bijak dalam memilih bacaan!
"Kamu... siapa?" bisik Zeya lirih, tangan kirinya memegangi kepala yang berdenyut hebat.
Pria itu tersenyum lembut, menatapnya seolah ia adalah hal paling berharga di dunia ini.
"Aku suamimu, sayang. Kau mungkin lupa... tapi tenang saja. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi...seperti dulu."
*****
Zeya, seorang mahasiswi kedokteran, tiba-tiba terbangun di dunia asing. Ia masih dirinya yang sama,nama, wajah, usia..tak ada yang berubah.
Kecuali satu hal, kini ia punya suami.
Ares Mahendra. Dosen dingin yang terlalu lembut saat bicara, terlalu cepat muncul saat dibutuhkan… dan terlalu mengikat untuk disebut sebagai “suami biasa.”
Zeya tidak mengingat apa pun. Tapi dokumen, cincin, dan tatapan Ares terlalu nyata untuk disangkal. Ia pun mulai percaya...
Hingga satu rahasia terkuak,zeya bukan istri nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azida21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07 Foto-Foto Tanpa Kenangan
Begitu suara pintu utama tertutup dan deru mobil terdengar menjauh, Zeya perlahan membuka pintu kamar. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, seolah takut merusak keheningan pagi yang terlalu asing baginya.
Rumah itu terasa terlalu besar, terlalu rapi, dan terlalu tenang. Dinding-dinding putih dengan aksen kayu cokelat tua tampak seperti galeri. Dan benar saja, di setiap sudut rumah, Zeya mulai menyadari satu hal yang mengusik: terlalu banyak foto dirinya.
Ia berjalan mendekati meja konsol dekat tangga. Sebuah figura mungil berdiri di sana, memperlihatkan sepasang pengantin—laki-laki berjas hitam elegan dan perempuan dengan gaun putih yang sederhana namun anggun. Zeya menatap foto itu lekat-lekat.
“Foto ini…” gumamnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.
Matanya bergerak menatap wajah si perempuan di foto. Matanya sendiri. Senyumnya sendiri. Tapi anehnya, hatinya tetap menolak percaya.
“Benarkah aku adalah istrinya?”
Langkahnya membawa tubuhnya ke ruang tamu. Di sana, tergantung di dinding, sebuah figura besar memamerkan foto pernikahan yang sama dalam ukuran lebih mencolok. Wajah Ares Mahendra terlihat sangat yakin, sedangkan dirinya—Zeya merasa senyum di wajah pengantinnya tampak... canggung?
“Ruangan ini penuh dengan foto aku,” desisnya pelan. “Tapi... kenapa aku nggak ingat semuanya?”
Langkah kakinya menyusuri ruang demi ruang, mengamati ornamen, perabotan, bahkan aroma rumah ini. Semuanya terasa asing. Dingin.
Namun, suara dari belakangnya membuat tubuhnya refleks berbalik.
“Nona mau pergi ke mana?”tegur sebuah suara.
Zeya terlonjak kecil. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya, mengenakan seragam pelayan yang rapi. Wajahnya terlihat ramah, tapi ada sorot hati-hati di matanya.
“Kamu siapa?” tanya Zeya tajam, sedikit defensif.
“Saya pelayan di rumah ini, nona,” jawabnya sopan sambil sedikit menunduk.
“Oh... pelayan...” Zeya mengangguk perlahan. “Apa kamu selalu tinggal di sini?”
“Iya, nona. Saya sudah bekerja di rumah ini selama lima tahun.”
“Lima tahun?” ulang Zeya dengan nada heran.
Itu berarti... jauh sebelum ia bahkan mengenal Ares—jika ia memang pernah mengenalnya. “Apa nona sedang mencari sesuatu?” tanya si pelayan sopan.
“Tidak. Aku cuma ingin berkeliling saja. Ingin tahu... rumah macam apa yang katanya sekarang jadi rumahku.”jawab Zeya pelan.
“Baiklah, nona. Tapi... tuan berpesan agar nona jangan keluar rumah dulu.”
Zeya menoleh cepat. “Kenapa?”
“Tuan khawatir nona kembali sakit karena memaksakan diri,” jawab pelayan itu sambil menunduk sopan.
Zeya mengernyit. “Kurasa itu terlalu berlebihan. Aku merasa cukup sehat.”
“Tetap saja, nona belum boleh keluar kalau belum ada izin dari tuan,” ujar wanita itu dengan nada hati-hati.
Zeya menatapnya tajam. “Apa dia mencoba mengaturku?”
“Bukan begitu, nona. Tuan sangat menyayangi nona. Makanya dia bersikap seperti itu. Mohon nona maklumi…”
Zeya terdiam, tatapannya tidak lepas dari wajah si pelayan. Wajah itu tampak terlalu patuh, terlalu penuh kehati-hatian. Tidak seperti pelayan biasa yang akrab dengan tuannya.
Ia berpikir cepat. “Kamu bilang sudah lima tahun kerja di sini?”
“Iya, nona.”
“Itu berarti kamu sudah bekerja sejak sebelum aku dan Ares... menikah?”
Si pelayan tampak ragu sejenak. “Menikah?” ulangnya dengan alis sedikit naik.
Zeya menatapnya tanpa berkedip. “Iya. Bukankah aku dan dia sudah menikah?”
“Eh… tentu saja, nona dan tuan Ares sudah menikah,” jawab si pelayan tergesa, wajahnya tampak gugup.
Seketika, alarm di kepala Zeya berbunyi. Ia tidak suka perubahan raut wajah itu. Tidak suka jeda kecil yang seolah menyiratkan… kebohongan?
“Kamu menyembunyikan sesuatu?” desaknya, suaranya sedikit meninggi.
“Saya tidak berani, nona,” jawabnya cepat, kembali menunduk.
Zeya mendekat selangkah. “Kamu ingat kapan tepatnya aku mulai tinggal di rumah ini?”
Si pelayan tampak gelisah. “Kenapa nona menanyakan hal itu?”
“Aku cuma penasaran. Aku tidak bisa mengingat apa pun, jadi aku bertanya. Itu wajar, kan?”
Wajah si pelayan berubah sedikit pucat. Ia meremas jari-jarinya gugup.
“Maaf, nona. Saya tidak berani menjawab pertanyaan yang bukan ranah saya.”
Zeya menatapnya lama. Ada sesuatu yang aneh. Ketakutan di wajah si pelayan bukan ketakutan biasa karena melanggar batas. Ada tekanan yang lebih besar di balik diamnya. Ketakutan untuk mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak diketahui.
“Baiklah,” ujar Zeya akhirnya, suaranya mulai datar. “Kamu boleh pergi.”
“Baik, nona.” Si pelayan segera membungkuk dan melangkah pergi dengan tergesa.
Zeya menghela napas panjang, berdiri di tengah ruangan yang sekarang terasa seperti panggung sandiwara.
Semua terlalu rapi. Terlalu sempurna. Foto-foto itu. Senyum Ares. Kamar yang disiapkan. Bahkan pelayan itu terlalu hati-hati, terlalu takut. Seolah semua orang di rumah ini tahu sesuatu yang tidak boleh ia ketahui.