Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18_Dalam Hujan yang Tak Kunjung Usai
Langit sore itu menggantung kelabu, memantulkan perasaan Namira yang jenuh dan lelah. Rapat yang berlangsung hampir empat jam tidak hanya menguras energi, tapi juga membuat pikirannya terusik oleh wajah-wajah keluarganya terutama Om Rudi dan Bima yang beberapa hari terakhir terus menghantuinya.
Namira berjalan cepat menuju basement, sepatu haknya berderap di lantai semen yang lembap. Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil. Ia memasukkan kunci, mencoba menyalakan mesin.
Sekali. Dua kali. Tidak berhasil.
“Jangan sekarang,” desahnya lirih.
Di luar, hujan turun mendadak. Buru-buru ia keluar untuk mengecek bagian depan mobil, tapi tubuhnya sudah basah saat membuka kap mesin. Ia tidak mengerti banyak soal mesin mobil, dan percuma berharap bantuan dari rekan kantor yang sudah pulang lebih dulu dengan jari-jari dingin, ia meraih ponsel dan entah dorongan dari mana, ia menekan nama Sean.
***
Sean datang dua puluh menit kemudian dengan jas hujan setengah terbuka, membawa kotak peralatan kecil. Motor tuanya diparkir di dekat tiang, helmnya basah kuyup.
“Mesinnya kenapa?” tanyanya cepat.
“Aku tidak tahu,” jawab Namira, menyeka air dari wajahnya.
Sean mencondongkan tubuh ke mesin mobil, membuka beberapa bagian, mengecek aki dan kabel busi. Hujan belum juga reda, membasahi bagian belakang tubuhnya yang tidak terlindungi jas hujan.
“Kamu tidak harus datang kalau repot,” ucap Namira pelan.
Sean tidak menoleh. “Aku tidak repot.”
“Ya, tapi kamu tetap memaksakan diri datang ke sini. Seperti kamu merasa bertanggung jawab atas semua hal.”
Kata-kata itu seperti sengaja dilemparkan. Pertengkaran tempo hari belum usai dan sekarang percikan api kecil mulai terbentuk kembali.
Sean berhenti memperbaiki, menatapnya.
“Kamu marah lagi padaku?”
“Aku tidak marah.”
“Kamu bicara seperti orang yang ingin bertengkar.”
Namira mendesah, melipat tangan di dada.
“Karena aku lelah harus selalu menyesuaikan diri denganmu. Kamu selalu tenang. Selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tapi tidak pernah membiarkanku tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sean mengangkat wajahnya dari balik kap mobil. Hujan menetes di dahinya.
“Karena kamu tidak pernah benar-benar ingin tahu. Kamu menganggapku bagian dari ‘kesepakatan’. Tidak lebih dari itu.”
Namira melangkah maju, suaranya meninggi.
“Jadi ini salahku? Aku yang berusaha menjaga jarak karena semua ini hanya pernikahan kontrak, lalu kamu menyalahkanku karena tidak bisa membaca perasaanmu?”
“Aku tidak menyalahkanmu, Namira. Aku hanya... lelah.”
Namira terdiam.
Sean melanjutkan, nadanya lebih berat.
“Aku tahu posisiku. Kamu dan aku berasal dari dunia yang berbeda. Tapi setiap kali aku mencoba mendekat, kamu menutup pintu. Lalu saat aku menjauh, kamu menuduhku tidak peduli.”
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Sean...”
“Aku juga tidak tahu,” potongnya cepat.
“Kita berdua sama-sama tersesat dalam hubungan ini dan kita berdua terlalu takut untuk jujur.”
Suara hujan menjadi latar atas keheningan yang menyakitkan. Namira berdiri membeku, tubuhnya sudah setengah basah. Tangannya masih menggenggam ponsel, tapi kini tanpa tujuan.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Bima.
Sean sempat melirik layar. Wajahnya berubah, tidak meledak, tidak menunjukkan kemarahan tapi jelas sorot matanya meredup.
“Angkat saja,” katanya datar.
Namira tidak menjawab. Telepon berhenti. Lalu pesan masuk.
Aku di dekat kantor. Perlu tumpangan pulang? Hujannya deras. – Bima
Namira memejamkan mata. Sean menunduk lagi, kembali menekuni mesin yang tak kunjung menyala. Tapi tidak ada lagi kesungguhan dalam gerakannya. Ia tahu, bukan mobil itu yang rusak. Mereka berdua yang tidak lagi berjalan. Tiba-tiba suara langkah cepat terdengar.
Bima muncul dari arah lift, membawa payung besar, jasnya masih kering.
“Namira.” Suaranya tenang, berwibawa, seperti selalu.
Namira menoleh.
“Mobilku di atas. Ayo ikut. Kamu bisa kena flu kalau terus di sini.”
Sean berdiri. Ia mundur perlahan dari mobil Namira, lalu menatap keduanya. Namira ragu. Matanya berganti-ganti antara Sean dan Bima. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia melangkah ke arah Bima.
Sean tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri dalam diam saat Namira berjalan menjauh. Ia bahkan tidak mencoba menahan. Mungkin karena ia tahu, hati yang belum siap... tidak bisa dipaksa.
Bima memayungi Namira. Mereka berjalan menjauh, meninggalkan Sean sendirian di bawah kanopi hujan dan saat bayangan keduanya menghilang dari pandangannya, Sean akhirnya sadar.
Ia telah kehilangan ketenangannya. Bukan karena Namira meninggalkannya dalam hujan.
Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar ingin dimiliki oleh seseorang dan orang itu... memilih berpaling.
***
Malam itu, Sean duduk di taman bermandikan hujan, pakaiannya semakin basah. Lampu remang taman membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang ke pelataran. Di depannya, hanya bising hujan yang menemani dalam kesunyian.
Tangannya menekuk sebuah kertas kosong, jari-jarinya membentuk pola yang tak jelas. Kepalanya penuh. Penuh oleh wajah Namira yang basah hujan, penuh oleh kata-kata yang belum sempat ia ucapkan. Ia mencoba menenangkan diri. Tapi tidak bisa. Bahkan napasnya sendiri terasa berat.
Namira... telah membuka celah di hatinya, perlahan. Tanpa ia sadari, perempuan itu mengubah segalanya membuat ketenangan yang selama ini ia pertahankan runtuh begitu saja dan kini, ia hanya bisa menunggu.
Apakah Namira akan kembali?
Atau justru semakin menjauh?
***
Namira duduk di dalam mobil Bima, menatap ke luar jendela. Wajahnya tertutup bayangan. Hujan masih turun.
“Kamu tidak perlu merasa bersalah,” ujar Bima pelan, tangannya menggenggam kemudi.
Namira tidak menjawab.
“Aku hanya tidak ingin kamu disakiti oleh lelaki yang tidak bisa menjagamu.”
Namira menoleh, nadanya datar.
“Sean tidak pernah menyakitiku.”
Bima mengangguk pelan.
“Tapi dia juga tidak bisa membuatmu yakin.”
Diam.
Di dalam hati Namira, kalimat itu menggema. Ia tahu... ada kebenaran dalam ucapan Bima. Tapi juga ada ketakutan dalam hatinya sendiri bahwa ia sedang mencoba menolak apa yang sudah mulai tumbuh. Bukan karena Sean tidak cukup baik. Tapi karena dia terlalu takut terluka.
***
Hujan masih mengguyur Kota Metropolitan, malam ini sepertinya Namira memilih tidak kembali ke apartemen. Di dalam apartemen yang kosong, Sean membuka laci kecil di meja kerja. Ia menarik keluar sebuah map tua. Di dalamnya... sketsa-sketsa bangunan, desain rumah sederhana, taman kecil, dan di sudut halaman tergambar sosok perempuan berambut panjang, mengenakan dress sederhana, sedang duduk membaca buku.
Ia menatap gambar itu lama. Senyumnya pahit. Lalu perlahan, ia meremas kertas itu hingga berbentuk seperti bola tenis.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.