Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 18 | The Way I Loved You
Alunan musik mengalun lembut dan menenangkan. Lagu photograph dari Ed Sheeran menemani perjalanan mereka untuk pulang menuju rumah paling nyaman. Lagu yang menggambarkan bagaimana cinta bertahan ditahap paling sulit sekalipun. Sama halnya dengan Elliot yang menjadikan kenangan mereka sebagai asalan kenapa dia masih bertahan.
Anala melirik pada Elliot setiap kali lirik lagu itu mengingatkannya pada kenangan mereka saat remaja yang masih terbesit indah
🎶 And if you hurt me
That's okay baby, only words bleed... 🎶
Lirik yang manis dan membuatnya tersenyum samar. Begitu ia mengalihkan pandangan, ia mencium puncak kepala Nael dengan lembut dan perlahan, anak itu tertidur diatas pangkuannya.
"Nael tidur?" tanya Elliot, ia menyadarkan Anala dari lamunan indahnya. "Bentar aku berhenti dulu, kita pindahin Nael ke bangku belakang aja." ia masih tetap memastikan kenyamanan dua orang disebelahnya.
Anala menggeleng cepat, menolak tanpa ragu. "Nggak usah, nanti dia kebangun."
Elliot mengerutkan kening, seperti ada jutaan pertanyaan dalam pikirannya. "Kamu yakin? masih cukup jauh buat sampai rumah." Anala tetap tegas menolak. "Nggak apa-apa. Aku senang Nael ngerasa nyaman tidur di pangkuanku."
Elliot pun terdiam, sedikit melirik pada anaknya yang menyandar nyaman didada Anala. Seketika suasana hening melanda mereka, hanya alunan musik yang silih berganti menyamarkan kesunyian.
Di tengah kebisuan itu Anala kembali menilik beberapa ucapan Mami yang tak mengenakkan. Senyum simpul terbit diwajahnya saat ia bicara. "Mami marah banget sama aku," matanya menyipit sambil sedikit memirigkan kepala "Tapi wajar sih, soalnya aku kan udah khianatin kamu."
Elliot mendengarnya namun enggan untuk menoleh. Dia fokus pada jalanan didepan. Suara beratnya mulai terdengar menenangkan. "Soal omongan Mami tadi, nggak usah terlalu dipikirkan."
"Tapi Mami benar. Kamu pantas nikah sama perempuan yang jauh lebih baik daripada aku." suaranya pelan sedikit bergetar, matanya fokus pada jalanan lurus, bukan lagi pada pria datar disebelahnya
"Aku nggak mau Nael punya saudara tiri. Kalau kamu ngomong kayak gini sebelum kita punya anak, mungkin akan aku pertimbangkan." suaranya tenang seperti tanpa beban, padahal Anala sudah kelabakan.
"Jahat banget," eluhnya mendramatisir keadaan. Elliot hanya mengedikkan bahu tanpa terganggu. "Aku cuma mencoba mengikuti alur yang kamu buat."
"Cih..." Anala berdecak kesal, sengaja melempar pandangan ke luar jendela. Matanya tertuju pada seorang pengendara motor yang bercanda dengan putrinya ketika berada di lampu merah.
Perlahan senyumnya terangkat, tiba-tiba teringat dengan kenangan bersama Papa. Ia menyanggah dagu dengan siku yang bertumpu dekat jendela. Menatap nanar sebelum akhirnya bicara. "Kemaren aku ke makam Papa, pasti sepi ya disana?"
"Kalau rame artinya bukan kuburan, tapi pasar malam." Elliot menjawab rasional, ekspresinya bahkan tidak berubah.
"Andaikan waktu itu aku nggak kerasukan setan, mungkin Papa masih ada." Anala terus bergumam pelan, matanya berubah kosong dan hampa.
Sontak Elliot menoleh pada Anala yang menatap nanar ke samping jendela. "Kamu bicara seolah-olah yang selama ini jadi istriku bukan kamu, tapi orang lain."
"Ya kenyataannya emang begitu. Aku bingung kenapa aku nggak bisa mengingat kejadian sepuluh tahun lalu."
Lagi—ucapan Anala yang terdengar tidak masuk akal ini selalu terdengar menyebalkan. Elliot bahkan lebih memilih Anala berterus-terang daripada rumit seperti ini. "Udah lah, aku nggak mau bertele-tele soal ini."
"Aku nggak—"
Belum sempat Anala menyelesaikan ucapannya, Elliot lebih dulu memotong dengan topik lain. "Gimana kabar Mama?"
Anala mendelik menatapnya, lalu menghela napas ringan. "Mama pengen makan malam lengkap sama anak mantunya. Tapi kamu malah nggak bisa datang."
"Ya setidaknya ada sosok lain yang menggantikan, mungkin Mama bisa pelan-pelan nerima dia dan mulai anggap sebagai menantunya."
Jawaban itu membuat Anala tercengang, ia menyipitkan mata sambil menatap Elliot dengan tatapan tak suka. "Siapa yang kamu maksud?"
Elliot dengan kurang ajar hanya mengedikkan bahu sambil mencebikkan bibirnya. "Entahlah, aku rasa pertanyaan itu cuma punya satu jawaban. Kecuali kamu punya alternatif lain."
"Elliot. kamu ngomong apa sih?"
"Nggak usah pura-pura polos, Anala. Harusnya kamu nggak bertingkah sejauh ini hanya untuk menyakitiku lagi."
Obrolan semakin memanas, topiknya sudah melebar kemana-mana hingga Anala pun bingung maksud dan tujuan ucapan suaminya. Mendadak lampu jalanan yang biasanya terang, justru terlihat redup dan temaram.
"Kamu—"
Ucapan Anala terpotong ketika suara Nael tiba-tiba mengangetkan mereka. "Pergi Om! jangan ganggu Mama! pergi!!" anak kecil itu sampai mengayunkan tangannya dalam keadaan tidur.
Elliot tertegun, ia memperhatikan Nathael sambil tetap berusaha fokus. "Nael?"
Sementara Anala masih setia mengusap punggung Nathael, agar ia kembali tenang. "Kayaknya dia masih kepikiran kejadian semalam."
"Kejadian apa?" tanya Elliot sambil mengerutkan keningnya. Mata mereka bertemu, tapi Anala segera memutusnya lalu kembali fokus mengusap rambut anaknya. "Aku nggak tau Yohane dapat info dari mana, tapi dia tiba-tiba datang dan bersikap seolah aku masih punya hubungan sama dia."
Elliot mematikan musiknya. Bayangan pohon di tepi jalan jatuh tepat di wajahnya, sehingga wajah yang berubah serius itu terlihat makin horor dipandang. "Maksud kamu?"
Anala menghela napas lalu merotasi bola matanya, takut bertatapan dengan Elliot. Ada sedikit rasa bersalah. "Semalam Yohane muncul seolah udah tau acara rutin di rumah Mama setiap hari peringatan kematian Papa."
"Bukannya kamu yang sengaja mengundang dia?" Anala terkesiap, satu lagi fitnah yang muncul suaminya itu. "Ya bukan lah. Ngapain aku repot-repot ngundang orang yang nggak punya kepentingan?"
Elliot mengernyit, keningnya berkerut membentuk garis halus. "Dia kan selingkuhan kamu?"
Anala memijit pelipisnya, helaan nafasnya terdengar kasar. "Astaga, berapa kali lagi aku harus bilang. Aku udah nggak punya hubungan sama dia."
"Tapi kenyataannya kamu tetap diam dalam pelukan Yohane." suara itu datar, santai dan cenderung lembat. Tapi sindirannya luar biasa sarkas.
Awalnya Anala membelalak,"Aku nggak—" ia seperti menyadari sesuatu dari cara bicara Elliot. "Tunggu... Apa ini artinya kamu ngeliat kejadian malam itu?"
Elliot tidak menjawab, tapi malasnya seolah menjelaskan segalanya tanpa perlu bicara.
"Jangan bilang karena hal itu kamu pura-pura sibuk dan akhirnya putar balik nggak jadi mampir?" Anala semakin gencar menuntut jawaban, sementara Elliot mati-matian menghindari topik.
"Mungkin?" responnya singkat seperti tidak niat. Muka lempengnya itu benar-benar menyebalkan.
Wanita itu menepuk jidatnya, sungguh diluar dugaan. Kepalanya terasa berkunang, susah sekali mendapatkan kepercayaan suaminya. "Astaga Elliot. Harusnya kamu lihat dulu sampai selesai. Semuanya nggak berjalan seperti yang kamu bayangkan. Aku bahkan udah mukul dia pakai heels lima centi."
"Ya orang gila aja yang mau menyaksikan perselingkuhan istrinya didepan mata!"
Anala berdecak lagi, entah sudah yang keberapa kali hari ini. "Ingat ya, jika itu benar-benar Anala yang asli. Anala yang kamu kenal sejak kecil, maka nggak mungkin perselingkuhan itu masuk akal."
Elliot tak begitu mendengarkan ocehan Anala, Ia memilih menjawab dengan santai tanpa beban. Ibarat kata dia sudah terlalu lelah untuk berharap. "Siapapun bisa berubah, termasuk orang yang mengajak nikah duluan." kalimat terakhirnya sengaja ditekankan, matanya pun melirik tajam pada Anala. "Semua rasa akan berubah pada waktunya."
Anala meliriknya dengan ragu, bibirnya dikulum sebelum bicara. "Apa itu artinya perasaan kamu buat aku ikut berubah?"
"Bisa ya, bisa tidak." jawaban yang ambigu dan tidak punya titik terang yang jelas.
Anala sontak terkesiap, matanya melotot tajam. Ia merengkuh Nael lebih dekat lalu semakin mencondongkan tubuhnya pada Elliot. "Jangan bilang kamu telat pulang semalam karena abis nyari pelampiasan bareng cewek lain?"
Sekarang gantian Elliot yang dibuat melotot. Dari segala tuduhan justru yang ini yang paling jauh. Bibirnya sampai tidak bisa berkata-kata, seperti terkena lem kuat.
"El, itu nggak mungkin kan?" dia makin dekat, hingga nyaris lupa bahwa sekarang Nathael sedang tertidur pulas dalam pangkuannya.
Elliot memilih fokus pada jalanan, meskipun tangannya gemetar halus saat pertama kali Anala menuduhnya jajan diluar. Ada gemuruh hebat yang tak tertahankan dalam hatinya.
Ah syukurlah, ia menghela napas lega saat melihat rumah sudah didepan mata. Setidaknya dia punya alasan untuk menghindari topik yang tidak masuk akal itu.
Elliot buru-buru membuka seat belt lalu membuka pintu untuk segera turun secepat kilat. Tanpa sadar ia sudah membuka pintu tempat Anala duduk, sambil memasang tampang tak bersalahnya. "Kita sampai."
Tangannya sudah bersiap menggendong Nathael yang masih tertidur dalam pelukan Anala. "Aku aja yang mindahin Nael ke kamar."
Anala masih belum lega, dia masih menunggu satu jawaban. Mukanya sudah bersungut kesal, seperti siap mencabik-cabik Elliot hanya dengan tatapan gila itu. "Jawab dulu..."
Tapi lagi-lagi pria itu tak peduli. Dengan cepat Nathael sudah berpindah padanya. Bocah itu menggeliat lalu membuka mata meski belum sepenuhnya sadar. "Ayo sayang, kita ke kamar. Let's go!"
"Elliot nyebelin!" ocehnya sambil menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Punggung lebar Elliot makin jauh meninggalkannya bersama Nathael yang kembali terlelap dalam gendongan sang Papa.
Bibirnya manyun, tapi ketika pemandangan itu terasa begitu mengharukan, garis bibirnya pun terangkat membentuk senyuman tipis tapi langsung berganti dengan suram.
"Gimana kalau ternyata itu benar?" ia menggeleng, memaksa otaknya agar tidak berpikiran buruk tentang suaminya.