meja restoran.
Langkahnya tenang, bahunya tegap, rambutnya hitam lurus jatuh, aura dingin yang nyaris tak bisa disembunyikan bahkan di tengah suasana hangat ruangan. Pria itu berjalan menuju sebuah meja, lalu duduk berhadapan dengan seorang wanita berambut rapi yang memegang tablet—tatapannya fokus, gerakannya rapi, profesional.
Napas Ava tercekat. Jantungnya berdetak lebih kencang, tidak teratur.
“Ava?” suara Bella terdengar samar, seolah datang dari tempat yang jauh. Karena tak mendapat respons. Bella mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah tatapan Ava. Pandangannya menemukan sosok yang sama.
“Arash?” gumamnya, hampir tanpa suara. Ia menoleh kembali pada Ava. “Ava… itu suamimu, kan?” serunya, suaranya naik satu oktaf, campuran antara terkejut dan tidak percaya.
Ava tidak menjawab. Tubuhnya seakan membatu. Bahunya menegang, jari-jarinya perlahan mencengkeram tepi meja. Ia hanya menatap ke arah Arash tanpa berkedip, seolah takut jika ia berkedip, sosok itu akan menghilang atau berubah menjadi ilusi.
Detak jam dinding terdengar lebih keras. Suara sendok dan piring di sekitar mereka terasa makin jauh.
“Aku akan menghampirinya untuk tuan putriku,” ucap Bella tiba-tiba, suaranya penuh tekad. Ia bangkit begitu saja hingga kursinya bergeser keras, memperdengarkan suara gesekan yang menggema dan membuat beberapa kepala menoleh spontan. Termasuk Arash dan Celine.
Ava tersentak keluar dari kebekuan. Ia langsung meraih tangan Bella.
Di sudut ruangan, Arash menangkap pemandangan itu. Dua tangan yang saling menggenggam. Wajah Ava yang tegang. Tubuh Bella yang setengah berdiri.
“Ava?” gumamnya pelan, sorot matanya mengeras. “Kenapa dia di sini?”
"Ada apa itu?" Ucap Celine.
Sementara itu, Ava mendongak menatap Bella dengan mata yang menyala antara panik dan kesal. “Kau mau apa?” bisiknya cepat. “Biarkan saja dia! Itu bukan urusanku.” Suaranya ditahan, nyaris bergetar, karena ia sadar beberapa pasang mata sudah mulai mengarah pada mereka.
Bella menatap Ava, tidak menyangka. “Tentu saja itu urusanmu,” balasnya, tak mau mengecilkan suara. “Kau istrinya, Ava.”
Jantung Ava berdentum keras. Ia menarik Bella turun kembali ke kursi dengan gerakan tegas namun penuh kontrol. Jemarinya sedikit gemetar saat menggenggam pergelangan tangan sahabatnya. “Kau seperti tidak tahu kejadian sebenarnya!” desis Ava kesal, matanya menunduk sejenak, dilarang membahas lebih jauh.
“Tapi—”
“Duduk!” Potong Ava. Kali ini suaranya lebih rendah, tapi justru lebih berbahaya. “Dan ikuti perintah tuan putrimu ini,” ucap Ava dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Bella akhirnya mengalah, duduk kembali. Namun matanya masih menyimpan api keinginan untuk melindungi.
Di sisi lain restoran, Arash tetap memperhatikan mereka. Tatapan itu tidak sekadar heran—ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum sempat diberi nama.
Dan di dalam dada Ava, sesuatu bergetar—bukan lagi karena panas siang hari
.
.
.
.
.
.
.
📌 Siapa yang punya temen kayak Bella petangtang petengteng😂Jangan lupa like dan komen yang banyak yaa 🥰 terimakasih