Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan Belas
"Khanza, jika aku memintamu untuk tetap berada di sampingku selamanya, apakah kamu bersedia?" tanya Dipta.
Pertanyaan Dipta itu mampu membuat kedua wanita yang berada disampingnya terkejut. Mereka sepertinya sama-sama tak percaya jika pria itu akan mengatakan hal tersebut.
"Maksud Mas Dipta apa?" tanya Khanza dengan gugup.
Vania yang berada di samping Dipta tak bisa menghilangkan kegugupannya. Dia mengerti apa arti dari ucapan pria itu. Dadanya terasa sesak. Jelas sudah jika pria yang dia cintai diam-diam itu memilih Khanza sebagai pendamping hidupnya.
Dipta lalu berdiri dari duduknya. Dia lalu berlutut di hadapannya Khanza. Tangannya meraih sesuatu dari dalam saku celana. Dia mengeluarkan kotak cincin. Dan mengulurkan kehadapan Khanza.
"Khanza, menikahlah denganku ...!" ucap Dipta dengan suara yang penuh keyakinan.
Vania langsung memegang dadanya. Jantungnya terasa mau copot mendengar Dipta melamar Khanza dihadapannya saat ini. Dunia seakan berhenti berputar.
Vania merasa seperti terhanyut dalam badai emosi yang tak terkendali. Dia tak bisa percaya bahwa Dipta, orang yang selama ini dia percayai dan cintai, kini melamar Khanza di hadapannya. Dunia seakan berhenti berputar, dan Vania merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak ada habisnya.
Dia memandang Khanza yang tampak terkejut dan rona kebahagiaan terpancar dari wajahnya, sementara Dipta menatap wanita itu dengan penuh harapan. Vania merasa seperti tersisih, seperti tidak ada lagi tempat untuknya di hati Dipta. Air matanya mulai menggenang, dan dia berusaha menahan tangisannya, tapi tak bisa.
Vania merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang selama ini dia pikir hanya miliknya. Dia tak bisa menahan lagi, dan air matanya mengalir deras, sementara dia berusaha untuk tidak membuat suara yang bisa mengganggu momen bahagia Dipta dan Khanza.
"Mas, aku ... aku ...." Khanza tak tahu harus menjawab apa. Dia tak menyangka jika pria yang dimatanya sangat sempurna itu melamarnya.
"Katakan ya atau ya, Khanza. Katakan kamu menerima lamaranku ini," ucap Dipta.
"Mas, aku tak tau harus menjawab apa. Aku bukanlah wanita yang sempurna. Aku banyak kekurangan. Apa aku pantas menerima perasaanmu itu?" tanya Khanza.
Khanza tak mau terlalu melambung tinggi, walau dia juga mencintai Dipta, tapi dia harus sadar diri. Dia dan pria itu jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi.
"Kamu hanya perlu menjawab, kamu menerima lamaranku ini, kita akan menikah setelah bayi ini lahir," ucap Dipta lagi.
Khanza dan Dipta terlalu fokus dengan diri masing-masing sehingga tak menyadari ada hati yang sedang terluka di sampingnya. Vania meremas tangannya mencoba menghilangkan rasa sebak di dada.
"Mas, berikan aku satu alasan saja, kenapa kamu bisa jatuh cinta denganku?" tanya Khanza.
"Cinta tidak butuh alasan. Aku sering mendengar kalau jatuh cinta bisa terjadi kapan saja dan tak butuh alasan. Karena itulah, aku juga belajar harus memaklumi bahwa kadang-kadang sebuah kisah cinta pun berakhir seperti ini, dan tak butuh alasan juga. Aku mencintaimu tanpa karena. Jatuh cinta tidak butuh alasan, jika ada alasan bukan cinta namanya."
"Mas ... coba cubit aku, apakah ini mimpi?"
Dipta lalu meraih tangan Khanza, bukan mencubitnya tapi mengecupnya. Dia lalu menyematkan cincin di jari manisnya. Vania menarik napas, mencoba menahan rasa sedih dihatinya karena pria yang dicintai tak mungkin lagi dia miliki.
Khanza tersenyum bahagia saat cincin itu terpasang di jarinya. Dia memandang Dipta dengan mata yang berbinar-binar, penuh kasih sayang dan rasa syukur. Dipta membalas pandangannya dengan senyum yang hangat juga, menunjukkan kebahagiaan yang tulus.
Vania merasa seperti berada di ambang jurang kesedihan yang dalam. Dia berusaha untuk tidak menatap Dipta dan Khanza, tak ingin memperlihatkan rasa sakit di hatinya. Namun, dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari pasangan itu, yang kini saling menatap dengan penuh cinta.
Suasana menjadi semakin emosional, dan Vania merasa seperti berada di luar lingkaran kebahagiaan yang sedang dinikmati oleh Dipta dan Khanza. Dia berharap bisa menjadi bahagia untuk mereka, tapi rasa sedih di hatinya semakin menguat.
Vania lalu berdiri dan mengulurkan tangannya pada Khanza. Barulah wanita itu tersadar, jika di antara mereka ada orang lain, begitu juga dengan Dipta.
"Selamat, Khanza, Dipta. Semoga kalian berbahagia dan tak ada rintangan hingga ke pelaminan nantinya. Semoga cinta kalian selalu menemukan jalan menuju kebahagiaan dan keharmonisan. Semoga cinta yang kalian miliki selalu tumbuh lebih kuat, dan perjalanan menuju pernikahan kalian penuh dengan keberkahan," ucap Vania. Dia berusaha menekan setiap ucapannya agar terdengar wajar dan tak ada yang tahu jika hatinya saat ini sedang hancur.
"Terima kasih, Nia. Kamu adalah saksi bagi kebahagiaanku. Kamu juga orang pertama yang mengetahui siapa wanita yang aku cintai," ucap Dipta.
"Terima kasih, Mbak. Aku juga mendoakan kebaikan dan kebahagiaan untuk Mbak Vania," ucap Khanza.
"Kebahagiaanku adalah Dipta, Khanza," gumam Vania dalam hatinya.
Vania hanya bisa menjawab dengan senyuman atas doa dari Khanza. Dia menarik napas sekali lagi untuk menghilangkan rasa gugup.
'Terima kasih, Khanza. Aku pamit. Aku mengganggu aja kalau masih di sini. Aku tunggu acara makan-makannya," ucap Vania dengan berusaha tersenyum.
Setelah mengucapkan itu, dia langsung berjalan meninggalkan kedua orang itu. Vania langsung masuk ke kamar. Tangisnya pecah saat telah di dalam.
"Ya Tuhan, mulai hari ini aku ikhlas melepaskannya. Aku lepaskan walau dengan terpaksa. Aku janji akan mengikhlaskannya seluas aku mencintainya. Aku kembalikan lagi seluruh cintaku pada-Mu Tuhan. Sungguh aku percaya sudah kau atur sebaik-baiknya. Aku akan berusaha menghapus namanya dalam hidupku. Aku akan membunuhnya dalam sejarahku. Aku akan menyingkirkan seluruh ketertarikan'ku tentangnya. Apakah mudah? Pasti tidak. Itu semua tidak mudah, tapi harus aku lakukan demi kesehatan mentalku. Harus aku lakukan demi kedamaian jiwaku. Walaupun itu harus mengerahkan sisa tenaga yang aku punya. Aku tau, aku yakin aku mampu. Dan Tuhan memilih jalan ini untukku lebih bahagia," ucap Vania dalam hatinya.
Vania mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Dia jadi teringat hadist dari Rasulullah.
Rasulullah SAW pernah berpesan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi agar tidak mencintai sesuatu secara berlebihan. Adapun bunyi hadits tentang mencintai seseorang sebagai berikut,"Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan benci'lah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” [HR. At-Tirmidzi no.1997 dan dishahih'kan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178].
Dan Lily ini ibu dari Dipta sendiri
semangat vania
saya Khanza...eh salah..saya khenzo 😁🤣😅🙏
vania semoga km menemukan jodoh yg baik di tempat yg baru ya