“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH
“Sah!”
“Sah!”
Suara itu menggema saling bersahutan di aula pertemuan balai desa Cimara.
Di hadapan seorang pemuka agama yang menikahkan mereka dan sebagian besar warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Alandra Hardinata, pria yang ia temukan tergeletak pingsan dengan banyak luka di pinggiran hutan itu entah berasal dari mana, ia sendiri belum sempat bertanya.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
‘Sial!’ batinnya mengumpat.
“Ananda berdua...” suara pemuka agama memecah keheningan. “Penikahan bukan hanya tentang sah di mata agama dan adat. Ini tentang menjaga marwah diri, tentang tanggung jawab yang kelak akan ditanya. Apapun yang melatarbelakangi peristiwa ini, anggaplah sebagai ujian. Aib dapat ditutupi dengan kesungguhan untuk memperbaiki, bukan dengan kebencian.”
Kata-kata “aib” itu seperti sebilah pisau tajam yang menghujam dada Tara, membuat matanya memanas. Memangnya aib seperti apa yang sudah ia lakukan? Apakah menolong orang lain yang sedang menderita adalah aib? Batinnya bertanya.
Tara masih tak mengatakan apapun, ia lebih memilih menundukkan kepalanya lebih dalam saat air matanya meluncur melewati pipinya yang pucat tanpa mampu ia bendung.
Pemuka agama lalu menutup acara malam itu dengan do’a. Arif, ayah Tara membantu putri semata wayangnya itu berdiri. Sementara Alan, meski tubuhnya masih terasa sakit akibat luka-luka di tubuhnya tetap berusaha berdiri sendiri.
Tak seperti lazimnya sebuah pesta pernikahan, para warga desa yang tadinya berkerumun dan ikut menyaksikan prosesi itu sama sekali tak berinisiatif untuk menyalami atau mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Yang ada justru mereka mencibir dan mengolok, membuat dada Tara semakin sesak. Ingin sekali gadis itu segera menghilang dari pandangan semua orang.
Sedangkan Alan, pria itu hanya berdiri kaku di tempatnya, tatapannya begitu dingin mengarah ke kerumunan para warga.
Malam sudah semakin larut saat warga mulai bubar meninggalkan balai desa, menyisakan Arif beserta putri dan menantu dadakannya.
Arif menepuk pundak Tara lembut. “Ayo pulang, Tara,” ujarnya lirih.
Tara mengangguk. Ia lalu meraih lengan Alan dan membantu pria itu berdiri. Selanjutnya Tara memapah Alan menuruni anak tangga balai desa, sementara Arif mengikuti keduanya dari belakang dengan tatapan sendu. Ia masih belum sepenuhnya rela melihat nasib Tara jadi seperti ini.
Ketiganya melangkah pelan menyusuri jalanan setapak yang hanya bermandikan cahaya lampu jalan yang remang menuju rumah mungil peninggalan orang tua Arif yang jaraknya sekitar satu kilometer dari balai desa itu.
Dari kejauhan mereka bisa melihat beberapa pemuda sedang nongkrong sambil bercengkrama di pertigaan jalan.
“Tahu murahan, kemarin dah ku booking duluan.” Celetuk seorang pemuda yang kemudian disusul tawa cekikikan teman-temannya.
“Iya, penampilan saja yang sok polos” timpal yang lain. “Eh tak tahunya...”
“Makanya jangan tertipu sama penampilan. Wajah kalem belum tentu wanita suci.”
Langkah Arif sontak terhenti. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal kuat. Andai Tara tidak segera menahan lengannya, mungkin ia sudah menghampiri para pemuda itu dan menghajar mereka.
“Ayah, jangan. Biarkan saja,” ujar Tara dengan suara lirih, membuat Arif memejamkan mata untuk meredam bara yang menyala di dadanya.
Sementara Alan, pria itu hanya menatap taja ke arah segerombolan pemuda itu. Wajahnya yang terlihat masih pucat tak mampu menyamarkan sorot matanya yang menusuk seperti belati tajam. Andai kondisi tubuhnya tidak seperti sekarang, mungkin malam itu tak akan berakhir damai untuk mereka.
Tanpa sepatah kata, ketiganya melanjutkan langkah, meskipun di belakang sana para pemuda itu masih saja mencibir mereka.
Saat mereka telah masuk ke dalam rumah, Arif menatap Tara lalu beralih pada Alan yang tak mampu berdiri sendiri dengan tegak.
“Ajak dia ke kamar, Tara. Dia masih harus istirahat. Luka-lukanya itu bahkan masih basah.”
Tara mengangguk pela, “Baik, Yah.”
“Jangan lupa ganti perbannya. Dia juga harus minum obat,” imbuh Arif berusaha tetap tenang, berusaha menyembunyikan hatinya yang hancur.
“Iya, Yah.”
Sebelum berbalik ke kamarnya sendiri, Arif sempat menatap punggung Tara yang tengah memapah Alan menuju ke kamar yang sejak kemarin ditempati oleh lelaki itu.
Hatinya berdenyut nyeri, namun Arif berusaha tetap tegar. Dalam hati ia berkata, ‘Tuhan tahu bahwa semua ini bukanlah dosa, melainkan sebuah keterpaksaan.’
Begitu keduanya tiba di kamar, Tara membantu Alan duduk di tepian dipan kayu iliknya. Punggung pria itu bersandar pada dinding sedang kedua kakinya selonjoran di atas kasur tipis.
Tara menghela napas panjang sebelum tangannya meraih kotak berisi obat-obatan Alan yang ia dapatkan dari mantri setempat. Dengan gerakan hati-hati ia mulai membersihkan luka di bahu Alan dengan kapas basah.
Alan meringis kecil menahan nyeri setiap kali kapas itu menyentuh kulitnya yang masih mengeluarkan darah tipis.
“Kalau sakit bilang, Kak,” gumam Tara menoleh sebentar kepada Alan sebelum kembali menunduk.
Alan tersenyum miring. “Sudah cukup banyak rasa sakit hari ini. Tambahan sedikit bukan masalah.”
Meski tenang, namun entah kenapa ucapan Alan barusan terdengar sinis di telinga Tara. Tapi gadis itu memilih tidak membalas. Ini sudah terlalu malam, akan sangat tidak baik jika mereka bertengkar.
Tara akhirnya melanjutkan pekerjaannya tanpa kata.
“Jujur saja, sebenarnya aku tidak perlu melakukan ini,” ujar Alan setelah beberapa menit berlalu.
Tara menoleh cepat, “Melakukan apa?”
“Menikahimu,” jawab pria itu santai dan enteng. “Kau tahu, aku hanya... kasihan melihatmu dipermalukan oleh orang-orang itu. Jadi kupikir seseorang harus menyelamatkanmu.”
Tara menatap tak percaya kepada Alan seraya menghentikan pekerjaannya sebentar. “Kasihan katamu?”
“Ya,” jawab Alan spontan dan ringan. “Anggap saja sebagai balas budi karena kau telah menyelamatkanku kemarin. Itu saja.”
Tara yang masih menatap Alan tersenyum miring beberapa saat setelahnya, “Balas budi?” ulangnya tak percaya. Ia membuang wajah ke samping sebelum kembali menatap pria itu. “Dengar Tuan, Aku tidak memerlukan balas budimu. Jadi seharusnya kau tadi menolaknya saja.”
“Tapi aku tidak ingin melihat seorang gadis hancur reputasinya di depan banyak orang,” balas Alan spontan. “Dan aku pikir... ini hanya pernikahan secara agama. Kita bisa mengakhiri kapan saja, bukan?”
Tara terdiam dan menatap pria itu lama. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-katanya seolah tersangkut di tenggorokan. Ia memilih melanjutkan membalut luka di lengan Alan dalam diam.
Alan sempat memperhatikan gerakan tangan Tara di lengannya sebelum pandangannya beralih sejenak ke wajah gadis di hadapannya itu. Ia lalu menuduk.
“Dan lagipula... aku sudah menikah, Tara.”
Gerakan tangan Tara seketika terhenti. Ia kemudian menatap Alan dengan mata membulat tak percaya.
“Kau... sudah menikah?” ulangnya pelan.
Alan menatap balik perempuan itu dengan tatapan datar dan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Ya. Dan aku sangat mencintai istriku.”