Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Malam itu, Leon duduk di sofa penthouse-nya, menatap hasil USG yang telah ia cetak ulang dan bingkai. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia melakukannya. Tapi gambar itu... makhluk kecil itu... entah kenapa mulai terasa nyata.
“Apa kau benar-benar anakku?” gumamnya pelan.
Ia mengingat kembali malam itu. Tatapan mata Sharon yang penuh luka. Rasa hangat kulitnya. Pelarian dan putus asa yang begitu nyata. Semua itu tidak bisa ia lupakan.
Jika Sharon memang mengandung anaknya, lalu ia menghilang ... bagaimana jika ia sakit? Bagaimana jika ia tidak bisa membayar rumah sakit? Bagaimana jika ... ia memutuskan menggugurkan anak itu?
Pikiran itu membuat dada Leon sesak dan itu membuatnya marah pada dirinya sendiri.
“Ini konyol,” desisnya. “Kenapa aku selalu kepikiran dia? Apa benar ia mengandung anakku? Aku harus bagaimana? Astaga, kenapa semua jadi rumit seperti ini?"
Tapi entah mengapa, malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Leon memimpikan seorang wanita.
Bukan wanita glamor dengan rambut pirang, serta tubuh langsing dan seksi, tapi seorang wanita bernama Sharon, yang berdiri di tepi pantai dengan rambut berkibar ditiup angin, mengenakan gaun putih panjang, dan memegang tangan dua orang anak kecil di sisi kiri dan kanannya. Salah satunya tersenyum ke arahnya, namun ... satunya lagi justru menatapnya dingin. Tatapannya penuh kemarahan dan permusuhan.
Dalam mimpi itu, Leon berlari, berusaha mendekat, tapi ... dalam sekejap kedua orang itu justru menghilang bagai buih yang tersapu ombak.
"Jangan pergi ...."
---
Leon terengah. Mimpi itu bagaikan nyata. Akibat mimpi itu, Leon tak dapat memejamkan matanya lagi. Kepalanya sakit. Keringat bercucuran. Jantungnya pun berdebar kencang, seakan baru saja berlari ratusan kilo meter.
"Mimpi itu? Kenapa aku memimpikannya? Lalu ... siapa dua anak kecil itu? Tidak mungkin kan mereka anakku sementara Sharon saja belum lama mengandung," gumamnya kebingungan sendiri sambil menggaruk kepala yang gatal karena berkeringat.
***
Keesokan harinya, Leon mendatangi rumah ibunda Sharon. Ia tidak tahu apa yang membuatnya melakukan hal itu. Ia bahkan belum pernah mengunjungi rumah wanita manapun dalam hidupnya tak terkecuali untuk urusan bisnis.
Rumah itu sederhana. Berada di kawasan pinggiran Jakarta. Ada taman kecil di halaman depan, beberapa pot bunga, dan suara kicau burung dari dalam kandang.
Seorang wanita berusia sekitar lima puluhan membuka pintu. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, namun sorot matanya jernih dan meneduhkan.
Wanita tua itu duduk di kursi yang ada di teras. Dari dalam muncul wanita yang sepertinya seumuran dengan wanita yang tak lain adalah ibu Sharon itu. Ia membawakan sarapan untuknya setelahnya berpamitan masuk.
Leon turun dari dalam mobil kemudian masuk ke pekarangan kecil rumah itu. Ibu Sharon yang melihat seseorang masuk ke pekarangannya pun menoleh. Ia menyipitkan mata saat melihat tubuh tegap Leon mendekat.
“Selamat pagi. Maaf mengganggu, Nyonya. Perkenalkan, nama saya Leonardo Reynaldi. Saya ... teman Sharon," ucap Leon memperkenalkan dirinya pada ibu Sharon.
Mata Maya menyipit, tak pernah mendengar nama itu selama ini. Selama ini, teman Sharon hanya Mischa. Sementara Farel adalah mantan kekasih Sharon. Sharon tidak menceritakan tentang perselingkuhan Farel dan Ivana. I tak mau ibunya kembali terpuruk setelah mendengar apa yang terjadi. Sharon hanya menceritakan kalau ia dan Farel telah putus karena perbedaan prinsip. Maya sebenarnya sedikit menyayangkan karena hubungan mereka sudah terjalin kurang lebih dua tahun. Hanya saja, ia tak bisa berbuat banyak. Yang menjalani hubungan adalah keduanya. Bila Sharon tidak cocok, mau bagaimana lagi. Tidak mungkin kan memaksakan hubungan yang tidak memiliki kecocokan sama sekali?
“Teman? Tapi saya tidak pernah mendengar Sharon menyebutkan namamu," ucap Maya jujur.
"Em, itu ... kami memang belum lama saling berkenalan."
"Oh. Pantas saja. Jadi ada keperluan apa mencari Sharon?"
"Apa Nyonya tau, di mana Sharon? Sudah beberapa Minggu ini, saya kesulitan menghubunginya."
Maya menghela nafas panjang. "Sejujurnya saya pun tidak tau di mana keberadaan Sharon. Hanya saja, sebelum berangkat ia mengatakan ada tawaran pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi di luar kota. Sharon pun mengambil pekerjaan itu. Itu semua dilakukan Sharon untuk membiayai pengobatanku."
Ibu Sharon pun menceritakan tentang penyakitnya yang membutuhkan biaya besar untuk pengobatan. Maya merasa sedih karena telah membuat putri semata wayangnya itu harus bekerja keras demi pengobatan dirinya.
Leon tertegun. Ia memang masih mengingat apa yang Sharon ceritakan saat mabuk malam itu. Namun, ia baru tahu kalau hidup Sharon jauh lebih sulit daripada itu.
Sharon. Sosok wanita yang tak hanya cantik, tapi juga tangguh. Leon jadi semakin tak sabar ingin menemukan keberadaannya.
Sebelum pulang, Leon berdiri di depan rumah itu selama beberapa saat. Tak pernah sebelumnya ia merasa sebegitu tak berdaya.
"Tunggu aku. Aku pasti akan menemukanmu."
***
Di dalam mobilnya, ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menutup mata.
Di dunia bisnis, Leon Reynaldi adalah raja.
Tapi di hadapan seorang wanita bernama Sharon yang kini menghilang entah ke mana, ia hanya seorang pria biasa yang tidak tahu bagaimana caranya menebus kesalahan atau memulai sesuatu yang lebih dari sekadar pelarian.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, bukan ditaklukkan.
Dan ia tahu, hanya Sharon yang bisa menunjukkan itu padanya.
Tapi bagaimana kalau wanita itu tidak pernah kembali? Bagaimana kalau Sharon memutuskan membesarkan anak itu seorang diri, tanpa memberinya kesempatan kedua?
Leon membuka matanya dan menatap lurus ke depan.
“Tidak,” katanya pelan. “Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.”
Ia meraih ponsel dan menghubungi Eric.
“Temukan dia. Di mana pun dia berada.”
Suara Eric terdengar tegas. “Siap. Laksanakan.”
"Satu lagi ...."
"Ya."
"Kirim orang untuk mengawasi rumah orang tua Sharon. Suruh mereka awasi setiap pergerakan yang menurut mereka mencurigakan dan segera laporkan padaku," imbuhnya melanjutkan.
"Baik. Ada lagi?"
Bukannya menjawab, Leon justru mematikan panggilan itu membuat Eric yang berada di seberang sana mengomel.
"Sialan! Main tutup panggilan aja. Dasar bos menyebalkan."
Brakkk ....
"Aduh!"
Karena sibuk mengomel, Eric pun tanpa sadar menabrak salah seorang staf perusahaan saat keluar dari dalam lift.
"P-pak Eric ... Maaf, maafkan saya, Pak! Saya benar-benar tidak sengaja," ujar wanita itu ketakutan. Apalagi saya matanya bersirobok dengan sorot mata tajam Eric.
"Kalau jalan hati-hati!" ucapnya padahal dia yang menabrak, tapi dia yang mengomel.
"Baik, Pak. Sekali lagi, maafkan saya."
Tak menjawab, Eric pun berlalu begitu saja dari hadapan perempuan itu.
"Ah, hampir saja!" gumamnya. Tiba-tiba ponsel perempuan itu berdering. Melihat nama yang terpampang, perempuan itu pun segera menyunggingkan senyum.
"Halo, Sha ... Akhirnya kau menghubungiku juga."
Bersambung
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho