Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 DBAP
Sepanjang perjalanan menuju lobi, Naya tak henti-hentinya bertanya dalam hati tentang perubahan sikap Arsen. Lelaki itu begitu berbeda terlalu berbeda dari sebelumnya. Bahkan saat Naya merasa lelah dan tak sanggup melangkah, Arsen tanpa ragu memanggilkan kursi roda, lalu mendorongnya sendiri, tanpa memberi ruang untuk penolakan.
Selama ini, tak banyak orang yang benar-benar peduli padanya. Maka, perlakuan sekecil apa pun yang mengandung kebaikan, selalu ia simpan rapat-rapat di hati. Sama seperti dulu, ketika Nisa memberinya sepotong roti dan susu. Hanya karena itu, Naya menjadikan Nisa sahabat terbaiknya hingga sekarang.
Dan kini... Arsen memperlakukannya seolah ia adalah sesuatu yang berharga, seperti batu permata. Bagaimana Naya bisa membalas semua itu?
"Paman... Biar perawat saja yang dorong sampai lobi," ucap Naya pelan, mencoba menjaga jarak.
"Tidak perlu. Ada aku, kenapa harus orang lain?" jawab Arsen tanpa ragu.
"Tapi, Paman..."
"Tidak usah pakai 'tapi', Nay. Selama aku ada, aku yang akan jagain kamu," sahut Arsen, nada suaranya lembut namun pasti.
Hati Naya bergolak. Ia tak lagi bisa menahan rasa penasaran yang mengganjal. Bibirnya akhirnya membuka, meski gugup.
“Paman... Apa akhir-akhir ini salah minum obat?”
Arsen mengernyit, sedikit tertawa heran. “Salah minum obat? Setahuku aku sehat. Kenapa harus minum obat?”
“Bukan begitu maksudku…” Naya menunduk, jemarinya menggenggam kain bajunya sendiri. “Kenapa Paman berubah? Semakin hari… semakin beda.”
“Berubah? Bukannya itu hal baik? Atau kamu lebih suka aku tetap jadi pria dingin yang selalu nyari masalah sama kamu?”
Naya menggeleng pelan. “Bukan itu. Aku cuma… merasa aneh. Paman terlalu baik sekarang. Padahal, Paman itu cuma…”
“Nay…” suara Arsen merendah, serius. “Aku ini suami sah kamu. Pernikahan kita dilindungi hukum dan agama. Wajar kalau aku ingin memberi yang terbaik buat istri sendiri, kan?”
Naya menghentikan roda kursinya. Ia menoleh, menatap Arsen yang berdiri di belakangnya. Wajahnya serius, suara gemetar menahan emosi.
“Paman… Semua ini, apa cuma bentuk tanggung jawab karena pernikahan itu? Karena bayi ini? Karena kesalahan Zayan?”
Arsen terdiam. Tak menjawab. Sorot matanya menyiratkan kebingungan yang tak bisa ia ucapkan.
“Kalau iya…” lanjut Naya, suaranya mulai bergetar. “Tolong, Paman... buat pembatas yang jelas. Jangan beri aku harapan, lalu biarkan aku jatuh ke lubang yang sama. Aku hanya ingin mandiri. Aku ingin belajar berdiri sendiri, karena cepat atau lambat... kita pasti akan berpisah. Jadi... jangan perlakukan aku seolah aku ini batu permata.”
Setiap kata yang keluar dari bibir Naya seperti menghantam dada Arsen. Tapi ia tetap diam. Tidak karena tak ingin menjawab, melainkan karena ia tahu... jawaban yang sebenarnya belum siap ia ucapkan.
Dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin menggenggam tangan Naya dan berkata bahwa Naya kini adalah wanita spesial untuknya. Wanita yang bisa mengandung darah dagingnya, satu-satunya penerus yang selama ini tak pernah ia bayangkan akan ada. Keajaiban kecil yang tak pernah ia minta, tapi kini tak ingin ia lepaskan.
Namun mulutnya tetap terkunci. Dan dalam diam, ia hanya kembali mendorong kursi roda itu, menunduk, menyembunyikan guncangan dalam dadanya.
Tak jauh dari rumah sakit, di balik tembok parkiran yang sepi, seorang pria berdiri dengan tubuh setengah tersembunyi oleh bayangan. Pandangannya tajam mengarah ke pintu keluar rumah sakit, tepat ke arah Arsen dan Naya.
“Kamu yakin... anak dalam kandungan perempuan itu milik Arsen?” tanyanya datar, tanpa menoleh pada sosok perempuan berseragam putih di sampingnya.
Perawat itu mengangguk. “Saya mendengarnya sendiri. Dokter Arsen bicara pada dokter Dito. Dia bilang anak itu anaknya. Dan setelah pertengkaran besar dengan pria bernama Zayan… sudah jelas.”
Tangan pria itu terkepal sempurna. Rahangnya mengeras.
“Aku akan mengirim bagianmu seperti biasa,” ucapnya dingin.
Perawat itu tersenyum kecil. Matanya bersinar penuh harapan, seakan uang adalah tiket menuju hidup yang ia idamkan.
Namun tatapan lelaki itu justru gelap. Dingin. Penuh amarah tak terima.
“Tidak bisa,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkan Arsen memiliki anak itu.”
***
Arsen dan Naya akhirnya sampai di lobi rumah sakit. Langkah mereka sempat terhenti ketika melihat dua mobil berbeda sudah terparkir rapi di depan pintu utama. Dan bersamaan dengan itu, dua orang muncul hampir serempak dari sisi yang berbeda.
“Naya!” sapa Nisa dengan senyum cerah, sedikit berlari menghampiri.
“Ar,” panggil Dito, menyamakan langkahnya dengan ekspresi percaya diri yang khas.
Namun, senyum mereka langsung pudar saat saling menyadari kehadiran satu sama lain. Tatapan mereka beradu tajam seolah tengah mempersiapkan duel tak kasat mata demi satu tujuan, mengantar Arsen dan Naya pulang.
“Eh… Itu mobil sewaan, kan?” serang Dito sambil menunjuk ke arah mobil yang dibawa Nisa. “Jadi lebih baik kamu pergi saja. Arsen itu sahabatku. Aku akan antar dia pulang pakai mobil pribadi. Aman, nyaman, anti sewa-sewa club.”
Nisa mengepalkan tangan. Wajahnya menegang. Masih segar dalam ingatannya kejadian memalukan waktu lalu. Refleks, tangannya nyaris menyentuh bibir yang tersembunyi di balik masker, tapi ia cepat-cepat menghentikan diri dan melipat tangan di dada, menatap Dito dengan pandangan mencemooh.
“Kalau mobil masih kredit, gak usah sok pamer. Naya juga sahabatku. Dan meskipun mobil ini sewaan, setidaknya udah terjamin aman. Gak seperti mobil kamu yang udah tua sama kayak pemiliknya!”
Dito tersenyum sinis. “Tua? Kredit? Heh... Kalau mobilku bisa ngomong, dia bakal teriak, ‘Cash! Cash! Full cash!’ Gak kayak barang-barang di rumahmu pasti mereka udah hafal mantra, ‘Dit... dit... dit... kredit!’”
Nisa memasang ekspresi datar, lalu tertawa tipis penuh sindiran. “Hahaha... Lucu? Enggak.”
“Siapa juga yang bilang itu lucu?” balas Dito dengan nada tinggi, bingung sendiri.
“Nah, barusan kamu yang bilang,” jawab Nisa cepat, lalu tanpa menunggu respons, ia mencuri start dan berlari kecil ke arah Naya. “Nay, aku yang antar kamu pulang ya!”
Dito mendengus, membuang napas keras-keras. Ia juga langsung bergerak maju. “Ikut mobilku saja, Ar. Aku siap jadi sopir pribadi dua puluh empat jam nonstop!”
Arsen memejamkan mata sejenak, menghela napas dalam-dalam. Suasana yang tadi sudah cukup menegangkan dan ia ingin menjauh dari kebisingan yang akan ditimbulkan Dito, selain itu ia ingin tetap di samping Naya.
“Mana kunci mobilnya,” ucapnya pendek.
Dito terperanjat. “Ar... Aku yang nganterin. Ini aman, kok!”
Arsen menoleh perlahan dengan tatapan datar yang bikin bulu kuduk merinding. “Kalau kamu masih berisik, aku masih punya wewenang ubah jadwalmu jadi jaga dua puluh empat jam di ruang operasi. Mulai hari ini. Tertarik?”
Dito langsung menelan ludah dan menyerahkan kunci mobilnya tanpa perlawanan. “Silakan…”
Arsen lalu berbalik ke arah Nisa. “Kamu Nisa, kan? Terima kasih sudah repot-repot menjemput. Tapi Naya masih butuh istirahat, jadi biar aku sendiri yang mengantar. Sekali lagi, terima kasih.”
Tak menunggu tanggapan, Arsen langsung mendorong kursi roda Naya ke arah mobil. Gerakannya sigap, dingin, dan tak menyisakan ruang untuk dibantah.
“Nay—” panggil Nisa, tapi langkah Arsen tak melambat.
Dengan satu gerakan mantap, Arsen membungkuk, lalu mengangkat tubuh Naya ke dalam mobil seperti tak berat sama sekali. Gerakannya lembut namun tegas. Naya pun tak sempat menolak ataupun menoleh ke belakang. Pintu ditutup, mesin menyala, dan dalam hitungan detik, mobil itu meluncur meninggalkan pelataran rumah sakit.
Dito dan Nisa hanya bisa berdiri terpaku, menatap debu knalpot yang masih melayang-layang di udara, seolah menari dalam keheningan yang menggantung.
“Mereka... pergi?” gumam Dito, suaranya nyaris tak terdengar.
“Udah jelas, masih aja nanya. Pentium satu banget sih,” sindir Nisa sambil menyilangkan tangan.
Dito memutar badan, menunjuk ke arah Nisa dengan ekspresi tak terima. “Hei, kau—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, beberapa pria berbadan tegap tiba-tiba muncul dari bayangan tiang parkir. Gerakan mereka cepat dan terlatih. Dalam hitungan detik, Dito dan Nisa sudah ditangkap tanpa peringatan, kedua tangan mereka diapit sebelum sempat melawan.
“Apa-apaan ini?!” teriak Dito, berusaha melepaskan diri.
“Lepasin! Percaya atau gak aku bisa bikin kalian dihukum karena menyakitiku,” protes Nisa.
Namun tak ada yang menggubris. Mereka hanya dibungkam oleh sorot mata dingin para pengawal itu, lalu digiring masuk ke dalam sebuah mobil hitam dengan kaca gelap yang tampak tak asing. Mesin menyala tanpa suara, dan pintu tertutup rapat di belakang mereka.
terimakasih