Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
liontin yang hilang
Hari selanjutnya,
Di kediaman keluarga Danu,
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar Danu, membuat ruangan itu perlahan-lahan diterangi warna keemasan. Danu terbangun lebih awal dari biasanya, meski semalam ia sempat tidur agak larut. Pikiran tentang sang Adik terus menghantui benaknya, membuat tidurnya tidak pernah benar-benar lelap.
Danu duduk di tepi ranjang, meraih ponsel dari meja kecil di samping tempat tidur. Tidak ada pesan baru dari Nadia. Ia menghela napas, kemudian berdiri dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Jalanan kecil di depan rumahnya masih sepi, hanya ada suara burung-burung pagi yang berceloteh riang.
Tak lama, Galang datang, mengetuk pintu sambil membawa dua bungkus sarapan yang dibelinya di warung dekat gang.
"Nu, sarapan dulu, yuk," serunya.
Danu membuka pintu dengan lesu. "Thanks, Lang... Lo beneran bangun pagi buat ini?"
Galang nyengir. "Gue nggak bisa tidur juga, Nu. Sama kayak lo, mikirin Nadia."
Mereka berdua duduk di ruang tamu. makan dalam diam. Sesekali hanya terdengar suara sendok menyentuh piring.
"Ada firasat aneh aja, Lang," gumam Danu tiba-tiba. "Entah kenapa, gue ngerasa kayak... harus jemput Nadia lebih cepat."
Galang mengangkat alis. "Padahal lo denger sendiri kata panitia, camping selesai besok siang."
Danu mengangguk, mengunyah sisa makanan di dalam mulutnya "Iya, tapi... gue nggak tahu, Lang. Ada yang aneh. Waktu itu juga, pas di warung, lo denger kan cerita si kakek itu? Dan sekarang malah makin nggak enak perasaan gue."
Galang termenung, lalu menepuk bahu Danu santai. "Tenang, Nu. Kita jemput aja sore ini, gimana? Paling nggak kita bisa lihat keadaannya. Kalau aman, ya udah, kita tinggal balik lagi."
Danu mengangguk pelan. "Oke. Sore ini, ya."
Mereka berdua lalu melanjutkan sarapan, kali ini dengan obrolan seadanya. Tapi di hati masing-masing, ada kegelisahan yang sama, rasa cemas akan sesuatu yang belum mereka mengerti.
Selesai sarapan, Danu langsung berdiri dari kursinya. Wajahnya serius, seolah sudah membuat keputusan besar.
"Lang, gue mau mulai packing. Gue bawa baju ganti juga," katanya tanpa banyak basa-basi.
Galang mengangkat alis. "Baju ganti? Emang niat mau nginep di sana?"
Danu hanya mengangguk. "Entah kenapa... gue ngerasa bakal butuh. Kalau ternyata Nadia belum bisa pulang atau ada apa-apa, gue mau tetap di sana nemenin dia."
Galang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Awalnya dia merasa itu terlalu berlebihan. Tapi setelah mengingat perasaan nggak enak yang ia rasakan sejak kemarin, akhirnya dia mengangguk juga.
"Yaudah, gue ikut siapin baju juga. Siapa tau beneran butuh," ujarnya.
Mereka pun akhirnya melangkah bersama ke arah kamar Danu.
Lebih dulu Danu membuka lemari kecil di sudut kamarnya, mengeluarkan ransel lusuh yang biasa ia pakai untuk perjalanan jauh. Tangannya lincah memasukkan beberapa potong kaos, celana panjang, jaket tipis, juga perlengkapan seadanya seperti charger dan senter kecil.
Namun saat ia hendak menutup ranselnya, sesuatu melintas di pikirannya.
"Liontin..." batinnya. "Liontin dari Nyai Laras."
Danu ingat betul, ia pernah menyelipkan benda itu di antara tumpukan bajunya, di laci bagian bawah. Hanya berjaga-jaga. Ia bahkan sengaja membungkus liontin itu dengan kain kecil berwarna hitam, agar tidak sembarangan terlihat orang lain.
Tiba-tiba rasa khawatir mencengkeram dadanya.
Danu buru-buru membongkar kembali laci tersebut. Satu per satu baju dikeluarkan, dilipat kasar ke lantai. Matanya bergerak cepat, mencari kain hitam kecil itu.
Tapi… nihil.
Keningnya mulai berkeringat. Ia mengaduk-aduk lebih cepat, bahkan sampai menarik semua isi laci ke luar, membuat lantai kamarnya berantakan. Napasnya mulai memburu.
“Nggak mungkin... harusnya masih ada di sini!“
Danu berdiri, lalu meneliti seisi kamar. Ia membuka tas-tas lama, memeriksa di balik bantal, bahkan menunduk di bawah tempat tidur. Tapi tetap saja, liontin itu... hilang.
Dia berdiri kaku, menatap laci yang kosong dengan perasaan bercampur aduk: terkejut, panik, dan bingung.
“Apa ada yang berani menggeledah lemari ku? Tapi siapa? Galang? Tidak mungkin. Dia tidak akan mau menyentuh privasi orang lain. Apa Mama dan Papa? Tapi itu semakin tidak mungkin lagi..."
Danu menghela napas berat. Ia sempat berpikir untuk menceritakannya pada Galang, tapi buru-buru membatalkan niat itu. Sejak awal, Danu memang tidak pernah menceritakan soal liontin itu pada siapa pun, bahkan pada Galang. Tentang kejadian di lereng bersama Nyai Laras pun selama ini hanya ia simpan sendiri.
“Kalau gue kasih tau, malah makin ribet...“ pikirnya.
Akhirnya dengan berat hati, Danu membereskan kembali pakaiannya ke dalam ransel. Sekilas, ia sempat melirik ke arah jendela yang terbuka sedikit, seolah berharap liontin itu entah bagaimana bisa kembali muncul begitu saja.
Tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya suara angin tipis yang membawa aroma dedaunan sekitar.
Tak lama, Galang menoleh kearah Danu yang masih duduk di depan lemari pakaian.
"Nu, gue udah selesai. Lo gimana? Butuh bantuan?"
Danu menggeleng pelan. "Ngga usah, Lang. bentar lagi juga beres"
Saat ransel mereka hampir penuh, terdengar suara langkah kaki ringan dari koridor. Danu dan Galang yang sedang sibuk menata barang langsung menoleh bersamaan. Di ambang pintu kamar, berdiri Mama Danu, mengenakan daster santai, wajahnya penuh tanya.
"Kalian ngapain? Mau pergi kemana pagi-pagi udah sibuk packing begini?" tanya Mama sambil bersandar di kusen pintu.
Galang yang mulanya hendak menjawab, refleks membuka mulut, "Kami mau—"
Namun belum sempat kalimat itu keluar lengkap, Danu cepat-cepat memotong.
"Mau nengok Nadia, Ma," katanya, berusaha terdengar santai. Ia tersenyum kecil, meyakinkan.
Mama Danu mengernyit heran. "Nengok Nadia? Bukannya adikmu lagi acara sekolah, Nu?"
Danu mengangguk cepat, menahan napas agar wajahnya tetap terlihat biasa saja. "Iya, Ma. Cuma... kangen aja. Kan lokasinya nggak terlalu jauh. Sekalian mau lihat-lihat tempatnya."
Galang sempat melirik ke arah Danu, memahami kode yang tersirat. Ia langsung mengurungkan niat untuk bicara soal lokasi camping yang sebenarnya di tengah hutan, tempat yang cukup terpencil dan... sedikit membuat khawatir jika sampai diceritakan secara gamblang.
Mama Danu masih menatap mereka berdua dengan alis bertaut, seakan merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi akhirnya beliau hanya menghela napas pendek.
"Jangan ganggu kegiatan adikmu, ya. Dia kan di sana bawa nama sekolah."
"Iya, Ma, tenang aja. Kami cuma mau lihat-lihat sebentar," jawab Danu sambil tersenyum, meski hatinya terasa sedikit berat karena harus menutupi kekhawatiran sebenarnya.
"Kalau gitu jangan lupa bawa minum sama jaket. Disana pasti dingin, apalagi kalau sore," pesan Mama sambil membalikkan badan, lalu melangkah pergi menuju dapur.
Begitu Mama pergi, Galang mendesah lega.
"Nyaris aja tadi," gumam Galang setengah berbisik.
Danu hanya mengangguk pelan, mengancingkan ranselnya dengan gerakan tegas. "Gue nggak mau Mama makin khawatir. Udah cukup satu orang aja yang gelisah."
Galang menepuk pundak sahabatnya itu. "Santai. Sore nanti kita berangkat. Semua bakal baik-baik aja, Nu."
Mereka saling bertukar pandang sejenak, dalam diam membungkus perasaan gelisah masing-masing.
*****
Skip sore harinya,
Senja mulai turun perlahan. Langit berubah pelan dari biru cerah ke jingga keemasan. Danu dan Galang melaju di atas mobil yang sama, mobil yang kemarin ia tumpangi untuk mengantarkan Nadia. Mesin mobil berdengung stabil, membelah jalanan yang mulai sepi.
Perjalanan sore ini terasa sedikit berbeda dibanding saat Danu dan Galang pertama kali mengantar Nadia ke lokasi camping.
Meski mereka sudah pernah lewat sini, Danu memutuskan mengambil rute pemotongan yang lebih cepat, berdasarkan saran salah satu warga saat mereka berhenti sebentar membeli bekal di warung tadi.
Namun karena jalur ini lebih kecil dan tak sejelas jalan utama, ada beberapa tikungan yang membuat Danu harus memperlambat mobilnya.
"Nu, ini bener jalannya kan?" tanya Galang sambil melirik ke jendela, melihat rimbunnya pepohonan di kanan-kiri.
"Iya, ini jalur potong. Kata Ibu-ibu penjaga warung tadi, jalur ini lebih cepat. Cuma harus hati-hati," jawab Danu, matanya awas memperhatikan jalan berbatu yang semakin menanjak.
Galang mengangguk pelan. "Oh... pantes. Gue kira kita nyasar, hehe."
Mobil perlahan melaju di antara pepohonan yang mulai merapat. Cahaya sore menembus celah daun, menciptakan bayangan panjang di jalanan tanah itu.
Tak lama kemudian, Danu mulai melihat area terbuka dengan beberapa mobil lain terparkir rapi di sana.
Suara anak-anak bercanda dan tawa kecil mulai terdengar samar-samar di kejauhan, bercampur dengan aroma asap kayu bakar. Danu mempercepat sedikit laju mobilnya.
"Nyampe juga..." gumamnya.
Danu akhirnya menghentikan mobil, mematikan mesin, dan menghela napas panjang.
Mereka turun dari mobil, tanpa membawa tas yang tadi dia siapkan. Danu mengunci pintu mobil dengan remote, lalu menepuk bahu Galang. "Ayo kita cari Nadia."
Galang mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang aneh... sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Tapi melihat semangat Danu, ia memilih untuk diam.
Udara di sekitar terasa lebih lembap. Aroma hutan, tanah basah, dan kayu bakar bercampur memenuhi hidung mereka. Jauh di depan, tampak tenda-tenda berdiri berjejer, dan kerumunan anak-anak yang sibuk dengan kegiatan mereka.
Sambil berjalan, Danu mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok adiknya di antara kerumunan peserta camping. Sesekali ia harus menahan langkah karena ada anak-anak kecil berlarian melewati mereka.
"Lo lihat Nadia, Lang?" tanya Danu sambil tetap mengedarkan pandangan nya.
"Belum," jawab Galang, dengan pandangan yang juga masih sibuk menelusuri tenda demi tenda. "Coba kita tanya pembina deh."
Mereka mendekati salah satu meja logistik yang dijaga oleh beberapa kakak pembina. Seorang pria berjaket outdoor dan mengenakan topi lebar menghampiri mereka.
"Selamat sore, Mas. Ada yang bisa dibantu?" sapa pria itu ramah.
Danu membalas senyum kecil. "Sore, Kak. Saya Danu, kakaknya Nadia. Salah satu siswi yang ikut camping di sini. Kalau tidak salah dia juga menjadi salah satu anggota OSIS di sekolah nya. Saya mau izin lihat-lihat dulu... sekalian mau jemput dia besok."
"Ohh, Nadia ya. Iya, dia sama kelompok cewek di sisi utara lapangan," jawab pembina itu sambil menunjuk ke arah barisan tenda di pinggir hutan kecil. "Mas jalan lurus ke sana, nanti kelihatan tendanya."
"Terima kasih, Kak," balas Danu sopan.
Mereka berdua kemudian melanjutkan langkah dengan lebih ringan. Tapi tetap saja, Danu tidak bisa mengusir rasa gelisah di dadanya. Apalagi sejak kehilangan liontin itu, hatinya makin tidak enak.
Saat hampir sampai ke deretan tenda, Danu melihat sekelompok anak perempuan sedang duduk mengelilingi api kecil. Beberapa sibuk bercanda, sementara yang lain memasak dengan peralatan seadanya.
Dan di sana, di antara mereka, Danu menemukan sosok yang dikenalnya—Nadia.
Nadia tampak lebih cerah, tertawa bersama teman-temannya. Ada kelegaan luar biasa yang langsung memenuhi dada Danu saat melihatnya.
"Nu... itu si Nadia," tunjuk Galang dengan nada lega juga.
Danu mengangguk. "Iya. Syukurlah dia kelihatan baik-baik aja."
"Yaudah, tunggu apa lagi? ayo kita kesana"
"Tunggu bentar lagi, Lang... biar acaranya selesai, baru kita samperin," ucap Danu yang memilih menahan diri dulu. Ia ingin memastikan semua berjalan wajar, tidak mau langsung membuat kegaduhan atau mengganggu acara Nadia.
Galang mengangguk setuju, ia ikut berdiri di samping Danu, memperhatikan dari kejauhan.
Tapi saat itu juga, di sela riuhnya suara anak-anak, Danu merasa lagi-lagi ada sesuatu yang menarik perhatiannya, sesosok bayangan putih di antara pepohonan di sisi hutan, seolah mengamati mereka.
Ia sempat memicingkan mata, berusaha memastikan apa itu.
Namun saat ia berkedip, bayangan itu sudah lenyap, seakan tidak pernah ada.
Danu menghela napas panjang, mencoba menepis pikiran buruk. Yang terpenting sekarang, Nadia terlihat baik-baik saja.