Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam pertama
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Rania akhirnya memutar badan lagi menuju pintu. Membuat ekspresi Arven kembali jatuh, sendu.
Dan ruangan menjadi hening.
Kaelis mendekat dan berkata pelan, “Pelayan sudah menyiapkan makan malam. Tapi sepertinya Nona itu malu. Kalau Tuan masih ingin berbincang dengannya… Tuan bisa datang bertamu sambil membawa sedikit makanan yang sudah disiapkan.”
Kaelis tersenyum kecil, jelas-jelas sedang menggoda.
Arven menghela napas pelan. “Tidak usah. Satu-satunya manusia yang berhak mendapatkan kebaikan Archeon… hanya anda.”
Kaelis tersenyum bangga mendengarnya. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Tuan.”
“Tunggu.”
Arven menahan langkah Kaelis.
Kaelis menoleh. “Iya, Tuan?”
Arven menatapnya serius, polos, dan tanpa rasa bersalah. “Apa kau tahu… bokep itu apa?”
Kaelis membeku. “Ha… apa?”
Ia mengerjap beberapa kali, tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.
Arven menatapnya semakin serius, “Cepat beritahu aku… aku sedang belajar banyak hal dari manusia.”
Kaelis menarik napas panjang. Ia jelas berjuang antara menjelaskan atau pura-pura mati saja.
“Bokep itu… begini.”
Ia meletakkan dokumen di meja, lalu menyatukan kedua telunjuknya seperti membuat simbol samar. “Ini bahasa gaul manusia…”
Arven menyipitkan mata. “Aku tidak mengerti apa maksud gerakan itu.”
Ia mencoba menirukannya… tapi malah menggabungkan jari dan telapak tangan dengan pose aneh yang membuat Kaelis ingin pensiun dini.
Kaelis akhirnya menyerah. Ia menjernihkan tenggorokan, lalu berkata blak-blakan, “Bokep itu… istilah manusia untuk hubungan suami istri yang… ya, yang biasanya menghasilkan anak.”
Arven langsung membelalak. “Hubungan suami istri…?” bisiknya.
Kaelis mengangguk mantap.
Arven mematung sejenak. Lalu ia mengulang pelan, seolah memahami sesuatu, “…wanita mesum.”
Dan ia terkekeh kecil, puas dengan kesimpulan yang ia buat sendiri.
Kaelis menutup wajahnya dengan tangan. “Tuan… bukan begitu maksudnya…”
“Kau tidak paham… pergilah!” potong Arven, dengan cepat Kaelis pun mengangguk dan pergi.
**
Rania membuka kulkas… lalu menutupnya lagi. Membukanya lagi… menutup lagi. Kulkas itu kosong. Tetap kosong. Selalu kosong.
“Kenapa kau selalu kosong?” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pintu kulkas, menahan perut yang terus berbunyi keras karena lapar.
Jika kemarin semua barang pribadinya diamankan Arcelia, kini barang-barang pribadinya—termasuk mobilnya—berakhir di dasar Sungai Velmorra. Hancur tak bersisa.
“Hhhh! Mulai besok aku harus nyelipin uang cash di saku celana. Agar kalau kejadian gila perti ini terjadi lagi, aku tidak kelaparan.”
Tiba-tiba bel unitnya berbunyi.
Rania membelalak panik. Tidak mungkin ada tamu. Tidak ada satu pun orang yang tahu ia tinggal di sini. Ia berlari ke pintu dan mengecek kamera.
Dan… ia menahan tawa.
Arven berdiri rapi di depan pintu, memakai pakaian ala Kerajaan Joseon yang baru—lengkap dengan detail rumit seperti bangsawan yang baru keluar dari drama sageuk.
“Astaga… ini serius? Dia masih pakai baju zaman itu?” Rania terkekeh kecil, tak percaya.
Ia membuka pintu.
“Halo,” sapa Arven langsung, tanpa basa-basi. Matanya seperti biasa—langsung tertuju pada Rania.
Rania tersenyum. Ada kekaguman yang tak bisa ia cegah melihat ketampanan pria aneh yang entah kenapa setia dengan pakaian kerajaan itu.
“Aku dengar kau lapar,” ucap Arven polos.
“Hah?” Rania mengerutkan dahi. “Kapan aku bilang begitu?”
Arven menatapnya sebentar, bingung, lalu cepat memperbaiki. “Uh… maksudku, pelayan sudah menyiapkan makan malam. Tapi kau pulang sebelum sempat makan. Jadi… kupikir kau lapar.”
Tatapan bening Arven yang seperti kristal membuat Rania terpaku beberapa detik.
“Hallo, Nona? Kau dengar aku?”
“Ah! Iya, tentu saja!” Rania buru-buru sadar.
Arven mengangguk kecil. “Kita makan di rumahku, atau di rumahmu?” tanyanya polos, benar-benar polos.
“Hu—Huh?” Rania terkejut. Pipinya memanas. “Di rumahku saja! Aku malu… di rumahmu ada Tuan Kaelis.”
“Tidak ada,” jawab Arven tenang. “Aku tinggal sendiri. Sama seperti kau. Ayahku dan pelayan hanya datang jika aku membutuhkannya.”
“Benarkah?” Rania langsung terlihat lega. “Syukurlah… kalau begitu, makan di rumahmu saja.”
Ia buru-buru keluar dari unitnya—bukan karena ingin terlihat sopan, tapi karena perutnya sudah perih seperti ditemploki batu bata.
Begitu memasuki ruang makan Arven, Rania terpaku. Meja makan penuh hidangan lezat—dari sup hangat, lauk warna-warni, sampai roti yang masih mengepul.
“Wow…” Rania menelan ludah. “Ini… surga?”
Arven duduk dengan tenang. “Silakan.”
Rania menarik kursi dengan semangat. “Baiklah! Karena kau sudah banyak membantuku—sekarang gantian aku yang melayanimu makan!”
Arven berkedip pelan. “…melayaniku?”
“Ya!” Rania langsung mengambil sendok besar, mencicipi saus sebagai ‘tes rasa’, lalu tanpa malu memasukkan sesendok ke mulutnya sendiri.
“Hmmmm… ini enak banget,” gumamnya, nyaris melupakan Arven.
Arven hanya menatap—matanya membulat kecil melihat Rania yang polos memakan makanan pelanannya sendiri lebih dulu.
Lalu Rania mengambil beberapa makanan dan menaruhnya ke piring Arven.
“Nah! Ini buatmu.”
Arven membeku.
Gerakan kecil itu, disuguhi makanan oleh manusia—membuat dadanya hangat. Di Eryndor, tidak ada seorang pun yang berani menyentuh piring bangsawan. Bahkan menyajikan makanan pun harus lewat pelayan khusus.
Tapi Rania? Ia melakukannya tanpa ragu, tanpa ketakutan, dan dengan senyum polos.
Arven tersenyum tipis untuk pertama kalinya malam itu. “Terima kasih.”
“Ayo kita makan!” seru Rania bahagia, seolah itu rumahnya sendiri, padahal jelas-jelas dia yang numpang.
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini.
Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis.
Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu