Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas
Pagi di Buleleng biasanya disambut dengan kicauan burung dan aroma laut yang menenangkan, namun di dalam Mansion Sanjaya, udara terasa seperti medan perang yang siap meledak. Jenara, yang sudah mengenakan pakaian formal dan menenteng tas kerjanya, melangkah cepat menuruni tangga. Matanya sembap, namun dagunya tetap terangkat tinggi. Ia berniat kembali ke Jakarta hari ini juga, melarikan diri dari tekanan ayahnya.
Namun, langkahnya terhenti saat melewati ruang makan. Di sana, Arya, Widya, dan Kinara tengah sarapan dalam keheningan yang menyesakkan.
"Jenara!" Suara Arya menggelegar, menghentikan langkah Jenara tepat di ambang pintu.
Jenara menoleh pelan, wajahnya datar. "Saya ada jadwal rapat di Jakarta siang ini. Saya harus pergi dan saya akan kembali ke Ibukota."
Arya meletakkan garpunya dengan kasar hingga menimbulkan denting yang memilukan. "Duduk. Kamu tidak akan ke mana-mana sampai surat kuasa konyol itu kamu bakar dan kamu membawa pria itu ke hadapan saya!"
"Sudah saya bilang, saya akan menikah. Sisanya bukan urusan Anda. Sebaiknya anda cukup menghabiskan waktu anda dengan keluarga anda yang sekarang. Bukan sibuk mengurusi hal yang tidak penting, " balas Jenara tajam.
"Bukan urusan saya? Saya ayahmu!" Arya bangkit dari kursinya. "Kamu hamil, Jenara! Hamil di luar nikah! Mau ditaruh di mana muka saya kalau tetangga dan rekan bisnis tahu putri sulung saya berperilaku seperti wanita jalanan? Apa moral kamu sudah hilang, hah!"
"Mas Arya, tolong, rendah sedikit suaranya. Jangan terlalu keras terhadap Jenara," Widya mencoba menenangkan, namun Arya menepis tangannya.
"Kak, jangan pergi dulu. Ayah benar-benar marah," Kinara menyela dengan wajah pucat, tangannya gemetar memegang sendok.
Jenara tertawa sinis. "Marah karena reputasi atau marah karena peduli? Kita tahu jawabannya, Ayah. Tandatangani surat itu, dan saya akan menghilang dari hidup Anda tanpa beban."
"Tidak sebelum pria brengsek itu datang menunjukkan batang hidungnya!" Arya menunjuk ke arah pintu depan. "Jangan harap kamu bisa keluar. Saya sudah menempatkan penjaga di setiap gerbang. Kamu tahanan rumah sampai masalah ini selesai. Ayah bisa berbuat lebih dari ini jika kamu tetap keras kepala, Jenara!" Sikap keras dan arogan Arya menurun kepada Jenara.
Jenara mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya memutih. Ia terjebak. Sangkar emas yang dulu ia benci, kini benar-benar menjadi penjara.
"Alexa!" panggil Jenara dengan nada putus asa yang disamarkan.
Alexa mendekat dengan ragu. "Ya, Bu?"
"Hubungi... dia. Suruh dia ke sini sekarang juga. Katakan padanya, jika dia ingin pernikahan ini terjadi, dia harus menjemputku dari neraka ini," perintah Jenara.
"Siapa yang harus saya hubungi, Bu?" tanya Alexa bingung, otak mendadak telat untuk berfikir.
Jenara terdiam sejenak. Ia menyadari sebuah kenyataan konyol, ia tidak memiliki nomor ponsel calon suaminya sendiri. "Cari nomor Gilbert Rahadiansyah. Dia cukup terkenal, seharusnya tidak sulit bagi sekretaris sepertimu untuk mendapatkannya dalam lima menit."
Gilbert Rahadiansyah nyaris gila. Baru saja ia menjejakkan kaki di kantornya di Jakarta, berniat mandi dan berganti pakaian, Althaf sudah mencegatnya di lobi dengan wajah tegang.
"Jet pribadiku sudah siap di Halim. Alexa menelepon, katanya Jenara disandera ayahnya di Bali," lapor Althaf cepat.
Gilbert tidak banyak bicara. Ia langsung berbalik arah menuju bandara. Di dalam pesawat, ia terus menatap awan dengan pikiran bercabang. Ia sedikit kesal dengan tingkah Jenara yang pulang ke Bali tanpa mengabarinya, seolah pria itu tidak punya peran dalam drama ini. Namun, di sisi lain, Gilbert paham bahwa hormon kehamilan dan tekanan mental mungkin membuat Jenara menjadi sedikit impulsif dan kekanak-kanakan.
"Tuan, kita akan mendarat sepuluh menit lagi," lapor Della, sekretaris Gilbert yang ikut terbang dengan wajah ngeri melihat aura gelap bosnya.
"Siapkan mobil tercepat yang bisa disewa di Denpasar. Kita ke Buleleng sekarang," perintah Gilbert dingin.
Sore harinya, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan pelataran mansion Sanjaya. Penjaga gerbang yang sudah diberi instruksi oleh Arya membiarkan mobil itu masuk setelah melihat siapa yang datang.
Gilbert keluar dari mobil dengan setelan jas yang sedikit kusut karena perjalanan panjang, namun tatapannya tetap tajam dan berwibawa. Di belakangnya, Della mengikuti dengan langkah ragu.
Jenara berdiri di teras bersama Arya, Widya, dan Kinara. Suasana begitu mencekam saat Gilbert menaiki anak tangga teras satu per satu.
BUKH!
Tanpa ada peringatan, sebuah pukulan mentah mendarat tepat di rahang Gilbert. Kekuatannya cukup besar untuk membuat Gilbert terhuyung dua langkah ke belakang.
"Bajingan! Pria brengsek! Beraninya kamu menodai anak saya!" umpat Arya dengan napas memburu. Ia siap melayangkan pukulan kedua.
"Ayah! Cukup! Jangan bertindak arogan!" teriak Jenara, ia benar-benar terkejut melihat ayahnya yang biasanya menjaga martabat kini bertindak seperti preman. Ia berlari mendekat, berniat menghalangi ayahnya.
Widya segera memeluk lengan Arya, menahannya sekuat tenaga. "Mas Arya, cukup! Jangan kelewatan. Dia tamu kita!"
Gilbert mengusap ujung bibirnya yang sobek menggunakan ibu jari. Darah merah segar menghiasi sudut mulutnya. Ia menatap Arya tanpa rasa takut, tanpa ekspresi kesakitan, seolah pukulan tadi hanyalah gigitan nyamuk yang mengganggu.
"Jadi ini sambutan untuk calon menantu Anda, Tuan Sanjaya?" tanya Gilbert, suaranya tenang namun sangat mengintimidasi.
Della yang berdiri di belakang Gilbert menahan napas. Ia baru pertama kali melihat bosnya dipukul secara fisik, dan ia merasa nyawa Arya Sanjaya sedang di ujung tanduk.
"Menantu? Setelah apa yang kamu lakukan pada Jenara? Kamu menghancurkan masa depannya!" teriak Arya lagi.
"Saya datang ke sini untuk bertanggung jawab secara penuh. Jika memukul saya bisa mengurangi beban di hati Anda, silakan. Tapi setelah itu, saya akan membawa Jenara pergi," balas Gilbert tenang.
Jenara menatap Gilbert dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah yang terselip saat melihat darah di bibir pria itu, namun keangkuhannya mencegahnya untuk meminta maaf.
"Pokoknya saya tidak mau tahu!" Arya menunjuk mereka berdua dengan jari gemetar. "Kalian menikah hari ini juga. Saya sudah memanggil petugas catatan sipil dan saksi. Kalian menikah di rumah ini, secara sah menurut hukum dan agama, atau kalian tidak akan pernah bisa keluar dari rumah ini selamanya!"
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌