Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

surat wasiat aneh

Hujan deras mengguyur kota saat Danu pulang dari kampus menuju kontrakannya yang sempit di pinggiran kota. Hawa dingin menusuk, dan tubuhnya yang lelah makin terasa berat setelah seharian mengerjakan tugas serta shift jaga di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Tak disangka, malam itu hidupnya berubah.

Di depan pintu rumah, ia melihat amplop cokelat tua, basah terkena cipratan air hujan. Tertulis di sana dengan tinta hitam yang sedikit luntur:

"Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian."

Awalnya Danu mengira itu dari dosen atau senior yang suka iseng, tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Ia masuk, mengeringkan diri, lalu duduk di lantai karpet tipis ruang tengah sembari membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah surat beraroma melati, ditulis tangan dengan huruf sambung yang rapi.

“Kepada Danu, Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu. Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini. Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat, meski kamu mungkin tidak mengingatnya.

Hormatku, Nyai Laras.“

Jantung Danu berdetak lebih cepat. Apa ini semacam lelucon? Ia tak pernah menikah, bahkan tidak sedang dalam hubungan dengan siapa pun. Tapi keesokan harinya, dunia makin kacau.

Seorang pria datang ke kontrakannya, mengenalkan diri sebagai notaris. Ia menunjukkan surat warisan lengkap dengan cap hukum dan akta pernikahan. Semuanya menyebut Danu sebagai suami dari Nyai Laras, usia 60 tahun. Danu nyaris tertawa melihatnya, tapi wajah serius sang notaris membuatnya sadar, ini bukan lelucon! Semua dokumen sah!

Dengan rasa bingung dan penasaran, Danu memutuskan untuk mengikuti alamat dalam surat. Desa Pagarjati terletak sekitar tujuh jam perjalanan dari kota, tersembunyi di balik bukit dan perkebunan teh.

Saat ia tiba, suasana desa seperti terjebak di masa lampau. Rumah-rumah kuno, jalan setapak dari batu, dan penduduk yang semuanya menyambut Danu dengan senyum aneh.

"Itu dia, suaminya Nyai Laras..."

"Masih muda... tapi katanya memang sudah dijodohkan sejak lama..."

Bisik-bisik menyertai setiap langkahnya. Sampai pada akhirnya Danu tiba di sebuah rumah besar berarsitektur Jawa kuno. Angin sore meniup harum bunga melati dari halaman depan.

Pintu terbuka sendiri.

Rumah itu seolah telah menantinya.

Langkah Danu terasa berat saat memasuki rumah besar itu. Lantainya dari kayu jati yang berderit pelan di bawah tapak sepatunya yang basah. Aroma kayu tua dan dupa samar menyambutnya, bercampur dengan wangi melati yang lebih kuat dibanding dari luar. Seolah rumah itu masih hidup, dan sedang menghela napas.

"Selamat datang, Mas Danu..."

Sebuah suara lembut tapi dalam menyambutnya dari ujung lorong. Di sana berdiri seorang perempuan tua dengan rambut disanggul rapi, mengenakan kebaya cokelat muda dan kain batik. Usianya sekitar enam puluh, tapi ada sesuatu dari sorot matanya yang tajam, seolah ia mengenal Danu jauh lebih dalam dari sekadar nama.

Danu terdiam. Dadanya sesak oleh pertanyaan yang berjejeran

"Bu... Ibu siapa?" tanyanya, mencoba sopan meski nada gugup tak bisa disembunyikan.

"Aku... istrimu. Laras," jawabnya sambil tersenyum. "Kita sudah menikah, dan sekarang kamu pulang. Ini rumahmu juga."

Danu nyaris tertawa jika saja tubuhnya tidak terasa kaku. Otaknya menolak menerima kalimat itu mentah-mentah. Tapi matanya tak bisa menghindari kenyataan. Perempuan ini bicara dengan keyakinan penuh, dan segala hal sejak surat itu datang... terasa terlalu nyata.

"Ibu, saya rasa ini ada kesalahan. Saya belum pernah menikah. Saya masih kuliah... saya—"

"Aku tahu kamu tidak ingat, Mas Danu. Tapi tak apa. Ingatan bisa kembali. Atau tidak. Yang jelas, kamu sudah di sini. Dan kamu akan tinggal di sini."

Senyumnya tetap tenang. Tapi ini justru menyeramkan dimata Danu karena tenangnya itu... seperti sudah memprediksi setiap kata yang akan Danu ucapkan.

Tiba-tiba langkah kaki cepat terdengar dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya, mungkin sekitar empat puluh lima tahun, muncul sambil membawa nampan teh dan kue kering.

"Silakan duduk dulu, Mas. Saya Sarti. Bantu-bantu di sini sejak lama," ucapnya ramah, meski tatapannya tak kalah tajam dari Nyai Laras.

Dengan bingung dan tubuh lelah, Danu duduk di kursi kayu ukir besar yang terasa asing, terlalu megah baginya. Tatapannya menyapu seisi ruangan. Banyak lukisan tua, foto hitam putih, dan hiasan antik. Di salah satu lukisan, tampak sosok perempuan muda, mirip Nyai Laras, tapi jauh lebih muda dan cantik. Berdiri di samping seorang pria muda yang... membuat napas Danu tercekat.

Itu wajahnya.

Atau seseorang yang sangat mirip dengannya.

Ia bangkit dan mendekat. Kain lukisan mulai mengelupas, tapi bentuk wajah pria muda itu... seperti melihat dirinya sendiri, dengan sedikit gaya potongan rambut tahun 80-an.

"Itu siapa?" tanyanya Danu cepat, berusaha terdengar biasa.

Nyai Laras mendekat. "Itu kamu. Dulu."

"Tapi ini... lukisan lama, bukan?"

"Iya. Sudah lama sekali."

Danu berusaha tertawa, tapi tidak ada suara keluar. Tenggorokannya terasa kering.

Tak lama dari itu, Laras menunjukan jalan menuju sebuah ruangan asing yang tak jauh dari posisi mereka. Danu tidak banyak pertanyaan dan memilih untuk mengikuti langkah Laras.

Sampai pada akhirnya keduanya tiba disebuah kamar. Tempat itu bersih, tertata, tapi sangat kaku. Tak ada kesan hangat. Hanya satu jendela kecil yang menghadap ke kebun belakang, dan sebuah lemari besar yang terkunci.

Di atas ranjang, ada sebuah baju lurik dan celana kain, terlihat seperti pakaian zaman dulu. Satu kertas terlipat diletakkan di atasnya, dengan tulisan tangan yang sama dari surat sebelumnya:

“Malam ini kita tidur bersama. Jangan takut. Aku sudah lama menunggumu pulang.“

—Laras.

Danu berdiri terpaku. Di luar, hujan mulai turun lagi. Hujan yang sama... seperti malam saat surat itu tiba.

Dan di kejauhan, dari arah lorong gelap, terdengar alunan tembang Jawa... pelan, mendayu. Seolah rumah itu sedang bernyanyi untuk menyambut sang pengantin baru.

*****

Keesokan harinya,

Matahari pagi menyelinap masuk lewat celah jendela kamar, menimpa wajah Danu yang tertidur dengan posisi setengah duduk di kursi. Ia tak pernah sempat menyentuh ranjang semalam. Bayangan surat dan lukisan itu masih menempel di kepalanya. Ia tertidur dengan pikiran penuh tanda tanya.

Sampai sebuah suara ketukan halus membangunkannya.

"Mas Danu... sudah pagi. Sarapan sudah siap," kata suara lembut dari balik pintu.

Danu mendiamkannya beberapa detik sebelum menjawab, "Iya... sebentar."

Ia mencuci muka di kamar mandi kecil yang menempel di kamar. Cermin tua di dalamnya merefleksikan wajahnya yang pucat. Tapi ada yang janggal. Di sudut bawah cermin, tertempel foto usang yang sepertinya sudah lama disana.

Foto hitam-putih. Seorang wanita muda, mengenakan kebaya, tersenyum... berdiri di samping seorang pria yang lagi-lagi sangat mirip dirinya.

"Siapa sebenarnya orang ini?" gumamnya.

Danu hendak membuka foto itu, tapi lemnya terlalu kuat. Seolah memang tak diizinkan untuk dilepas.

Beralih ke sisi lain, tepatnya di meja makan, Nyai Laras sudah duduk rapi mengenakan kebaya biru tua. Sarti berdiri di samping, menuangkan teh dan meletakkan sepiring nasi liwet lengkap dengan lauk khas desa.

"Selamat pagi, suamiku," ucap Nyai Laras dengan nada lembut.

Danu mengangguk ragu-ragu. "Pagi, Bu… eh, Ibu Laras.”

"Panggil aku Laras saja," katanya sambil tersenyum. "Kita bukan orang asing, Danu. Kita sudah terikat."

Sarti melirik Danu sekilas, lalu pergi tanpa berkata apa-apa.

"Bu—eh, La-Laras. Aku masih belum mengerti semua ini. Semua ini terlalu cepat... Aku merasa seperti dijebak."

"Aku mengerti," jawab Laras pelan. "Tapi semua yang terjadi ini bukan jebakan. Hanya sesuatu yang sudah waktunya terulang."

"Terulang?" Danu mengerutkan dahi.

Laras tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu mengerti sekarang. Tapi tinggal di sini sebentar. Rasakan rumah ini. Lihat sendiri. Tak perlu lari."

Danu menarik napas. Ia ingin lari, memang. Tapi sesuatu dari cara Laras bicara... seolah membuatnya ragu. Ada misteri, tapi bukan ancaman. Ada keanehan, tapi bukan horor. Seperti teka-teki masa lalu yang harus dipecahkan.

Setelah sarapan, Danu memutuskan untuk keluar rumah. Udara desa di pagi hari terasa sejuk dan sedikit berkabut. Langkahnya pelan, menyusuri pekarangan rumah yang dipenuhi bunga-bunga tua berwarna kusam. Kakinya menapaki jalan setapak yang tertutup dedaunan kering. Suara ayam jantan dan embusan angin menjadi salah satu suara yang menemaninya.

Danu mulai berkeliling desa. Ia berbicara dengan warga, mencoba mencari tahu siapa sebenarnya Nyai Laras. Banyak yang menjawab dengan hormat, tapi nada bicara mereka menggantung.

"Nyai Laras itu wanita sakti, Mas. Tapi baik... selama tidak dilukai," kata seorang kakek tua di warung.

"Dulu sempat menikah, tapi suaminya hilang misterius. Katanya, jiwa lelaki itu terjebak di masa lain... entahlah," ujar seorang ibu penjual jamu.

Dan yang paling membuat Danu makin bingung adalah pernyataan kepala desa saat dia iseng bertanya soal legalitas rumah dan surat warisan.

"Kalau kau memang Danu Setyawan, berarti memang hakmu, Nak. Nyai Laras sudah menunggu mu bertahun-tahun."

"Menunggu siapa?"

Kepala desa hanya tersenyum. "Dirimu. Atau... seseorang yang dulu pernah menjadi kamu."

Setelah mengatakan hal itu, kepala desa lalu masuk ke rumahnya tanpa menambahkan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Danu dalam kebingungan yang makin dalam.

Ia akhirnya memutuskan kembali ke rumah Nyai Laras. Langkahnya pelan, sedikit gontai. Kepalanya penuh pertanyaan, namun justru tak membawa satu jawaban pun pulang.

Sesampainya di halaman rumah, Sarti terlihat menyapu teras. Ia menoleh sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menyapa.

"Dari mana saja, Mas Danu?" tiba-tiba suara Nyai Laras bersambut dari dalam rumah, suaranya terdengar samar tapi jelas. Ia berdiri di balik pintu terbuka, mengenakan kebaya hitam dan selendang ungu tua. Seolah sudah tahu Danu akan pulang dengan tangan hampa.

"Keliling. Cari tahu," jawab Danu singkat. "Tapi semua orang seperti... menutupi sesuatu."

"Karena kebenaran tidak selalu bisa diceritakan dengan kata-kata," jawab Laras tenang. "Ada yang harus dirasakan. Ada yang harus diingat."

Danu menghela napas. "Kau terus bicara tentang masa lalu. Tentang aku yang dulu. Tapi aku bahkan tak tahu siapa kau sebenarnya. Apa hubungan kita. Dan kenapa... semuanya terasa seperti déjà vu."

Laras melangkah perlahan ke dekatnya. Mata mereka bertemu. Dalam tatapan wanita itu, ada kesedihan yang nyaris abadi.

"Semua akan terjawab seiring berjalannya waktu, Mas Danu. Tak perlu memaksa ingatan untuk terbuka dalam semalam. Biarkan segalanya datang pada waktunya."

Danu menunduk pelan. Hatinya masih bergejolak, namun tatapan Laras begitu tenang, seakan menyimpan kedalaman samudra yang tak mampu ia jangkau.

Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan sunyi yang lebih pekat dari biasanya. Danu terbaring di ranjang, namun rasa kantuknya tidak juga datang. Sampai pada akhirnya, ingatannya tiba-tiba tertuju pada alunan tembang jawa yang sempat ia dengar saat pertama kali datang.

Dan kini, suara itu terdengar lagi.

Lembut, mengalun dari ujung lorong gelap rumah. Tembang yang tidak jelas artinya, namun mampu menusuk kalbu. Suara perempuan yang menyanyi dengan kesedihan terpendam, seperti meratapi sesuatu yang hilang.

Danu bangkit, perlahan membuka pintu kamarnya. Suara tembang itu kian jelas, mengalun dari balik sebuah ruangan di ujung koridor, ruangan yang sejak awal tidak pernah terbuka bahkan sekedar untuk dikenalkan pada Danu.

Langkahnya pelan tapi pasti. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa ditarik... seperti magnet yang tak kasat mata. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya terulur, hendak membuka pintu itu—

Tap.

Belum sempat Danu meraih gagang pintu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang, lembut tapi tegas. Danu menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan selendang tipis dan kain batik panjang. Wajahnya tetap tenang, namun sorot matanya mengandung peringatan.

"Maaf, Mas Danu," ucap Laras dengan suara halus. "Tapi tidak semua pintu boleh dibuka sebelum waktunya."

Danu menatapnya bingung. "Aku hanya ingin tahu. Suara itu… tembang itu…"

Laras tersenyum pelan, menundukkan wajahnya sejenak sebelum menatapnya kembali.

"Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika, Mas. Apalagi bila menyangkut waktu, ingatan, dan rasa yang belum utuh."

Ia menarik napas perlahan. "Aku mengerti rasa penasaran, Mas Danu. Tapi ketergesaan kadang bisa mengaburkan kebenaran, bahkan menyakitkan bagi jiwa yang belum siap menerimanya."

"Jadi… aku tidak boleh tahu?" suara Danu terdengar berat.

"Kamu pasti akan tahu," jawab Laras dengan lembut. "Tapi bukan malam ini. Biarkan tembang itu tetap mengalun sebagai pengantar. Bukan sebagai penuntun."

Laras kemudian tersenyum hangat dan menarik tangan Danu menjauh dari tempat itu.

Suara tembang pun perlahan menghilang seiring langkah mereka pergi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!