NovelToon NovelToon
Berondongku Suamiku

Berondongku Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Ibu Tiri
Popularitas:60.5k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.

Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.

Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Lima Belas

Samudera tidak langsung menjawab pertanyaan Kirana. Pria itu hanya mengangkat dagu sedikit, lalu mendorong pintu kaca toko perhiasan yang begitu mengkilap sampai Kirana bisa melihat bayangannya sendiri di permukaannya.

“Masuk dulu,” ucap Sam santai.

Kirana tetap berdiri mematung. “Sam … aku serius. Kamu ini siapa sebenarnya? Dari mana uangmu? Kamu ....”

“Aku dari tadi juga jawab serius,” potong Sam tanpa menoleh. “Ayo masuk, Mbak. Nanti dikira kita mau merampok.”

Kirana mendesah frustasi, tapi akhirnya mengikuti. Begitu pintu terbuka, wangi bunga melati dan vanila langsung menyambut mereka. Lantai marmer putih berkilau, lemari kaca berisi cincin teratur rapi, dan lampu-lampu gantung kecil memantulkan cahaya ke berlian-berlian mungil.

Kirana refleks merapatkan tas ke dadanya. Tempat ini terlalu mahal untuk orang seperti dia. Rasanya salah napas pun dia harus bayar.

Seorang pegawai wanita langsung menyambut dengan senyum ramah.

“Selamat sore, Mas, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?”

“Cincin pernikahan,” jawab Sam. Tanpa ragu. Tanpa malu. Tanpa jeda.

Kirana langsung mencubit lengannya sendiri. Rasanya seperti mimpi.

Pegawai itu mengangguk dan mempersilakan mereka duduk di sebuah meja kecil. Ia mulai mengeluarkan beberapa koleksi cincin-cincin cantik. Beberapa berkilauan, beberapa elegan, beberapa sederhana namun memikat.

Sementara itu Samudera duduk santai seolah sedang memilih snack di minimarket. “Yang model ini,” katanya sambil menunjuk cincin yang garisnya melengkung halus. “Atau yang di sana bisa juga.”

Namun Kirana menatap Sam dengan mata masih penuh tanya. “Sam,” bisiknya dengan nada menuntut, “jawabanmu tadi belum selesai.”

Sam memperbaiki posisi duduknya. “Jawaban apa?”

“Dari mana uangmu?”

Sam menyandarkan punggung. “Dari menang balapan.”

Kirana mengerutkan dahi. “Balapan apa? Motor?”

“Iya.”

“Balapan liar itu?”

Samudera menatap Kirana, datar. “Tergantung definisi liar versi kamu.”

“Kalau tidak resmi, tidak ada tiket penonton, tidak ada keamanan, dan melawan hukum—itu liar!”

Sam mengusap hidungnya yang mancung. “Ya berarti itu.”

Kirana hampir memukul meja. “Sam! Kamu tau itu bahaya banget. Aku tak suka itu. Sebaiknya kamu pikirkan lagi hobi mu itu!"

“Akan aku pikirkan," jawab Samudera santai.

Kirana memijit pelipis. Ini terlalu banyak untuk dipikirkan.

“Sam … kamu nggak usah habiskan uangmu buat pernikahan sementara kayak gini. Uang segitu bisa kamu pakai buat modal usaha. Buat masa depan kamu. Kamu jangan ....”

Sam memotong cepat. “Uang bisa dicari lagi nanti.”

“Kamu bicara gampang banget!”

“Karena memang gampang,” ujar Samudera datar sambil menatap pilihan cincin. “Kalau kamu cuma mikir hemat terus, nanti hidup kamu berhenti di situ-situ aja, Mbak.”

Kirana terdiam, tak bisa membantah tapi juga tak menerima sepenuhnya. Ia kembali menatap cincin-cincin yang tampak tidak cocok dengan dompet atau hidupnya.

Sam melirik Kirana dari ekor mata. Ia melihat betapa perempuan itu gelisah bukan karena cincinnya, tapi karena harga, karena beban, karena merasa tidak pantas.

Pria itu menghela napas, lalu berkata pelan, “Mbak. Pilih yang kamu mau.”

Kirana menggigit bibir. “Sam, serius. Ini mahal banget. Kamu jangan maksa aku ....”

“Bukan maksa,” potong Sam. “Meyakinkan.”

Pria itu mendorong kotak cincin paling sederhana ke arah Kirana. “Kalau kamu mau yang biasa, ya pilih yang biasa. Tapi jangan nolak cuma karena takut aku rugi. Itu urusan aku.”

Kirana menatapnya lama. Samudera memang tidak pernah pintar merangkai kata, tapi selalu tepat sasaran saat berbicara.

Akhirnya ia menunduk, memandang cincin paling sederhana di barisan paling pinggir. Bahannya emas putih tipis dengan satu garis kecil di tengah, tanpa batu, tanpa detail rumit. Modelnya klasik, bersih, sangat Kirana.

“Aku suka yang ini,” ucap Kirana lirih.

Sam mendekat sedikit. “Coba pakai.”

Pegawai membantu memasangkan cincin itu ke jari manis Kirana. Ia menahan napas saat melihat pantulan dirinya di meja kaca. Cincinnya tidak mencolok. Tidak berlebihan. Tapi justru karena itulah ia cantik. Dan cocok.

Sam memperhatikan ekspresi Kirana dengan sudut bibir terangkat tipis. “Cocok banget. Yang itu aja.”

“Ini agak mahal, Mas,” ucap pegawai sambil menyebutkan nominalnya. Kirana langsung memandang Sam dengan panik.

Samudera lalu mendekati salah seorang karyawan toko. “Mbak, nanti tolong disampaikan ke … ya, dia,” Sam memberi kode halus, “kalau cincinnya lagi promo.”

Pegawai itu mengerti seketika. Wajahnya berubah ikut bekerja sama.

“Baik, Mas Samudera,” katanya lembut. “Nanti saat pembayaran saya sampaikan harganya jadi lebih rendah.”

Kirana tidak sadar apa pun. Ia hanya mendengar pegawai itu mengatakan, “Cincinnya sedang promo besar, Mbak. Kebetulan model ini sedang diskon.”

Diskon? Di toko perhiasan paling elite kota ini? Kirana tercengang setengah mati. “Benarkah, Mbak?”

“Benar,” jawab pegawai yang sudah di datangi Samudera beberapa detik lalu.

Sam hanya memasukkan tangan ke saku, tampak seolah hal itu bukan apa-apa.

Akhirnya cincin dipilih, diukur sedikit, dan mereka menerima struk pemesanan. Prosesnya tidak lama, tapi bagi Kirana terasa seperti melewati mimpi yang terlalu terang.

Keluar dari toko, Kirana merasa hari ini penuh kejutan. Dia seperti bermimpi.

“Sam .…” ucapnya pelan.

“Hm?”

“Terima kasih. Sekali lagi terima kasih untuk semua yang kamu lakukan.”

Sam tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menghela napas singkat seolah berkata, sudah, jangan dibahas. Tapi Kirana tahu, ia tulus.

Sore mulai merambat menjadi senja ketika mereka berkendara pulang. Angin kota menepuk-nepuk wajah Kirana, tapi kali ini tidak terasa dingin. Dadanya hangat. Entah karena apa.

Saat motor berhenti di depan rumah, Kirana langsung turun dan menatap Sam.

“Aku masuk dulu. Makasih … untuk hari ini dan semuanya.”

Samudera mengangguk. “Tidur yang bener. Tiga hari lagi kita ke butik mengambil kebaya buatmu.”

“Hm … iya.”

Seperti kemarin, Kirana langsung masuk tanpa menengok kiri-kanan, tidak ingin memancing pertengkaran Papa lagi. Kebetulan mereka semua sedang makan.

Sementara Samudera melajukan motor ke rumahnya sendiri.

Rumah keluarga Dipta jauh lebih besar dari rumah Kirana. Rumah itu megah dan sangat kokoh. Begitu motor masuk halaman, pintu depan langsung terbuka.

Mami Vania muncul dengan tatapan penuh rasa penasaran.

“Tumben kamu pulang cepat,” ucap Vaniq, maminya Samudera sambil melipat tangan.

Samudera langsung mendengus. “Mami ini serba salah. Aku pulang cepat salah, pulang telat salah. Salah aja aku di mata Mami.”

“Ya kalau kamu pulang cepat biasanya ada maunya,” timpal Mami.

Samudera memutar mata. “Besok-besok aku pindah ke hidung aja lah. Kalau di mata Mami aku salah terus.”

Dari dalam rumah terdengar suara tawa kecil. Papi Dipta keluar dari ruang makan dengan segelas kopi di tangan.

“Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Papi Dipta.

“Enggak,” jawab Samudera sambil melepas helm. “Cuma capek.”

Mami menatapnya curiga. “Mami dengar dari karyawan butik kamu pesan baju kebaya dengan seorang gadis, apa benar kamu mau kawin?"

Samudera langsung menegakkan bahu dramatis. “Aku nggak mau kawin, Mami. Aku mau nikah.”

Mami memukul bahu Samudera pelan. “Ya nikah maksud Mami! Dasar anak ini.”

“Kalo kamu kawin duluan baru nikah, Mami sunat kamu kedua kalinya.”

Papi Dipta hampir tersedak ludah. “Mami ada aja!” ucapnya, tapi wajahnya menahan tawa.

Samudera menambahkan santai, “Janganlah Mami. Nanti Jerry-ku habis.”

Mami menoyor pelan kepala Sam. “Apa-apaan itu?!”

Sam tertawa kecil. Suasana rumah terasa lebih hangat daripada biasanya.

Tapi kemudian papi berkata pelan, nada suaranya berubah serius.

“Wanita tak beruntung mana yang mau kamu nikahin itu?”

Pertanyaan itu membuat suasana ruang tamu hening. Samudera terdiam. Mami Vania juga ikut diam, menunggu jawaban.

Papi menatap Sam lama, penuh rasa ingin tahu. “Siapa, Samudera? Siapa perempuan yang kamu ajak mendaftar nikah hari ini?”

Samudera tampak menarik napas. Dia lupa jika kedua orang tuanya memiliki banyak mata-mata untuk dirinya.

1
Taslim Rustanto
astagaaa... bakalan seru nih penganten baru.. kira"ada adegan selanjutnya ga ya..😄😄😄
shenina
ekhem..🤭🤭
Linfaurais
Disangka mama vania si sam mau bikin cucu
Eka ELissa
perkara drama kepleset....jadi ke gep deh ...🤣🤣🤣🤣🤣🤭
Faiz Pendar
ternyata ada untung nya juga notif nya telat jadi bisa sekalian nabung bab🤭

ditunggu lanjutannya
Fitria Syafei
Wow mereka mama semoga ya mereka selalu bersama dan bersatu 🤲 mama cantik kereeen 😍😍
vj'z tri
author ngelawak 🤣🤣🤣🤣 semut say hi🤣🤣🤣🤣🤣
Rahma
maaam aq nunggu2 tisa sm Irfan shock tau pesta pernikahan Kirana mewah dan pernikahan mereka sepi ko blm muncul lg Irfan sm Tissa
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
🤣🤣🤣🤣🤣
Alona Luna
🤣🤣🤣 ngakak bangettt
Tiara Bella
Kirana hobi bngt sh jatoh....wkwkkwkw ..tp lucu
Radya Arynda
ya alloh ikut bahagia melihat mereka....mama reni memang the best🫶🫶🫶🫶🫶
Teh Euis Tea
hahaha ketahuan sm mami vania di kira mau enyak enyak tuh si sam sm kiran
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭
Dew666
💎🍭🍎
partini
❤️❤️❤️❤️👍👍👍👍
Fitra Sari
makasih KK doubel up nya ..ditunggu next nya
Arw
kalian berdua ...tanda2 jodoh kuat banget...😍
Teh Euis Tea
kirana sm samudra beda berapa tahun thor?
Radya Arynda
semangaaaat, semogah cepet pada bucin kalian🫶🫶🫶🫶🫶
Yessi Kalila
ciiee... cieee.....
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!