Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Jakarta, sebuah Ujian Nyata
Pesan Aisha tentang event di Jakarta terus menghantui Rangga. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan keramaian, kilatan kamera, dan tatapan jutaan orang di event itu melintas di benaknya. Rasa panik membelenggu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, sebuah lompatan karir yang tidak boleh ia lewatkan. Namun, ini juga merupakan ancaman terbesar bagi topeng "Ren" yang selama ini ia kenakan.
Ia mencoba mencari alasan untuk menolak, seperti biasa. Tapi kali ini, ia tahu alasan itu tidak akan mempan. Aisha terdengar serius, dan event itu terlalu penting. Rangga akhirnya membalas pesan Aisha dengan sebuah 'ya' yang setengah hati, diikuti dengan serangkaian emotikon canggung.
Aisha segera membalas dengan gembira. "Bagus, Ren! Aku akan urus tiket pesawat dan akomodasi. Kamu siapkan saja dirimu. Dan jangan khawatir soal outfit, aku sudah siapkan stylist untukmu di sana. Ini akan jadi debut besarmu di dunia nyata!"
Membaca pesan itu, Rangga merasa napasnya tercekat. Stylist? Outfit? Ia tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Selama ini, pakaiannya hanya seputar kaos dan celana sederhana. Konsep "tampil" di dunia nyata terasa asing dan menakutkan. Ia sadar, tidak akan ada lagi helm Synapse VR atau webcam yang bisa menyembunyikan dirinya.
Rangga tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan perasaan campur aduk. Ini adalah pertama kalinya ia bepergian sejauh ini, sendirian, untuk tujuan yang bukan pekerjaan serabutan. Perjalanan dari Bandung terasa panjang dan menegangkan. Ia merasa seperti domba yang diantar ke arena gladiator.
Aisha sudah menunggu di area kedatangan, memancarkan aura bintang bahkan di tengah keramaian bandara. Senyumnya begitu menawan, dan pakaiannya terlihat sangat stylish. Rangga, dengan kaos dan jaket seadanya, merasa semakin menciut. Ia mempercepat langkah, berusaha tidak menarik perhatian, namun pandangannya tak bisa lepas dari Aisha.
"Ren! Di sini!" Aisha melambai, suaranya ceria.
Rangga menghampiri Aisha dengan langkah ragu. "Teteh Aisha," sapanya, suaranya nyaris berbisik.
"Wah, akhirnya sampai juga!" Aisha tersenyum lebar, matanya memancarkan kegembiraan yang tulus. "Ayo, stylist-mu sudah menunggu di hotel. Kita harus segera bersiap-siap."
Di dalam mobil, Rangga merasakan kegugupan yang semakin menjadi. Aroma parfum Aisha memenuhi mobil, dan ia bisa merasakan kehadiran Aisha yang begitu kuat di sampingnya. Aisha berbicara banyak tentang event yang akan mereka hadiri, tentang influencer lain yang akan datang, dan tentang peluang-peluang besar yang menanti Ren. Rangga hanya bisa mengangguk, sesekali merespons dengan singkat. Ia tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang bagaimana ia akan bertahan di tengah sorotan, tanpa perisai yang selama ini ia gunakan.
Di hotel, Rangga diperkenalkan pada seorang stylist profesional. Seorang wanita muda dengan selera fashion yang tajam dan mata yang menilai. Wanita itu menatap Rangga dari atas ke bawah, seolah ia adalah sebuah kanvas kosong yang perlu diubah.
"Oke, Ren, kita harus bikin kamu tampil menawan malam ini," kata stylist itu, mulai memilih beberapa setelan pakaian dari gantungan. "Aisha bilang kamu punya aura misterius, kita harus tonjolkan itu tapi tetap terlihat berkelas."
Rangga hanya bisa diam, membiarkan tubuhnya diukur, disuruh mencoba berbagai pakaian. Ia merasa seperti boneka. Bahan-bahan pakaian yang halus dan pas di tubuhnya terasa asing. Melihat pantulan dirinya di cermin, ia melihat sosok yang berbeda, sosok yang lebih fashionable, lebih mirip "Ren" yang ia lihat di thumbnail live stream-nya. Namun, di balik penampilan baru itu, ia masih merasakan Rangga yang sama, pria yang canggung dan tidak nyaman dengan semua perhatian ini.
Malam harinya, mereka tiba di lokasi event. Sebuah ballroom mewah yang dipenuhi keramaian, lampu sorot, dan musik yang menghentak. Ratusan orang berkumpul, semuanya terlihat glamor dan percaya diri. Para influencer dan pro player saling sapa, berfoto, dan tertawa. Ini adalah dunia yang benar-benar asing bagi Rangga.
"Wah, Ren! Kamu kelihatan beda banget! Keren!" Aisha berseru, menatap Rangga dengan senyum kagum. Ia sendiri tampil memukau dengan gaun malam yang elegan, memancarkan aura selebriti yang tak terbantahkan. Aisha menggandeng lengan Ren, membawanya masuk ke keramaian.
Rangga merasa seperti ikan yang dilemparkan ke darat. Ia merasakan setiap tatapan, setiap bisikan. Beberapa orang mengenalinya, dan segera mereka menghampiri.
"Ren! Salam kenal! Aku Xylo, dari tim Vortex!" seorang pro player terkenal menyapa, mengulurkan tangan.
Rangga menjabat tangannya, merasa kaku. "Salam kenal... aku Ren." Suaranya terdengar tercekat.
Pertanyaan dan pujian datang bertubi-tubi. "Gila, skillmu di ZPS itu luar biasa!" "Gimana rasanya quadra kill pakai satu peluru?" "Kapan stream lagi?"
Aisha selalu berada di sampingnya, menjadi jembatan. Ia menjawab pertanyaan yang Rangga tidak bisa jawab, melengkapi kalimatnya, dan mengalihkan pembicaraan jika Rangga terlihat terlalu canggung. Aisha adalah representasi sempurna dari "Ren" di dunia nyata. Namun, ini justru membuat Rangga semakin merasa kecil dan tidak berdaya. Ia merasa seperti sebuah produk yang sedang dipasarkan, dengan Aisha sebagai marketer utamanya.
Momen paling menegangkan adalah saat mereka dipanggil ke atas panggung untuk sesi wawancara singkat tentang turnamen. Lampu sorot yang terang benderang menerpa wajah Rangga, membuatnya merasa seperti diinterogasi. Mikrofon di tangannya terasa sangat berat.
"Ren, dengan popularitasmu yang meledak, apa rencanamu ke depan? Apakah ada target baru di ZPS?" tanya sang pembawa acara.
Rangga menatap ke arah penonton, yang tampak seperti lautan wajah samar. Ia ingin sekali menjawab, ia punya banyak impian dan rencana. Tapi kata-katanya macet di tenggorokan. Ia hanya bisa tersenyum canggung.
Aisha segera menyambar mikrofon. "Ren ini memang agak pendiam di dunia nyata, ya! Tapi dia sangat fokus dan punya banyak rencana besar untuk karirnya di ZPS. Tunggu saja kejutannya!" Aisha tertawa renyah, mengalihkan perhatian dari kecanggungan Ren. Penonton ikut tertawa.
Rangga merasa campur aduk. Ia bersyukur Aisha selalu ada untuknya, selalu menyelamatkannya dari situasi memalukan. Namun, ia juga merasa frustrasi pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu berbeda di dunia nyata? Mengapa ia tidak bisa berbicara, tidak bisa menjadi "Ren" yang karismatik di depan kamera? Ia merasa seperti dua orang yang terpisah, terjebak dalam tubuh yang sama.
Sepanjang malam, ia terus merasakan tatapan orang, bisikan-bisikan, dan tekanan yang tak henti-hentinya. Ia mencoba bersosialisasi, mengikuti Aisha, tetapi setiap interaksi terasa seperti upaya keras. Setiap senyumnya terasa dipaksakan. Ia adalah bintang di dunia maya, namun seorang asing di dunia nyata. Ia mengamati Aisha yang begitu percaya diri, berinteraksi dengan semua orang, seolah ini adalah habitat alaminya. Rasa kagum dan sekaligus cemburu mulai tumbuh di hati Rangga. Aisha begitu sempurna, sementara ia, Rangga, masih berjuang untuk sekadar berdiri tegak di tengah keramaian. Ia merasa tidak layak berada di sampingnya, apalagi jika ada ketertarikan yang ia rasakan dari Aisha.
Ketika event berakhir dan mereka kembali ke hotel, Rangga merasa seperti baru saja melewati sebuah maraton. Ia langsung melemparkan dirinya ke tempat tidur, tubuhnya lelah, namun pikirannya masih berputar. Ketenaran ini memang memberinya segalanya, tapi juga mengambil sesuatu yang berharga: kenyamanan menjadi dirinya sendiri. Ia tahu, langkah selanjutnya bukan lagi tentang mengalahkan musuh di game, melainkan mengalahkan ketakutan terbesarnya di dunia nyata.