Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18.Sikap kasar.
Pagi itu, langkah Oliv terasa berat saat menapaki gerbang sekolah lamanya. Dulu, setiap kali ia datang, semua mata tertuju padanya karena statusnya sebagai putri pengusaha minyak yang kaya raya dan perubahan dirinya yang cantik. Kini, dengan seragam yang sedikit lusuh dan tas punggung yang tampak sederhana, tatapan yang ia dapat justru berbanding terbalik.
Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa.
"Itu Oliv, kan? Bukannya dulu dia yang selalu bawa mobil mewah?"
"Iya, katanya sekarang keluarganya jatuh miskin… kasihan, ya."
"Kasihan? Ah, lebih tepatnya memalukan. Lihat saja penampilannya sekarang."
Oliv menundukkan kepala, mencoba menahan rasa sesak di dadanya. Setiap tatapan itu seperti pisau yang menusuk harga dirinya, seakan semua kenangan masa lalu yang di mana ia menjadi pusat perhatian yang hanya tinggal bayangan yang memudar.
Ia melangkah menuju kelasnya, mendengar suara tawa kecil di belakang, sadar bahwa itu bukan tawa ramah. Namun, ia menggenggam erat buku di tangannya, bertekad untuk tetap tegar meski semua orang kini memandang rendah dirinya.
Oliv hanya bisa terdiam dengan tatapan dan ejekan mereka yang mengintimidasi, ia menyadari akibatnya kembali ke sekolah lamanya.
Jika tidak karena mama, sampai mati aku tidak mau kembali, pikir Evelyn.
Tiba-tiba dari arah belakang__
Melisa berjalan mendekat bersama dua temannya, Clara dan Sinta. Tawa kecil mereka terdengar sebelum sampai di bangku Oliv, seolah sengaja membuat semua orang di kelas ikut memperhatikan.
“Wah, lihat siapa yang kembali,” kata Melisa dengan nada sinis, tangannya menyentuh bahu Oliv seolah-olah mereka akrab. “Dulu si putri minyak, sekarang… apa ya? Putri korupsi minyak?”
Clara ikut tertawa pelan. “Iya, dulu berlagak modis sekarang lihat tasnya dan seragam nya sudah ketinggalan zaman. Itu curi atau beli di pasar loak?”
Oliv memegang tasnya dengan erat mendengar hinaan itu, karena ini adalah hadiah yang diberikan dari penghasilan uang lembur kakaknya Erik.
Sinta pura-pura prihatin, menatap Oliv dengan senyum mengejek. “Eh, tapi nggak apa-apa, Liv. Semua orang bisa jatuh miskin. Cuma… nggak semua orang bisa kayak kamu kembali kemari dan mendengar candaan kami. Kamu kuat kan?”
Kelas mulai riuh oleh tawa beberapa siswa lain yang ikut menikmati adegan itu. Oliv hanya diam, menatap buku di mejanya, mencoba mengabaikan mereka meski dadanya terasa sesak.
Melisa menyandarkan tangan di meja Oliv, menunduk agar tatapan mereka sejajar. “Kalau butuh kerja sampingan, bilang aja, Liv. Aku bisa rekomendasiin kamu jadi pelayan di kafe pamanku. Lumayan, kan?”
Di tengah situasi itu, suara langkah berat terdengar dari pintu kelas. Semua orang mendadak terdiam ketika sosok yang dikenal sebagai Owen, anak orang kaya dan salah satu murid paling berpengaruh di sekolah, berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam, tertuju pada Melisa dan dua temannya.
Owen melangkah masuk dengan langkah tegas, suaranya menggema di dalam kelas yang hening.
“Hei!” bentaknya, membuat Melisa, Clara, dan Sinta langsung terloncat kaget. “Kalian nggak punya kerjaan lain selain gangguin orang?!”
Tatapannya tajam, penuh tekanan. “Kalau cuma mau pamer jadi tukang gosip murahan, keluar dari kelas ini sekarang. Atau balik ke bangku kalian sebelum aku buat kalian nyesel.”
Melisa menelan ludah, jelas terkejut karena biasanya Owen tak pernah ikut campur urusan orang lain. Clara dan Sinta saling pandang, takut, lalu perlahan menarik tangan Melisa.
“T-tapi Owen… kita cuma bercanda kok,” kata Melisa mencoba tersenyum, meski suaranya terdengar gemetar.
“Cukup,” potong Owen dingin. “Aku nggak mau denger alasan. Balik. Ke. Bangku.”
"SEKARANG! " Bentak dengan tegas.
Akhirnya mereka bertiga berjalan kembali ke tempat duduk dengan wajah merah, menahan malu karena seluruh kelas kini menatap mereka.
Owen lalu menoleh ke arah Oliv yang masih duduk diam, menatapnya sebentar tanpa berkata apa-apa. Ekspresinya sulit dibaca antara prihatin dan sesuatu yang lain. Ia hanya berkata pelan, cukup untuk Oliv dengar.
“Jangan peduliin mereka. Fokus sama sekolah. Sisanya biar aku yang urus.”
Setelah itu Owen berjalan ke bangkunya sendiri, meninggalkan suasana kelas yang sunyi dan tatapan heran semua siswa.
Owen bukan lagi duduk di belakang Oliv tapi, ia duduk disamping Oliv yang terus menatapnya dengan senyum diwajah tampannya.
Oliv bukannya senang dengan pembelaan Owen, tapi ia merasa terbebani karena mereka akan lebih intens untuk terus menganggu dirinya.
Oliv pun memalingkan wajahnya dari Owen yang terus melihat kearahnya, dan berusaha mengabaikan dirinya.
Kelas pun dimulai dengan tenang, tanpa gangguan tapi bel istirahat berbunyi.
Oliv pun keluar dari kelasnya, dengan diam-diam di ikuti oleh Melisa dan kedua temannya itu.
Saat bel istirahat berbunyi, Oliv sengaja menunggu semua siswa keluar dulu sebelum ia berdiri. Ia berjalan pelan menuju kantin, berharap tidak ada masalah lagi setelah kejadian di kelas. Tapi suara langkah kaki yang berbisik dan tawa mengejek dari belakang membuatnya sadar yaitu Melisa, Clara, dan Sinta mengikutinya.
Sebelum Oliv bisa berbelok ke arah keramaian, Melisa menarik lengannya dengan kasar.
“Ayo, kita ngobrol sebentar,” katanya dengan senyum manis yang terdengar mengancam. Clara dan Sinta langsung membantu, mendorong Oliv masuk ke lorong belakang sekolah yang sepi.
“Lepasin aku!” protes Oliv, berusaha menarik tangannya. Tapi Melisa justru mendorongnya lebih kuat hingga mereka tiba di depan pintu toilet yang jarang dipakai,tempat yang terkenal sebagai sarang masalah karena sepi dan jauh dari guru.
Begitu pintu terkunci, Clara berdiri di depan pintu, berjaga-jaga agar tak ada yang masuk. Melisa melangkah mendekat, menatap Oliv dari atas ke bawah.
“Tadi pagi kamu beruntung Owen ada di sana,” kata Melisa dengan nada dingin. “Tapi di sini? Nggak ada Owen. Nggak ada siapa-siapa.”
Sinta menyeringai. “Dulu kamu sombong banget, Liv. Sekarang giliran kamu ngerasain rasanya diinjak. Bagus, kan?”
Melisa meraih kerah seragam Oliv, menariknya hingga wajah mereka berdekatan. “Mulai hari ini, kamu belajar cara hidup sebagai ‘orang biasa’. Dan kalau kamu berani ngadu ke siapa pun…” Ia menyeringai, lalu menepuk pipi Oliv pelan. “…percayalah, kamu bakal nyesel.”
Suasana jadi semakin tegang, suara tawa ketiganya menggema di ruang sempit itu.
Oliv yang awalnya tampak diam dan pasrah, tiba-tiba menunduk… lalu tertawa kecil. Suara tawanya bergema di dalam toilet yang sepi, membuat Melisa, Clara, dan Sinta saling pandang dengan dahi berkerut.
“Apa yang lucu?” tanya Melisa tajam, masih mencengkeram kerah Oliv.
Sial!, aku sudah capek harus menghadapi pembullyan ini, pikir Evelyn.
Oliv mengangkat wajahnya perlahan, senyumnya dingin dan tatapannya menusuk. “Lucu aja… kalian pikir aku bakal gemetar cuma gara-gara tiga orang pengecut yang cuma berani main keroyokan?”
Clara mundur setengah langkah, kaget dengan perubahan sikap Oliv. Tapi Melisa menahan dirinya, mencoba tetap terlihat berani. “Jangan sok kuat, Liv. Kamu nggak punya siapa-siapa sekarang. Mau apa kamu?”
Oliv dengan cepat menepis tangan Melisa dari kerahnya, gerakannya tajam dan tegas. “Siapa bilang aku butuh siapa-siapa?” katanya dingin. “Dulu mungkin aku terlalu baik buat ngelawan orang kayak kalian. Tapi sekarang… jangan harap aku cuma diam kalau kalian sentuh aku lagi.”
Ia melangkah maju, mendekati Melisa hingga jarak mereka hanya sejengkal. Tatapannya tajam, senyumnya tipis. “Mau coba? Atau kalian bertiga cuma berani kalau nggak ada saksi?”
Clara dan Sinta jelas terlihat goyah, langkah mereka mundur perlahan. Melisa, meski berusaha tegar, terlihat kehilangan kata-kata. Suasana toilet itu kini berbalik seperti bukan lagi Oliv yang jadi korban, tapi mereka bertiga yang mulai merasa terpojok.
Oliv merapikan kerah seragamnya dengan santai. “Dengar baik-baik. Sekali lagi kalian coba sentuh aku atau bikin masalah… aku nggak cuma balas. Aku pastikan kalian bertiga nyesel seumur hidup.”
Lanjut Oliv, "cara kalian mengancam itu cupu banget!. "
Tanpa menunggu jawaban, Oliv mendorong pintu toilet dan keluar, meninggalkan mereka bertiga yang hanya bisa saling pandang dengan wajah kesal bercampur takut.
Tapi tiba-tiba saja Oliv berhenti dan mengambil seember air kotor, lalu ia membalikkan badannya dan melemparkan air kotor itu kearah mereka bertiga.
Seketika mereka bertiga berteriak, karena tubuh mereka basah karena air bekas membersihkan toilet.
Wajah mereka berkerut sambil mencium tubuh mereka dengan bau tidak sedap, Oliv hanya tersenyum dan melemparkan ember kosong itu dengan keras sehingga mengema.
"Kalian perlu di bersihkan karena mulut kalian baunya sama dengan air kotoran itu. "
Setelah mengucapkan itu Oliv pergi, dan mereka bertiga berteriak memanggil namanya dengan keras.
Oliv bukan lagi hanya diam jika diperlakukan kasar seperti itu, karena Evelyn tidak membiarkan dirinya yang menempati tubuh Oliv di perlakuan kasar seperti itu.