Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Malam itu, istana Bai mengadakan jamuan kecil untuk menyambut kepulangan sang putri. Musik kecapi mengalun lembut, makanan disajikan dalam piring porselen putih berukir naga dan bangau.
Kaisar Bai menatap putrinya dengan penuh kebanggaan. “Utusan dari Siu sudah mengirim surat, mengatakan bahwa Putra Mahkota Wang Ji akan mengirim rombongan lamaran setelah Festival Cahaya berakhir. Aku melihat matamu bersinar saat namanya disebut, Yi’er.”
Wajah Xue Yi memerah. “Ayahanda…”
Permaisuri Bai menepuk tangan putrinya lembut. “Tidak perlu malu, nak. Kami sudah lama tahu, bahkan sebelum surat itu datang.”
Bai Xiang mengangkat alis, pura-pura bingung. “Jadi adikku yang dulu paling penakut dan pendiam di seluruh istana… ternyata bisa jatuh cinta juga?”
“Jangan mengejek, Gege,” kata Xue Yi separuh malu separuh jengkel.
Xiang tertawa puas. “Baiklah, baiklah. Tapi aku senang akhirnya kau menemukan seseorang yang bisa membuatmu tersenyum seperti itu.”
Malam itu, tawa mereka mengisi ruang makan istana. Namun di hati Kaisar Bai, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebanggaan. Ia tahu, dunia politik tak pernah sesederhana cinta dua insan. Tapi melihat tatapan tulus putrinya, ia memutuskan untuk percaya bahwa cinta kali ini benar-benar bisa menyatukan dua negeri yang dulu sering berseteru.
----¡
Keesokan paginya, udara ibu kota Bai berembun lembut. Xue Yi mengenakan pakaian rakyat biasa jubah biru polos dan topi bambu bundar untuk menutupi sebagian wajahnya. Bai Xiang menemaninya, juga menyamar sebagai pedagang muda.
“Kenapa kita harus menyamar seperti ini, Gege?” tanya Xue Yi sambil tersenyum geli.
“Kalau kita berjalan dengan jubah emas dan pengawal, mana bisa melihat kehidupan rakyat dengan jujur?” jawab Xiang sambil menepuk pundaknya. “Lagipula, aku ingin tahu apakah pasar ini masih seperti dulu penuh teriakan, aroma roti hangat, dan anak-anak yang berlari tanpa takut.”
Mereka berjalan di antara keramaian. Penjual buah, rempah, dan kain berteriak menawarkan dagangan. Musik suling terdengar dari kejauhan, diiringi tawa anak-anak yang mengejar burung kecil.
Xue Yi berhenti di depan penjual permen gula. “Aku dulu suka yang bentuk naga,” katanya sambil tersenyum. Xiang membelinya dua, lalu menyerahkan satu padanya.
“Untuk putri yang sekarang sudah dewasa tapi masih menyukai manisan,” ujarnya menggoda.
Namun suasana riang itu mendadak berubah ketika teriakan terdengar di ujung jalan.
“Lepaskan anak itu!”
Orang-orang menoleh. Di dekat tumpukan karung beras, seorang pria kekar sedang mencengkeram seorang anak kecil dengan kasar. Anak itu menangis, wajahnya penuh kotoran.
“Berani-beraninya kau mencuri milikku!” bentak pria itu.
“Saya hanya ingin sisa roti, tuan!” tangis anak itu.
Orang-orang menonton tapi tak ada yang berani mendekat. Xue Yi hendak maju, namun Bai Xiang lebih dulu menghentikannya. “Tunggu.”
Dari kerumunan itu, seorang wanita melangkah maju. Ia mengenakan pakaian sederhana warna ungu tua, rambutnya disanggul rendah, wajahnya lembut tapi matanya berkilat tajam.
“Cukup,” katanya dengan tenang tapi tegas. “Anak itu lapar, bukan pencuri. Jika kau ingin menegakkan hukum, lakukan dengan adil.”
Pria itu tertawa kasar. “Siapa kau, berani ikut campur?”
Wanita itu tidak mundur. Ia mengeluarkan koin perak dari lengan bajunya dan meletakkannya di tangan pria itu. “Ini lebih dari cukup untuk membayar roti yang dicuri. Sekarang lepaskan dia.”
Tatapan pria itu berubah, lalu ia melepaskan anak itu dengan kesal dan pergi sambil mengumpat. Wanita itu segera berlutut, memeluk anak kecil itu dan menghapus air matanya. “Pergilah ke rumahmu, Nak. Dan jangan takut lagi.”
Anak itu menangis sambil menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Nona.”
Bai Xiang menatap pemandangan itu lama, tak bergeming. Ada sesuatu di wajah wanita itu sesuatu yang membuat dadanya terasa hangat dan sesak sekaligus. Ia bahkan tidak sadar saat Xue Yi menatapnya dan tersenyum tipis.
“Kelihatannya ada yang terpana,” bisik Xue Yi menggoda.
Xiang tersentak, cepat-cepat mengalihkan pandangannya. “Aku hanya… kagum pada keberaniannya.”
“Tentu,” jawab Xue Yi sambil menahan tawa. “Begitulah biasanya awal dari kisah panjang, Gege.”
Mereka berdua kemudian mendekat. Xue Yi berbicara lebih dulu. “Nona, bolehkah kami tahu nama Anda? Saya melihat tindakan Anda tadi sangat mengagumkan.”
Wanita itu menoleh, tersenyum sopan. “Nama saya Mei Lin. Saya hanya seorang pengajar kecil di rumah baca dekat kuil timur.”
“Mei Lin,” ulang Bai Xiang pelan, seolah nama itu sendiri telah menjadi mantra. “Nama yang indah.”
Mei Lin menunduk sedikit. “Terima kasih, Tuan.”
Anak kecil itu sudah pergi, dan pasar kembali riuh. Tapi bagi Bai Xiang, dunia tiba-tiba terasa sunyi seolah hanya ada suara napasnya dan detak jantung yang berlari lebih cepat dari biasanya.
---
Sepulangnya ke istana, Bai Xiang tak bisa berhenti memikirkan wanita itu. Di ruang latih, panahnya meleset dari sasaran hal yang jarang sekali terjadi.
Kaisar Bai yang lewat bahkan sempat menatap aneh. “Panahmu hari ini seperti burung tanpa arah, Xiang. Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”
Xiang menegakkan tubuhnya. “Tidak, Ayahanda. Hanya… mungkin angin berubah arah.”
Kaisar Bai tersenyum samar. “Ah, angin, ya? Dulu aku juga sering menyalahkan angin setiap kali panahku meleset. Tapi akhirnya kusadari, bukan angin yang berubah melainkan hatiku.”
Wajah Bai Xiang memerah. “Ayahanda bicara seolah tahu sesuatu.”
Kaisar Bai tertawa. “Aku ayahmu, Xiang. Tak perlu diberi tahu untuk tahu.”
Sementara itu, Xue Yi duduk di taman bersama ibunya. “Aku rasa Gege sudah menemukan seseorang,” katanya sambil tersenyum.
Permaisuri Bai mengangguk pelan. “Aku melihat cahaya berbeda di matanya. Siapa pun wanita itu, semoga ia membawa kedamaian bagi hatinya seperti Wang Ji bagimu.”
Malam itu, di balkon kamarnya, Bai Xiang menatap bulan purnama yang menggantung di langit. Ia menggenggam sebatang anak panah di tangan, lalu menatap ke arah timur ke kuil tempat Mei Lin mengajar.
“Mei Lin…” gumamnya lirih, seolah nama itu sendiri bisa memanggil kenangan. “Aku bahkan belum tahu siapa dirimu sebenarnya, tapi mengapa hatiku… terasa seperti telah mengenalmu sejak lama?”
Ia menutup matanya, membiarkan angin malam membawa bisikan halus.
Dan di kejauhan, di rumah baca kecil dekat kuil timur, Mei Lin menatap langit yang sama, dengan perasaan yang sama tak menyadari bahwa takdir baru sedang menulis bab berikutnya untuk mereka berdua.
Bersambung