Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama Mertua
Di tengah keheningan yang nyaman, suara bel pintu terdengar memecah suasana. Arsen segera beranjak dari kursinya. Ia berjalan ke arah pintu, membuka kunci dengan sedikit tergesa, lalu menarik pintu perlahan.
Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum lebar yang memancarkan ketulusan. Di tangannya ada dua kantong belanja besar, dan di lengan kirinya tergantung sebuah tas tangan berwarna krem.
“Mama,” sapa Arsen lembut sambil tersenyum.
“Arsen, apa kabar?,” balas Miranda seraya memeluk Arsen sebentar. “Bagaimana keadaan Anita?”
“Dia masih agak lemas, tapi sudah membaik. Mama masuk dulu saja”
Miranda mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah. Aroma khas rumah yang bersih dan rapi langsung menyambutnya, membuat ia merasa seperti pulang ke tempat yang selalu nyaman.
“Anita masih di kamar. Aku panggilkan dulu.”
Namun sebelum Arsen sempat berbalik, dari arah kamar muncul sosok Anita yang melangkah pelan. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi sorot matanya jernih dan penuh rasa bahagia.
“Mama!” seru Anita lirih.
Miranda segera mendekatinya. Ia merentangkan tangan dan memeluk menantunya erat. “Anita sayang, selamat ya. Mama benar-benar senang mendengarnya “Akhirnya setelah sekian lama kamu isi lagi”
Anita tersenyum sambil menahan air mata. “Terima kasih, Ma. Aku juga senang Mama datang.”
Setelah melepaskan pelukan, Miranda memperhatikan wajah menantunya dengan penuh perhatian. “Kamu kelihatan lebih baik dari yang Mama bayangkan. Tapi tetap harus banyak istirahat, ya.”
“Iya, Ma.”
“Sekarang ayo duduk dulu. Mama bawakan beberapa makanan favorit kamu dan sedikit perlengkapan kehamilan. Tidak banyak, tapi semoga bermanfaat,” ujar Miranda sambil menunjukkan kantong belanja yang dibawanya.
Mereka bertiga lalu berpindah ke ruang makan. Arsen membantu meletakkan barang-barang yang dibawa Miranda di atas meja.
Satu per satu isi kantong itu dikeluarkan Miranda: sekotak besar sup ayam buatan sendiri yang masih hangat, potongan buah-buahan segar yang sudah dipotong kecil dan disimpan dalam wadah tertutup, sebungkus roti gandum isi cokelat kesukaan Anita, dan beberapa botol jus buah murni. Selain itu, ada juga suplemen khusus ibu hamil, minyak telon, dan dua stel pakaian tidur longgar berbahan lembut.
“Wah, Mama repot-repot sekali,” ucap Anita dengan suara lirih, tetapi penuh syukur.
“Bukan repot, sayang. Mama senang sekali bisa melakukan ini untukmu. Kamu sekarang sedang mengandung cucu Mama. Mama ingin kamu merasa tenang dan nyaman.”
Anita menggenggam tangan mertuanya erat. “Terima kasih banyak, Ma. Mama selalu membuat aku merasa seperti anak sendiri.”
Miranda tersenyum dan mengelus punggung tangan Anita. “Karena kamu memang anak Mama.”
Arsen hanya duduk dan memperhatikan dengan perasaan hangat yang tak mampu ia ungkapkan. Melihat bagaimana ibunya memperlakukan Anita, seolah memperkuat kesadaran dalam dirinya bahwa wanita di depannya ini telah melalui banyak hal demi keluarganya. Dan Anita tetap memilih bertahan.
“Ayo makan sup ini selagi masih hangat,” ajak Miranda.
Anita mengangguk, dan Arsen membantunya menyendokkan sup ke mangkuk. Kehangatan aroma kaldu menyebar, membuat Anita merasa semakin nyaman.
Saat mereka makan bersama, suasana rumah terasa lebih hidup. Tawa ringan sesekali terdengar dari Miranda ketika mengingat kembali masa kehamilannya dulu. Ia bercerita bagaimana ia dulu juga kerap merasa mual parah dan lebih sensitif terhadap bau.
“Kamu harus lebih sering makan dalam porsi kecil. Jangan biarkan perut kosong terlalu lama,” nasihat Miranda sambil menyuapkan satu potong buah pir ke mulut Anita. “Dan jangan terlalu capek. Biarkan Arsen yang mengurus pekerjaan rumah sebisa mungkin.”
Arsen sempat tersedak mendengar perkataan ibunya, membuat Miranda dan Anita tertawa kecil.
“Tanpa mama suruh aku sudah paham” kata Arsen setelah meneguk air.
Miranda mengangguk puas. “Begitu dong. Itu baru namanya suami.”
Setelah makan, Miranda dan Anita duduk bersama di ruang keluarga. Mereka berbincang lebih banyak, dari mulai tentang dokter kandungan terbaik, nama bayi, hingga soal perubahan emosi yang mungkin akan dialami Anita dalam beberapa bulan ke depan. Miranda bahkan sempat membuka aplikasi di ponselnya untuk menunjukkan beberapa video senam hamil dan meditasi kehamilan.
“Kalau nanti kamu butuh teman untuk pergi kontrol, atau cuma mau jalan-jalan sore, kabari Mama, ya. Mama selalu siap menemani.”
“Iya, Ma. Aku pasti kabari. Tapi untuk sekarang Anita masih belum berani mengunjungi dokter ”
“Iya, mama paham. Pokoknya saat kamu sudah siap saja”
Hari semakin sore, dan suasana hati Anita kian tenang. Rasanya seperti mendapat suntikan semangat baru. Bukan hanya karena kehadiran seorang ibu mertua yang penuh perhatian, tetapi karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa tidak sendirian dalam perjalanan ini.
Setelah beberapa waktu berbincang dan memastikan Anita dalam keadaan nyaman, Miranda pun bersiap untuk pulang. Sebelum berpamitan, Miranda memeluk Anita sekali lagi.
“Biar Anita antar ke depan, ma”
“Sudah-sudah, tidak usah. Mana bisa sendiri, kamu kembali lagi saja ke kamar, istirahat. Nanti kalau ada waktu mama akan sering-sering mengunjungi kamu”
“Ya sudah kalau begitu, terimakasih ya Ma. Hati-hati di jalan” Kepergian Miranda begitu sangat membekas bagi Anita, dia harus rela membiarkan wanita berhati malaikat itu pergi dari sini.
Arsen menawarkan diri untuk mengantar sang ibu hingga ke depan rumah. Sore hari mulai menua, dan langit tampak mulai berubah warna, menyisakan gurat jingga yang membentang di cakrawala.
Miranda melangkah perlahan menyusuri jalan setapak di depan rumah sambil menggenggam tas tangannya. Arsen berjalan di sampingnya tanpa banyak bicara, seperti biasa. Mereka sampai di dekat pagar rumah, dan sebelum membuka pintu pagar, Miranda menghentikan langkahnya.
Ia menoleh, menatap wajah putranya dengan mata yang teduh namun serius.
“Arsen,” panggilnya pelan, tapi tegas. “Mama minta satu hal darimu.”
Arsen menoleh. “Apa, Ma?”
Miranda menghela napas sejenak, lalu berbicara dengan nada yang tidak tinggi, namun penuh ketegasan seorang ibu.
“Jaga Anita baik-baik. Jangan pernah sekalipun kamu sakiti dia, entah dengan kata-kata, apalagi dengan perbuatan. Mama tahu kamu bukan orang yang pandai menunjukkan kasih sayang, tapi Anita itu perempuan yang lembut. Dia hanya butuh sedikit perhatian untuk bisa bertahan.”
Arsen menunduk sesaat. Ia mendengarkan dengan diam, setiap kata-kata yang dikeluarkan Miranda seakan menamparnya berkali-kali, tentu Arsen tersinggung dengan perkataan itu.
Miranda melanjutkan, “Dan jangan terlalu dingin padanya. Perhatikan kebutuhannya, bantu dia melewati masa kehamilan ini. Kamu bukan hanya suami sekarang, tapi akan menjadi seorang ayah. Itu berarti kamu harus tumbuh jadi seseorang yang bisa dia andalkan.”
Arsen mengangguk pelan. “Iya, Ma. Aku mengerti.”
Miranda menatap wajah putranya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Mama tahu kamu bisa berubah. Anita masih bertahan sampai hari ini, bukan karena dia lemah, tapi karena dia mencintai kamu. Jangan sia-siakan itu.”
Arsen tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk sekali lagi, lebih tegas dari sebelumnya. Kata-kata itu menusuk hatinya, tidak dalam bentuk kemarahan, tetapi sebagai peringatan yang mengandung harapan besar. Ia tahu ibunya tidak sedang menggertak, tapi mempercayainya untuk berubah.
Setelah beberapa detik hening, Miranda meraih tangan putranya dan menggenggamnya sebentar.
“Baiklah, Mama pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabari Mama.”
“Iya, Ma. Hati-hati di jalan.”
Miranda melangkah keluar pagar, menoleh sebentar sambil melambaikan tangan. Arsen membalas lambaian itu, lalu menutup pintu pagar perlahan.
Ia berdiri sejenak di depan rumah, memandangi mobil ibunya yang perlahan menjauh, sebelum akhirnya kembali masuk ke rumah. Suasana di dalam rumah terasa lebih hening, tetapi juga lebih hangat—seolah pesan terakhir ibunya tadi masih menggema di dinding-dinding rumah.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭