NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:665
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

Vila kecil itu tampak tenang, dikelilingi semak dan pohon cemara. Saat mobil berhenti, Nathan turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Kayla. Setelah wanita itu turun, ia membuka bagasi dan mengambil koper milik sang kekasih.

Tak ada percakapan lain. Tapi tangan Nathan tetap terulur, menyentuh lengan Kayla ringan saat mereka melangkah bersama ke dalam vila.

Sampai di depan kamar, Nathan lebih dulu membuka pintu, lalu mendorongnya perlahan. Ia masuk sebentar, meletakkan koper Kayla di sisi tempat tidur, memastikan jendela tertutup rapat dan AC menyala.

Sebelum keluar, ia berdiri di ambang pintu. Tatapannya lembut.

"Istirahat dulu, ya." Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Lalu, tanpa banyak kata, ia menyentuh pipi Kayla dengan telapak tangannya yang hangat. Bukan belaian penuh hasrat, hanya sebuah kehadiran. Sebuah pengingat bahwa rasa itu masih ada, meski diselimuti luka.

"Nanti malam kita ngobrol. Kamu bilang semua yang kamu rasa, semua yang kamu mau dari aku. Aku juga akan cerita. Kita omongin semuanya, biar nggak terus saling tebak dan saling luka."

Tangan yang tadinya menyentuh pipi, turun menggenggam jemari Kayla. Hangat dan pelan.

"Keinginan aku yang sekarang dan satu tahun yang lalu tetap sama, Kay. Aku jadi rumah kamu dan kamu jadi rumah aku."

Kayla tidak menjawab. Tapi genggaman itu tidak ia tarik.

Dan saat Nathan akhirnya melangkah mundur, meninggalkan kamar, pintu tidak ditutup sepenuhnya. Seolah... ada harapan agar malam nanti tak hanya bicara, tapi juga saling mendengar.

'Kamu ingin jadi rumah buat aku... tapi bahkan rumah dalam bentuk bangunan pun, nggak pernah ninggalin pemiliknya sendirian di saat paling butuh.

Rumah nggak pernah datang telat. Nggak pernah tiba-tiba pergi tanpa pamit. Rumah selalu ada, bahkan saat pemiliknya pulang dengan langkah paling lelah sekalipun.

Tapi kamu? Kadang kamu datang, kadang kamu hilang. Kadang kamu janji, lalu lupa. Kadang kamu bikin aku nunggu, dan nunggu, dan nunggu... sampai akhirnya aku berhenti berharap kamu datang tepat waktu.

Apa artinya sebuah "rumah" kalau aku nggak bisa merasa aman di dalamnya?'

***

Langit malam menggantung rendah di atas vila. Suara jangkrik terdengar pelan dari arah pepohonan. Lampu teras menyala redup, menerangi dua cangkir teh yang diletakkan di meja kayu kecil.

Nathan duduk lebih dulu. Tak lama kemudian, Kayla muncul dari balik pintu, mengenakan sweater tipis dan membawa selimut kecil yang ia lipat di pangkuan.

Mereka duduk bersebelahan. Tidak terlalu dekat. Tapi tidak saling menjauh.

Suara alam mengisi sela-sela keheningan mereka, sampai akhirnya Nathan bicara lebih dulu.

Kayla menggigit bibir bawahnya. Suara jangkrik dari kejauhan terdengar seperti latar, bukan gangguan. Ia menarik napas perlahan.

"Waktu itu," katanya akhirnya,"kita nggak mikir soal masa depan. Kita cuma saling... hadir. Tapi makin ke sini, semuanya jadi ribet. Harus berusaha ini, ngerti itu, jaga ini, sabar itu..."

Nathan menunduk. "Aku tahu. Dan aku gagal di banyak titik. Aku tahu itu."

Ia memutar cangkir di tangannya, lalu berkata lebih pelan, "Tapi aku juga capek, Kay. Capek ngerasa kalau aku selalu salah. Bahkan saat aku lagi coba benerin."

"Karena kamu sering benerin satu, tapi bikin luka lain," jawab Kayla, tidak membentak, tapi jelas. "Dan kadang kamu benerin dengan cara yang kamu pikir cukup, tapi... ternyata nggak sampai ke aku."

Nathan menatap Kayla. "Aku harus gimana, Kay?"

Suara itu jujur. Lelah. Tapi bukan menyerah, lebih ke ingin mengerti, ingin bertahan, tapi tak tahu arah.

"Ngomong," jawab Kayla singkat. "Tanya. Dengerin. Jangan mikir udah cukup kalau kamu minta maaf terus berharap aku langsung luluh lagi."

Nathan mengangguk pelan. "Iya... Maaf kalau aku terlalu sering berasumsi. Terlalu yakin ngerti kamu, padahal mungkin selama ini cuma nebak-nebak."

Mereka terdiam beberapa detik.

Lalu Nathan berkata, nyaris berbisik, "Aku masih pengin jadi rumah buat kamu."

Kayla menoleh. Tatapannya tidak tajam, tapi juga tidak langsung luluh.

"Rumah itu tempat paling aman. Paling jujur. Tapi kamu kadang datang telat. Kadang pergi tanpa pamit. Kadang aku tungguin, kamu nggak balik-balik. Rumah kayak gitu bikin aku takut pulang."

Nathan menggenggam cangkir lebih erat.

"Aku pengin kamu tahu... aku sadar aku bikin kamu kecewa. Tapi aku juga berubah, Kay. Aku udah mulai banyak kasih kabar, udah mulai nyempetin ngobrol meski kerjaan banyak. Aku tahu, itu nggak langsung ngilangin semua salahku. Tapi seengaknya aku nggak diem."

Kayla diam. Tapi matanya bergerak, seolah menahan sesuatu.

"Dan aku juga tahu..." lanjut Nathan, "...kadang perubahan kecil itu tenggelam karena satu kesalahan besar yang datang tiba-tiba. Kayak kemarin. Makan siang yang harusnya biasa aja, tapi malah jadi salah satu titik terendah kita."

Kayla menunduk. Bibirnya tertutup rapat.

Nathan menoleh ke arahnya. "Kamu sayang aku, Kay?"

Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan.

Beberapa detik, Kayla tidak menjawab. Lalu ia mengangguk kecil. "Sayang."

Nathan menarik napas lega. "Kalau gitu... ajarin aku, Kay. Jangan lelahin diri kamu sendiri buat kuat sendiri. Jangan selalu diem, tahan, lalu tiba-tiba meledak."

"Dan kamu" jawab Kayla, "jangan cuma dateng pas udah meledak."

Mereka saling pandang. Lalu Nathan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Kayla di atas meja.

"Kalau kita sepakat saling belajar... mungkin ini nggak akan langsung sembuh. Tapi setidaknya kita tahu arahnya ke mana."

Kayla menggenggam balik. Ringan. Tapi cukup erat.

"Kalau kamu mulai jalan, jangan berhenti di tengah."

Nathan mengangguk. "Kalau kamu mau jalan bareng, aku nggak akan pergi duluan."

Kayla menunduk sesaat, lalu menatap Nathan kembali.

"Aku nggak minta kamu jadi sempurna, Nat," katanya pelan. "Aku cuma pengin... jangan terlalu banyak janji. Jangan kasih aku ekspektasi, kalau akhirnya hal kecil aja kadang kamu lewatin."

Nathan mengerutkan kening. Tapi bukan karena marah, lebih ke karena sadar, itu memang benar.

"Setiap kali kamu bilang, 'maaf, nggak akan lagi', aku selalu berusaha percaya. Tapi ternyata... ya, sama aja. Ujung-ujungnya aku ngerasa tetap ditaruh di urutan dua, setelah kerjaanmu."

Nathan ingin menjawab, tapi Kayla sudah menambahkan, "Aku tahu kerjaanmu penting. Aku tahu itu tanggung jawab besar. Tapi aku juga nggak pengin ngerasa terus bersaing sama hal yang bahkan nggak bisa disentuh."

Hening sesaat.

"Aku nggak butuh kamu janji ini-itu. Aku cuma pengin lihat tindakanmu. Konsistensimu. Itu aja udah cukup bikin aku tenang."

Nathan menggenggam tangan Kayla lebih erat. Lalu dengan suara rendah, ia menjawab, "Mulai malam ini, aku janji... eh, bukan. Aku bakal tunjukin. Pelan-pelan, tapi pasti."

Mereka tersenyum kecil. Bukan senyum lebar penuh tawa. Tapi senyum yang tulus, yang lahir dari rasa yang tetap tinggal meski diuji berkali-kali.

Langit malam tetap sama. Bintang tetap terang. Tapi hati dua orang yang duduk di bawahnya, sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!