Ingin berbuat baik, Fiola Ningrum menggantikan sahabatnya membersihkan apartemen. Malah menjadi malam kelam dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesuciannya direnggut oleh Prabu Mahendra, pemilik apartemen. Masalah semakin rumit ketika ia dijemput paksa orang tua untuk dijodohkan, nyatanya Fiola sedang hamil.
“Uang yang akan kamu terima adalah bentuk tanggung jawab, jangan berharap yang lain.” == Prabu Mahendra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Keributan
“Pak, tolong saya. Nikahi saya, sekarang pak!” teriak Ola.
Pintu toilet didorong, Ola berusaha menahan.
“Fiola, kamu ….”
Brak.
“Aaaa.” Ola kembali teriak, ia terjerembab karena dorongan pintu yang terbuka dan rusak didobrak dari luar.
“Berani kamu ya,” ucap Ayah.
Ola mengerang pelan lalu beranjak duduk, merasakan apakah ada yang sakit dari tubuhnya terutama area perut. Ponsel sudah tergeletak di lantai dengan kondisi layar pecah. Mungkin terlempar saat ia terjatuh.
“Bangun, ikut ayah pulang.”
Tangan Ola ditarik, ia berontak melepaskan diri. “Ayah, jangan begini. Semua bisa dibicarakan. Lepaskan tanganku.”
“Siapa yang tidak mau bicara. Kamu mengabaikan telpon ayah. Sekarang juga kamu pulang.”
“Tidak mau.”
Toilet yang sempit dengan pintu yang sudah rusak, tidak leluasa untuk berinteraksi. Kalau bisa menembus tembok, mungkin akan Ola lakukan asal bisa menghindar dan tidak ikut pulang.
“Jangan bikin malu keluarga, ayo!”
Tidak mudah membujuk Ola, terus berontak berusaha melepaskan tangannya. Belum lagi teriakannya. Ayah Ola kesal, apalagi ia berjanji tidak membuat keributan setelah memaksa mendatangi kamar putrinya.
“Anak tidak tahu diri, aku besarkan kamu untuk membangkang.” Tangan pria itu melayang dan mendarat dengan cepat di pipi Ola.
“Ayah … tampar aku,” ucap Ola lirih sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Kesalahan apa yang aku buat sampai tanganmu harus menyakiti tubuhku.”
“Kesalahan kamu karena tidak nurut. Aku ini ayahmu, yang membesarkan dan mendidik kamu. Makin dewasa bukan makin patuh, malah kurang ajar,” bentak Ayah.
Kedua mata Ola sudah berembun, ia berusaha untuk tidak menangis. Tangannya masih berada di pipi.
“Aku hanya ingin mandiri, itu bukan kesalahan.”
“Banyak bicara kamu. Ujang,” teriak Ayah. Pria bernama Ujang, bekerja dengan keluarga itu sudah lama bahkan sejak Ola kecil.
“Iya, Pak.”
“Bawa ke mobil. Kalau tidak mau, seret saja!” teriak Ayah Ola keluar dari toilet.
Pria paruh baya bernama Ujang, melangkah masuk.
“Neng Ola, ayo keluar. Kita pulang.”
“Nggak mang, aku nggak mau.” Tangis Ola akhirnya pecah, tubuhnya merosot bersimpuh di lantai toilet.
“Jangan begini neng, nanti Bapak marah. Mamang kasihan sama neng Ola. Nanti bicarakan baik-baik di rumah.”
Ola pun pasrah, ia beranjak dan mengekor langkah Mang Ujang. Ayahnya berdiri tidak jauh dari pintu kamar. Ola menatap sekitar kamar lalu membuka lemari. Mengambil pakaian ganti, tidak mungkin ia pulang kampung mengenakan piyama.
Sengaja mengulur waktu, berharap Prabu atau siapapun menolongnya. Saat akan mengambil koper di atas lemari, tidak sampai ia raih. Mang Ujang membantu mengambilkan.
“Halah kelamaan,” sentak Ayah lalu kembali menarik tangan Ola. Setengah menyerat meninggalkan kamar.
“Lepas, aku tidak mau pulang.”
“Pak, aduh. Neng Ola.” Mang Ujang mengekor langkah ayah anak yang saling tarik menarik.
Insiden tersebut menjadi perhatian dari penghuni kosan lainnya. Sampai di parkiran, penjaga rumah kos berusaha melerai. Namun, Ayah mengatakan agar tidak ikut campur.
“Masuk!” Ayah kembali berteriak menunjuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka. “Atau mau ayah paksa masuk.”
Ola terisak merasakan nyeri di tangan dan perutnya tiba-tiba kram. Melawan percuma, kabur pun tidak bisa. Ia pasrah dan masuk ke dalam mobil, menempati kursi di belakang supir. Ayahnya ikut masuk duduk di kabin yang sama dengan Ola. Mang Ujang sudah duduk di samping supir. Perlahan mobil melaju meninggalkan tempat itu.
***
Prabu menatap layar ponsel, panggilan dari Ola berakhir padahal ia belum selesai bicara. Menduga ada yang tidak beres, Ola berteriak minta dinikahi lalu terdengar teriakan seperti ada keributan.
Menghubungi balik, malah tidak aktif. Beruntung Prabu sudah rapi dan siap berangkat. Memutuskan untuk segera turun, Gama sedang mengurus pengunduran diri calon istrinya.
Keluar dari lift, ia menghubungi Gama.
“Dimana?”
“Baru selesai, saya ke atas sekarang,” jawab Gama.
“Aku di lobby, cepat antar aku ke tempat Fiola. Sepertinya ada masalah.”
Sambil menunggu Gama, Prabu menghubungi Maya. Menyampaikan telepon dari Ola yang sekarang malah tidak aktif. Nyatanya Maya tidak tahu masalah itu dan masih dalam perjalanan menuju apartemen.
“Pak,” sapa Gama.
“Hubungi orang mu, tanyakan kondisi Fiola,” titah Prabu sambil menuju mobil.
Orang yang ditugaskan mengawasi Ola menyampaikan tidak ada pergerakan dari wanita itu. Prabu semakin khawatir.
“Lebih cepat.” Padahal Gama sudah mengemudi secepat yang dia bisa.
Sampai di kosan, bersamaan dengan kedatangan Maya. Menggunakan motor membuatnya cepat sampai.
“Mas, Ola dimana?” tanya Maya pada penjaga kosan. Prabu dan Gama ikut mendekat.
“Nah itu dia, tadi ada keributan. Ada tamu, bapak-bapak mau ketemu Ola. Saya minta tunggu, dia bilang bapaknya Ola. Maksa mau ke kamar. Ya sudah saya izinkan, asal nggak bikin ribut dan ngobrolnya di sini aja,” tunjuk penjaga kosan ke arah ruang tamu yang berada di area parkir.
“Terus?” tanya Maya lagi.
“Ola nangis, sempat ribut juga. Dia nggak mau masuk mobil.”
“Ribut?” tanya Prabu.
“Iya, tapi akhirnya masuk mobil terus dibawa pergi. Kamarnya juga berantakan.”
Maya mencoba menghubungi Ola, tapi tidak aktif.
“Dimana kamar Ola?” tanya Prabu.
“Saya tahu,” sahut Maya. Ketiga orang itu mendatangi kamar Ola.
Koper teronggok di lantai, pintu toilet rusak. Prabu memasuki toilet dan berjongkok mengambil ponsel Ola yang rusak.
“Ya ampun Ola, lo kenapa lagi,” cetus Maya dengan nada khawatir.
“Dimana orang tua Fiola tinggal?” tanya Prabu mencengkram ponsel itu.
“Jauh pak, saya juga belum pernah ke sana.” Maya menatap sekitar kamar, mendapati tas Ola ada di atas meja rias. Membuka tas tersebut, mengambil dompet dan mengeluarkan kartu identitas.
“Dia pergi nggak bawa apa-apa. Ini tas sama dompetnya ditinggal.”
Prabu mengambil alih kartu tersebut dan membacanya. Gama yang tadi menerima telepon lalu menghampiri.
“Pak, orang kita mengikuti mobil ayahnya Mbak Fiola.”
“Kita susul.” Prabu merebut tas dan dompet Ola dari tangan Maya. Ia merasa akan membutuhkannya nanti.
“Pak, saya ikut ya,” pinta Maya. Prabu dan Gama saling tatap. “Kalaupun nggak diajak, saya tetap cari Ola ke kampungnya. Paling berat di ongkos.”
Prabu menghela nafas lalu mengangguk.
crazy up thor semangat"
anak kandung disiksa gak karuan ehh anak tiri aja disayang² gilakk
kalo maya pindah nanti sepi
. kasian a' gama kn gak ada gandenganya wk wk wk