Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMUA MENYAKITKAN BAGI MURSYIDAH
Pagi-pagi sekali Mursyidah sudah berdandan merias dirinya agar terlihat cantik, maksudnya semakin cantik secara ia memang sudah terlihat cantik semenjak pulang dari arab. Hari ini Mursyidah akan menemui madunya alias istri kedua dari suaminya. Wanita berhijab tersebut memakai kacamata sebagai penambah penampilannya dalam menyamar. Dia tidak ingin orang-orang di sekitar rumah suaminya mengenalinya.
Dengan mengendarai motor Scoopy yang baru dibelinya dia berangkat pagi itu, tidak lupa meminta ijin pada mbok Walijah. Wanita tetangganya itu mengawasinya dengan perasaan cemas. Berharap Mursyidah baik-baik saja dan tidak semakin terluka setelah kedatangannya kemarin ke rumah Gunadi. Mbok Walijah tahu semalam jika Mursyidah menangis sambil memandangi foto Gunadi yang sedang bersama istri barunya.
Tidak berapa lama berkendara Mursyidah sampai di rumah suaminya. Mungkin karena masih pagi, suaminya itu belum berangkat ke kiosnya. Lelaki itu terlihat sedang sibuk menjemur pakaian yang baru saja selesai di cuci. Tidak terlihat sedikit pun raut terpaksa dari wajahnya.
Dari balik kaca helm yang dipakainya Mursyidah melihat pemandangan itu dengan berlinang airmata. Betapa rajinnya suaminya itu sekarang. Dulu, suaminya itu sama sekali tidak pernah mau membantu Mursyidah meski hanya untuk menjemur pakaian seperti yang dilakukannya saat ini. Bahkan saat Mursyidah melahirkan, suaminya itu sama sekali tidak pernah mau membantunya. Ibu Mursyidah lah yang datang setiap pagi untuk mencuci dan memasak. Itu semua dilakukan oleh ibu Mursyidah hampir sebulan hingga Mursyidah tidak tega pada ibunya itu. Mursyidah berusaha cepat pulih dan menguatkan diri agar ibunya tidak bolak balik setiap hari ke rumahnya. Apalagi ibunya harus berjalan kaki setiap berangkat dan juga pulang.
Huh! Mursyidah membuang napas kasar. Seharusnya Mursyidah merasa senang karena suaminya itu sudah berubah dan mulai rajin membantu istrinya, itu jika dia tidak ketahuan menikah lagi. Namun, sekarang melihat suaminya membantu pekerjaan rumah tangga seperti menjemur pakaian saat ini, terasa menyakitkan bagi Mursyidah.
Mursyidah duduk di atas motornya sambil pura-pura sibuk menulis. Sesekali matanya melirik drama berpamitan berangkat kerja Gunadi pada istri mudanya. Terlihat Gunadi yang memeluk erat si istri mudanya dan wanita berambut pirang itu tampak manja di pelukan Gunadi. Mursyidah kembali merasakan sakit di dadanya, apalagi saat melihat si rambut pirang itu menyodorkan tangan yang menadah pada Gunadi. Pastilah wanita itu sedang meminta uang dan Gunadi menjanjikan uang kiriman dari Mursyidah.
Mursyidah memejamkan matanya, dia tidak ingin berburuk sangka. Tapi memang itukan kenyataannya? Mereka hidup dan bersenang-senang dari uang kiriman Mursyidah. Setelah Gunadi berangkat dan tidak terlihat lagi dari pandangan mata, Mursyidah menuntun motornya mendekati halaman rumah Gunadi.
"Assalamualaikum, selamat pagi ibu...."
Istri Gunadi yang masih berdiri di teras rumahnya memandangi cucian yang dijemur oleh suaminya berpaling pada asal suara.
"Pagi," jawabnya singkat dengan kening berkerut melihat Mursyidah, merasa tidak mengenali wanita muda yang mendekatinya.
"Kenalkan saya Ussy, mahasiswa semester akhir yang sedang melakukan penelitian tentang keluarga sejahtera. Jadi saya akan melakukan survei dan juga observasi pada beberapa ibu rumah tangga, khususnya pada pasangan muda seperti ibu. Apakah ibu bersedia menjadi responden saya?"
Mursyidah berdiri sambil tersenyum manis pada istri baru suaminya tersebut. Wanita itu memandang heran sekaligus juga takjub pada Mursyidah.
"Oh iya... boleh, boleh mbak. Silahkan duduk mbak."
Mursyidah duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah itu. Dulu belum ada kursi di sana, yang ada hanya bangku panjang dari kayu. Istri muda Gunadi ikut duduk id kursi yang berseberangan dengan Mursyidah, diantara mereka terdapat meja kecil. Mursyidah mengeluarkan pulpen dan beberapa lembar kertas.
"Bisa kita mulai ya bu, tolong sebutkan namanya?"
Mursyidah melihat pada wanita yang kini menjadi madunya. Wanita tersebut saat ini mengenakan kaos putih tanpa lengan yang nyaris ketat sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang padat berisi serta kulot pendek selutut.
"Astuti." jawab Astuti singkat. Wanita itu menatap Mursyidah menunggu pertanyaan selanjutnya.
"Kalau nama bapak siapa? Maksud saya suami ibu."
Mursyidah membetulkan pertanyaannya saat melihat Astuti yang tampak terdiam sesaat tatkala mendengar pertanyaanya.
"Ooh... nama suami saya Gunadi," jawabnya akhirnya setelah paham.
Mursyidah tersenyum. Tentu saja dia sangat tahu siapa nama suami Astuti, tapi dia tetap menuliskan apa yang disebutkan Astuti, lalu kembali bertanya.
"Usianya bu?"
"Kalau saya tiga satu sedangkan suami tiga dua."
"Berarti selisih satu tahun ya?"
Mursyidah mengangguk-anggukan kepalanya. Entah pada siapa pertanyaan itu ditujukannya. Astuti ikut menganggukkan, ia sempat tertegun melihat Mursyidah yang terdiam sesaat. Wanita itu seperti nampak sedang berpikir.
"Anak berapa orang bu? Dan yang paling besar usia berapa?"
"Baru satu mbak. Itu, baru umur empat tahun!"
Astuti menunjuk bocah perempuan yang sedang asyik bermain sendirian di sudut teras yang diberi pembatas dan di alasi dengan karpet bergambar hewan dan alfabet.
"Maaf, apa ibu termasuk terlambat punya anak?"
Mursyidah pura-pura siap untuk menuliskan jawaban Astuti.
"Enggak..." Astuti menggelengkan kepalanya. "kami memang belum lama menikah, baru sekitar empat tahun lebih sedikit lah."
Jawaban Astuti tersebut membuat mata Mursyidah membesar, rasanya tidak percaya mendengarnya. Anak pasangan itu sudah berusia empat tahun? Mungkinkah suaminya itu sudah berselingkuh dengan Astuti saat Mursyidah masih belum bekerja dulu dan lalu menikah setelah ia berangkat? Dada Mursyidah kembali terasa nyeri dengan pengkhianatan suaminya. Apa dia sebaiknya mundur saja tidak usah melanjutkan pertanyaan dan penyelidikannya. Rasanya semuanya hanya akan membuatnya sakit hati.
Huh! Mursyidah membuang napas kasar dan berusaha tersenyum pada Astuti yang menatapnya dengan raut bingung
"Kita lanjutkan pertanyaannya ya bu. Pekerjaan bapak apa bu? Oh maaf, apa bapak dan ibu bekerja?" Meskipun Mursyidah kemarin sudah melihat usaha suaminya itu, tapi dia tetap menanyakannya.
"Suami saya menjual pakan ternak di kiosnya nggak jauh dari sini, nggak terlalu besar sih tapi cukuplah untuk hidup kami sehari-hari. Kalau saya nggak kerja hanya mengurus anak dan suami, jadi bu RT," jawab Astuti bangga. Dia mengangkat sudut alisnya melihat pada Mursyidah yang tersenyum kecil sambil sedikit mengangguk.
"Wah ibu merendah, penghasilan bapak pasti besar.
Saya tadi sempat melihat motor yang dibawa oleh suami ibu dan ibu juga punya motor sendiri." Mursyidah melihat ke arah motor yang terparkir di samping rumah tersebut. "Dan rumah kalian juga termasuk bagus di sekitar sini." Ada nada cemburu dalam suara Mursyidah. Semoga saja wanita yang sedang diwawancarainya tidak curiga. Harap Mursyidah dalam hati.
"Ooh itu, iya sih. Keluarga kami termasuk yang berada lah di kampung ini." Astuti tersenyum bangga, dia mulai menyombongkan diri. "Sebenarnya suami saya punya bisnis lain yang pendapatannya lebih besar dari usahanya menjual pakan ternak. kalau usaha pakan ternak itu hanya pekerjaan sampingan saja dari pada dia diam di rumah."
"Memang apa bisnis suami ibu?" Mursyidah tidak sabar untuk bertanya.
"Ada lah... Bagaimana ya saya bilangnya. Pokoknya tiga bulan sekali suami saya tinggal terima transperan sekitar tiga puluh juta atau bahkan juga lebih."
Mursyidah meneguk ludahnya, berusaha membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa kering. Hendak berbicara pun dia tidak sanggup, suaranya tercekat di tenggorokkan. Mursyidah memalingkan wajahnya ke arah lain lalu menyeka ujung matanya yang berair. Bangga sekali si Astuti pirang ini menceritakan suaminya yang hanya menunggu transferan uang dari memeras keringat Mursyidah. Mursyidah tidak akan rela. Dai bersumpah mulai hari ini tidak akan ada sepesar pun uang jatuh ke tangan Gunadi, terlebih lagi untuk diberikan pada Astuti.
"Wow... ba-banyak sekali ya bu," ucap Mursyidah
Setelah meneguk ludah beberapa kali dan berhasil menenangkan hatinya. "Bagi orang di kampung uang itu banyak sekali loh. Ibu beruntung sekali punya suami seperti Gunadi eh maksud saya pak Gunadi yang pandai berbisnis. Apakah semua uangnya diberikan pada ibu?"
"Tentu saja! Secara sayakan istri yang sangat dia cintai, tapi saya juga nggak mau rakus ya. Saya juga memberi ibu ibu mertua satu atau dua juta dan mengajaknya main ke mol."
Mursyidah diam tercenung mendengar apa yang dikatakan oleh Astuti. Tangan bergerak perlahan meraba dadanya yang terasa sesak. Rasanya ingin dia berteriak kencang karena merasa telah tertipu habis-habisan oleh Gunadi.
"Ti, Tuti! Kapan kamu mau mengajak ibu ke kota untuk belanja?!"
Sebuah suara mengejutkan Mursyidah. wanita itu menoleh ke rumah sebelah, di mana seseorang sedang berjalan ke arah mereka duduk, dirinya dan Astuti. Mursyidah terkesiap saat menyadari siapa orang itu. Rukmini, ibu mertua Astuti dan tentu saja ibu mertua juga karena dia belum bercerai dari Gunadi.
aku suka cerita halu yg realitis.