Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teh Herbal
“Baiklah,” kata Li, memaksakan senyum tipis yang terasa lebih seperti seringai ketakutan.
“Hamba akan segera menghadap.” Ia berbalik ke Han Qiu, berbisik cepat,
“Jika aku tidak kembali, kau tahu di mana harus menemukan pedang dan membalaskan dendamku.”
Han Qiu mencubit lengannya.
“Jangan bicara omong kosong. Pikirkan baik-baik. Gao itu licik, dia tidak akan langsung menuduh. Dia akan memancing. Tetap tenang, jawab dengan jujur… sebagian. Jangan biarkan dia menemukan celah.”
Li mengangguk kaku, lalu berbalik dan mengikuti pelayan Gao, seolah sedang berjalan menuju tiang gantungan. Setiap langkah kakinya bergema di koridor sepi, terdengar seperti genderang kematian yang mengiringi. Pikirannya kalut.
Bagaimana aku bisa berbohong pada Gao? Pria itu bisa mencium bau kebohongan bahkan dari jarak seratus meter!
***
Ruangan Chef Gao di sayap utara dapur adalah kebalikannya dari dapur utama yang selalu sibuk. Ruangan itu sunyi, dingin, dan bersih tak bercela. Tidak ada debu, tidak ada noda, tidak ada aroma.
Bahkan udara di sana terasa steril, seolah telah disaring dari semua kehidupan. Gao duduk di balik meja kayu gelap, jubah putihnya seolah menyatu dengan dinding pucat di belakangnya. Di depannya, ada teko teh porselen kosong dan dua cangkir.
“Duduklah, Kasim Li,” kata Gao, suaranya selembut desiran kain sutra, tetapi mengandung bobot yang jauh lebih berat. Ia tidak tersenyum. Gao tidak pernah tersenyum pada Li.
Li duduk di kursi di seberang meja, punggungnya tegak kaku, seolah disumpal sebilah bambu. Ia mencoba untuk tidak terlihat gugup, tetapi tangannya yang tergenggam di pangkuan sedikit gemetar. Ini lebih buruk daripada cambukan. Ini adalah interogasi mental.
“Saya mengamati, Kasim Li,” Gao memulai, matanya yang gelap menatap Li lekat-lekat, seperti seorang pemburu menatap mangsanya.
“Anda cukup sering terlihat di kamar Yang Mulia akhir-akhir ini. Lebih sering dari biasanya, bahkan untuk seorang kasim kepercayaan.”
Li menelan ludah.
“Ah, itu… itu benar, Chef Gao. Yang Mulia… Yang Mulia akhir-akhir ini meminta lebih banyak teh. Terutama teh herbal dari pegunungan utara.”
Gao mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan yang nyaris tak terlihat tetapi cukup untuk membuat Li merasa seperti sedang berhadapan dengan detektor kebohongan kuno.
“Teh herbal? Menarik. Saya tahu Yang Mulia memang menyukai teh. Tapi saya tidak ingat ada dekrit baru tentang peningkatan konsumsi teh.”
“Tidak ada dekrit resmi, Chef Gao,” jawab Li, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
“Hanya… keinginan pribadi Yang Mulia. Beliau merasa teh tersebut… membantu pencernaannya. Dan saya kebetulan adalah pelayan yang paling sering bertugas menyiapkan air panas di dekat kamarnya.”
Bagus, Li, teruskan. Sedikit kebenaran dicampur dengan kebohongan adalah resep yang sempurna. Li memuji dirinya sendiri dalam hati, meskipun lututnya masih bergetar.
“Pencernaan, ya?” Gao mengulang, lalu mengambil teko teh kosong di depannya. Ia membalik-balikkan teko itu dengan ujung jarinya, matanya masih menatap Li.
“Apakah ada yang lain yang ‘membantu pencernaan’ Yang Mulia akhir-akhir ini? Mungkin… hidangan baru?”
Nah, ini dia! Li merasa seperti peluru es menembus jantungnya.
Ini adalah jebakan. Gao tidak bodoh. Dia pasti sudah mendengar desas-desus, atau lebih buruk lagi, mencium aroma sisa.
“Tidak, Chef Gao,” jawab Li, berusaha keras agar tidak terlalu cepat.
“Hidangan Yang Mulia tetap sama. Bubur bening, ikan kukus, sup sayuran pucat. Semua seperti yang Anda dekritkan. Sangat… sangat murni.” Li mencoba menekankan kata ‘murni’ agar terdengar meyakinkan.
Gao tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk Li berdiri.
“Tentu saja. Tapi ada sesuatu yang aneh. Laporan medis menunjukkan peningkatan berat badan yang signifikan. Tiga kati. Sebuah keanehan. Dan saya tahu, Anda tidak memberi Yang Mulia bubur racun atau daging babi hutan, bukan?”
Li menggelengkan kepalanya dengan cepat, hampir terlalu cepat.
“T-tidak, Chef Gao! Tentu saja tidak! Hamba bersumpah demi langit dan bumi! Yang Mulia hanya… hanya minum lebih banyak teh. Mungkin karena itu, nafsu makannya jadi sedikit membaik. Atau mungkin… mungkin tehnya membuat badannya lebih hangat, sehingga ia bisa menyerap nutrisi dari makanan hambar itu dengan lebih baik?”
Li merasa otaknya bekerja lembur, menciptakan teori-teori fisiologis yang konyol.
Ini dia, Li, gila sekalian! Biar dia percaya kau sudah stres berat karena harus menyajikan bubur hambar setiap hari.
Gao mengamati ekspresi Li dengan intens. Ia melihat ketakutan di mata kasim muda itu, tetapi juga ada kilat keputusasaan yang bisa jadi merupakan tanda kepolosan.
Gao adalah ahli dalam membaca kebohongan, tetapi Li adalah seorang ahli dalam menyembunyikan kebohongan di balik kepanikan yang jujur.
“Jadi, Anda mengklaim bahwa teh herbal ini adalah satu-satunya ‘faktor eksternal’ yang mempengaruhi kesehatan Yang Mulia?” tanya Gao, nada suaranya sedikit lebih tajam.
“Hamba tidak tahu faktor lain, Chef Gao,” jawab Li, mengangkat bahu sedikit, mencoba terlihat tidak berdaya.
“Mungkin… mungkin Yang Mulia hanya sedang melalui fase pemulihan alami? Hamba hanyalah seorang kasim kecil, tidak mengerti ilmu kedokteran yang rumit.”
Gao terdiam sejenak, tatapannya beralih dari Li ke teko teh kosong. Ia tampak sedang memproses informasi, atau lebih tepatnya, mencoba mencium bau kebohongan yang tidak tercium oleh hidung fisiknya. Li merasa seperti sedang menahan napas di bawah air, menunggu sampai paru-parunya meledak.
Akhirnya, Gao meletakkan teko tehnya kembali ke meja.
“Baiklah, Kasim Li,” katanya, dan Li nyaris pingsan karena lega.
“Saya akan menerima penjelasan Anda untuk saat ini. Teh herbal. Mungkin. Tapi saya akan mengawasi persediaan teh di istana dengan lebih ketat.”
Li mengangguk dengan cepat, lega.
“Baik, Chef Gao! Hamba akan memastikan Yang Mulia hanya minum teh yang paling murni dan paling hambar!”
“Anda boleh pergi,” perintah Gao, mengabaikan sarkasme Li yang tidak disengaja.
Li bangkit dari kursinya, membungkuk dalam-dalam, dan berjalan mundur perlahan, seolah takut akan menodai lantai dengan jejak kakinya. Saat ia mencapai pintu, ia mendengar suara Gao lagi.
“Oh, dan Kasim Li,” kata Gao, suaranya kini terdengar sangat dingin, nyaris seperti embusan angin dari kuburan.
“Mulai hari ini, Kasim Xiao Wei akan membantu Anda dalam semua tugas yang berhubungan dengan pelayanan Yang Mulia. Ia akan memastikan semua protokol ditaati dengan ketat.”
Li berbalik, wajahnya pucat pasi. Kasim Xiao Wei. Mata-mata pribadi Chef Gao. Seorang pria yang dikenal karena kesetiaannya yang buta pada Gao dan kemampuannya untuk mencium bau ‘ketidakmurnian’ dari jauh.
Gao tidak tersenyum. Ia hanya menatap Li dengan mata dingin, seolah sedang mengatakan,
Aku mungkin tidak punya bukti, tapi aku akan memastikan kau tidak punya kesempatan untuk melakukan apa pun lagi.
Dunia Li, yang baru saja bebas dari cengkeraman interogasi, kini terasa seperti telah diperangkap dalam sangkar baru, dengan sepasang mata tajam yang mengawasi setiap gerak-geriknya.