"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Taring yang merobek nurani
Baskara menyentuh wajahnya sendiri untuk memastikan apakah ia masih manusia, namun ia justru merasakan adanya taring yang mulai tumbuh keluar dari gusi bagian atasnya. Ujung gigi yang tajam itu menusuk bibir bawahnya hingga darah segar mengucur deras dan membasahi permukaan kolam air yang jernih tersebut secara terus-menerus.
Rasa gatal yang luar biasa hebat menjalar dari sumsum tulang belakang hingga ke ujung kuku jemarinya yang kini mulai menghitam dan meruncing secara berulang-ulang. Baskara mengerang kesakitan sambil mencengkeram pinggiran kolam hingga batu penyangganya hancur menjadi serpihan debu yang sangat halus dan tajam.
Ia menatap bayangannya kembali dan melihat bulu-bulu hitam kasar mulai tumbuh menembus pori-pori kulit lengannya dengan kecepatan yang sangat mengerikan bagi akal sehat. Matanya yang semula berwarna cokelat terang kini perlahan memudar dan berganti menjadi warna kuning menyala seperti mata kucing hutan yang sedang mengintai mangsa.
"Kenapa tubuhku berubah menjadi mahluk menjijikkan ini? Apakah ini kutukan yang dimaksud oleh kakek buyutku?" tanya Baskara dengan suara yang mulai berubah menjadi geraman rendah.
Sebuah tangan kurus mendadak muncul dari dalam kolam air dan mencengkeram kerah seragam tim penyelamat yang Baskara kenakan dengan kekuatan yang sangat luar biasa. Sosok tengkorak dengan sisa-sisa daging yang masih menempel pada rahangnya muncul ke permukaan air sambil mengeluarkan suara tawa yang sangat kering.
"Perubahanmu adalah bayaran atas mustika mata gagak hitam yang kini kamu bawa di dalam tasmu itu," ucap tengkorak tersebut dengan rahang yang bergerak-gerak secara berulang-ulang.
Baskara mencoba melepaskan cengkeraman tersebut namun tangannya justru digigit oleh tengkorak lain yang muncul dari dasar kolam secara serentak dan membabi buta. Ia merasakan energi kehidupannya mulai dihisap oleh mahluk-mahluk mati tersebut melalui luka gigitan yang terus mengeluarkan uap berwarna hitam pekat secara terus-menerus.
"Lepaskan aku! Aku tidak meminta mustika ini jika harganya adalah kemanusiaanku sendiri!" bentak Baskara sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah tengkorak itu.
Hantaman Baskara kini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari manusia biasa hingga mampu menghancurkan kepala tengkorak tersebut menjadi kepingan-kepingan tulang yang berserakan. Ia menyadari bahwa seiring dengan hilangnya sisi manusianya, kekuatan fisik mahluk hutan mulai mendominasi seluruh sel di dalam tubuhnya secara berulang-ulang.
Arini tiba-tiba muncul di seberang kolam namun tubuhnya kini sudah menyatu dengan akar beringin hingga ia terlihat seperti patung kayu yang bisa berbicara. Ia menatap Baskara dengan air mata yang berwarna hijau kental dan mengalir membasahi pipinya yang sudah mulai mengeras menjadi kulit pohon yang sangat tebal.
"Gunakan mustika itu untuk melihat kebenaran di balik air kolam ini, Baskara, sebelum kesadaranmu hilang sepenuhnya!" teriak Arini dari kejauhan dengan suara yang tercekik.
Baskara merobek tas kecil di pinggangnya dan mengeluarkan sebuah permata hitam berbentuk mata burung gagak yang permukaannya terasa sangat panas dan berdenyut. Ia mencelupkan mustika itu ke dalam air kolam hingga permukaan air yang semula tenang mulai bergejolak hebat dan menampilkan gambaran masa depan yang sangat kelam.
Ia melihat dirinya sendiri dalam wujud monster raksasa sedang duduk di atas takhta tulang sambil memakan jantung rekan-rekan tim penyelamatnya satu demi satu. Di samping takhtanya, Komandan berdiri dengan senyum kemenangan sambil memegang kendali rantai yang melilit leher monster yang merupakan perwujudan masa depan Baskara tersebut.
"Ini tidak mungkin terjadi! Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi budak dari rencana jahat kalian semua!" raung Baskara sambil mengangkat mustika itu tinggi-tinggi.
Seketika itu juga, mustika mata gagak hitam mengeluarkan seberkas cahaya ungu yang sangat tajam dan membelah air kolam hingga menembus ke dasar tanah yang paling dalam. Cahaya itu membakar mahluk-mahluk tengkorak hingga menjadi abu dan memberikan jalan bagi Baskara untuk melompat masuk ke dalam celah yang tercipta secara terus-menerus.
Baskara mendarat di sebuah ruangan yang lantainya terbuat dari tumpukan baju-baju bayi yang semuanya sudah kusam dan dipenuhi oleh bercak darah yang sudah sangat tua. Di tengah ruangan tersebut, terdapat sebuah ayunan kayu yang bergerak sendiri tanpa ada angin maupun orang yang mendorongnya di dalam kesunyian tersebut.
"Selamat datang di kamar bayi yang dikorbankan, wahai pewaris tahta Alas Mayit yang sangat haus akan darah suci," ucap sebuah suara wanita yang sangat lembut namun dingin.
Baskara melihat sesosok wanita cantik mengenakan kebaya hijau lumut sedang duduk di pojok ruangan sambil menyisir rambutnya yang panjangnya hingga menyentuh lantai. Wanita itu tidak memiliki punggung melainkan hanya lubang besar yang di dalamnya terdapat ribuan ulat putih yang sedang menggeliat secara berulang-ulang.
"Siapa kamu? Dan kenapa tempat ini dipenuhi oleh pakaian bayi yang sangat menyedihkan ini?" tanya Baskara sambil tetap waspada dengan taring yang masih mencuat.
Wanita itu berhenti menyisir rambutnya dan menoleh ke arah Baskara dengan wajah yang hanya memiliki satu mata besar di bagian tengah keningnya yang pucat. Ia tersenyum hingga merobek pipinya sendiri dan memperlihatkan bahwa di dalam mulutnya terdapat lidah yang berbentuk seperti ular sanca yang sangat panjang.
"Aku adalah penjaga rahim hutan ini, dan setiap bayi yang ada di sini adalah tumbal yang diberikan oleh keluargamu setiap lima puluh tahun sekali," jelas wanita itu.
Baskara merasakan kemarahan yang luar biasa hingga ia kehilangan kendali atas tubuh monsternya dan menerjang wanita berkebaya hijau tersebut dengan kuku-kukunya yang tajam. Namun, wanita itu menghilang menjadi ribuan kelopak bunga kamboja yang layu dan muncul kembali di belakang Baskara sambil membelai pundaknya dengan sangat lembut.
"Jangan terburu-buru untuk mati, Baskara, karena pesta penyambutanmu di lembah tengkorak putih baru saja akan dimulai oleh para bangsawan lelembut," bisik wanita itu.
Baskara berbalik dan mencoba mencengkeram leher wanita itu namun ia justru memegang sebuah botol kaca berisi cairan bening yang di dalamnya terdapat janin manusia yang masih bernapas. Ia menjatuhkan botol itu karena merasa sangat jijik namun botol tersebut tidak pecah melainkan justru mengeluarkan suara tangisan bayi yang sangat memekakkan telinga secara terus-menerus.
Suara tangisan itu membuat seluruh baju bayi di lantai mulai bergerak dan membentuk sebuah pusaran kain yang mencoba untuk membungkus tubuh Baskara hingga ia sulit untuk bernapas. Baskara meronta-ronta namun semakin ia bergerak, semakin kencang pula kain-kain tersebut melilit leher dan dadanya hingga ia mulai kehilangan kesadaran secara berulang-ulang.
Di saat-saat terakhirnya, ia melihat mustika mata gagak hitam di tangannya mulai retak dan mengeluarkan suara bisikan yang menyebutkan nama asli dari mahluk yang sedang melilitnya. Baskara memanggil nama mahluk tersebut dengan suara geraman monster yang sangat keras hingga seluruh ruangan itu bergetar hebat dan kain-kain itu terbakar menjadi api hitam.
"Nyai Puspa Sari! Lepaskan aku atau aku akan menghancurkan rahim hutan ini dengan kekuatan mustika yang aku bawa!" ancam Baskara dengan penuh penekanan.
Wanita berkebaya hijau itu menjerit ketakutan saat namanya disebut dan ia segera berubah menjadi asap hijau yang terbang masuk ke dalam lubang di dinding ruangan tersebut. Baskara segera mengejar asap tersebut karena ia yakin bahwa lubang itu adalah jalan pintas menuju pusat lembah yang selama ini menjadi tujuan utamanya.
Ia merangkak masuk ke dalam lubang yang dindingnya terasa seperti daging basah yang terus berdenyut dan mengeluarkan cairan pelumas yang sangat licin secara terus-menerus. Baskara terus bergerak maju meskipun taring dan kuku monsternya mulai menghambat gerakannya di dalam lorong daging yang sangat sempit dan menyesakkan tersebut.
Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang, Baskara akhirnya keluar dari lorong itu dan mendapati dirinya berdiri di puncak sebuah tebing yang menghadap langsung ke arah ribuan obor menyala.