NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Memeluknya

Saat Narendra sudah menggenggam gagang pintu, langkahnya terhenti.

Suara lirih terdengar dari arah ranjang.

“Jangan… sakit… badanku sakit…”

Narendra menoleh cepat. Livia mengigau. Alisnya berkerut, wajahnya memucat, dan air mata mengalir dari sudut matanya meski matanya terpejam. Tangannya mencengkeram seprai, tubuhnya sedikit meringkuk seolah menahan nyeri yang tak terlihat.

“Jangan sentuh aku… sakit…” gumamnya terputus, disusul isak tertahan.

Narendra kembali mendekat, jantungnya mencelos. Ia duduk di tepi ranjang, ia sempat ragu, lalu perlahan mengusap punggung tangan Livia, hanya sebatas menenangkan.

“Livia… Tenang ya.. kamu kenapa ?” bisiknya, meski ia tahu Livia tak benar-benar mendengar.

Isakan itu semakin pecah.

“Sakit… tubuhku sakit…”

Narendra menelan ludah. Kata-kata itu menghantamnya, bukan sebagai keluhan fisik semata, tapi luka yang lebih dalam. Ia menarik selimut lebih rapat, memastikan Livia hangat, lalu mengambil tisu untuk menghapus air mata di pipinya dengan sangat hati-hati.

Ia ingin pergi. Ia seharusnya pergi.

Namun kakinya tak bergerak.

Narendra tetap di sana, duduk diam di sisi ranjang, menjaga jarak namun tak meninggalkan. Malam itu, ia memilih bertahan, menjadi saksi bisu bagi luka yang Livia simpan bahkan dalam tidurnya.

Narendra tak lagi berpikir panjang. Saat tubuh Livia terus bergetar oleh isak dalam tidurnya, Narendra akhirnya meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Bukan pelukan yang menuntut, melainkan pelukan yang menenangkan. Lengannya mengitari tubuh Livia dengan erat, seolah ingin melindunginya dari rasa sakit yang bahkan dalam mimpi pun tak mampu melepaskan.

“Tenang… aku di sini, Livia” bisiknya lirih, meski ia tahu Livia mungkin tak mendengar.

Livia perlahan mereda. Isaknya berubah menjadi napas teratur, wajahnya bersandar di dada Narendra. Tubuhnya yang tadi tegang kini mengendur, seolah menemukan tempat aman yang lama hilang.

Narendra memejamkan mata. Detak jantung Livia di dadanya terasa jelas, terlalu dekat, terlalu nyata. Ia tahu ini salah. Ia tahu batas yang seharusnya tak dilanggar. Namun malam itu, rasa kemanusiaannya mengalahkan semua logika.

Tanpa sadar, napasnya ikut melambat. Pria itu lelah, emosi, dan keheningan malam menyeretnya masuk ke dalam tidurnya.

Di ranjang itu, dua jiwa yang sama-sama terluka terlelap dalam satu pelukan, bukan sebagai atasan dan bawahan, bukan sebagai pria beristri dan wanita lajang, melainkan sebagai dua manusia yang sama-sama membutuhkan kehangatan.

Di tengah malam yang panjang.

Cahaya pucat menyelinap lewat celah tirai, menyentuh kelopak mata Livia. Ia terbangun perlahan, kepala terasa berat, tubuhnya hangat—terlalu hangat.

Ia mengerjap.

Livia menegang saat menyadari dirinya tidak sendirian.

Ada lengan yang melingkar di pinggangnya. Dada yang naik turun tepat di hadapannya. Napas hangat menyentuh keningnya.

Narendra.

Jantung Livia berdegup keras. Refleks ia hendak bergerak, namun tertahan. Pandangannya jatuh pada wajah pria itu—begitu dekat, begitu jelas. Rahang tegas, alis yang rapi, dan ekspresi tidur yang jauh lebih lembut dari sikap dinginnya di kantor.

Ia terkesima.

Untuk sesaat, semua logika terlupakan. Tidak ada status. Tidak ada batas. Hanya keheningan dini hari dan detak jantung yang saling beradu pelan.

Aneh dan menakutkan namun Livia tidak merasa terancam.

Justru sebaliknya.

Di dalam dekapan itu, ada rasa aman yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Tidak ada paksaan. Tidak ada ketakutan. Tubuhnya tenang, seolah akhirnya diizinkan beristirahat tanpa waspada.

Livia menelan ludah, matanya tak lepas dari wajah Narendra.

“Kenapa… aku merasa begini?” bisiknya dalam hati.

Livia hanya seorang perempuan yang terlalu lama sendirian— dan untuk pertama kalinya, ia merasa aman di pelukan seseorang.

Logika Livia seakan luruh bersama embun subuh yang merayap masuk dari sela tirai.

Entah sisa alkohol yang masih mengalir samar di tubuhnya, atau rasa hangat yang terlalu asing namun menenangkan, Livia bergerak tanpa sempat mempertimbangkan apa pun. Perlahan, hampir tak terdengar, ia merapatkan tubuhnya ke dalam dekapan Narendra. Dada pria itu terasa hangat, napasnya teratur, membuat Livia tanpa sadar menyesuaikan ritmenya sendiri.

Untuk sesaat, ia hanya diam.

Mendengarkan detak jantung Narendra.

Meresapi rasa aman yang menakutkan karena begitu langka.

Tangannya yang semula ragu akhirnya mencengkeram kain kaus Narendra dengan lembut, seolah takut kehilangan pegangan. Wajahnya bersandar di dada itu,dan tanpa ia sadari, napasnya menjadi lebih tenang,lebih ringan daripada malam-malam sebelumnya yang selalu dipenuhi kegelisahan.

Narendra bergumam pelan dalam tidurnya. Alisnya berkerut sesaat, lalu lengannya mengencang, refleks memeluk Livia lebih erat. Bukan pelukan sadar, bukan pula tuntutan, hanya naluri yang bekerja, naluri seseorang yang tak ingin melepas kehangatan di pelukannya.

Livia menegang sejenak.

Namun ketika pelukan itu justru terasa melindungi, bukan menguasai, ketegangannya perlahan mencair. Matanya terpejam kembali, bulu matanya basah oleh emosi yang tak sempat ia beri nama.

“Aku merasa nyaman…” bisiknya dalam hati, hampir tak percaya.

Subuh semakin dekat. Cahaya pucat mulai menyingkap garis wajah Narendra yang tertidur. Livia sempat mengangkat wajahnya sedikit, menatap pria itu dari jarak sedekat ini. Wajah yang biasanya tegas kini terlihat tenang, bahkan sedikit terlihat rapuh.

Ia tahu ini salah.

Ia tahu Pria ini milik orang lain,

Ia tahu batas telah terlewati.

Ia tahu pagi akan membawa penyesalan

Namun di detik itu, Livia hanya seorang perempuan yang terlalu lama memeluk luka sendirian. Dan di pelukan Narendra, untuk pertama kalinya, tubuh dan hatinya berhenti waspada.

Pelukan itu bertahan, sunyi, hangat, dan berbahaya, hingga fajar benar-benar datang, dan perasaan yang tak seharusnya mulai berakar tanpa izin.

Cahaya pagi akhirnya benar-benar masuk ke dalam kamar, menyelinap lewat tirai yang tak tertutup rapat. Udara terasa lebih hangat, lebih nyata.

Narendra terbangun lebih dulu.

Kesadarannya datang perlahan—dimulai dari rasa hangat di dadanya, lalu berat kecil yang bertumpu di lengannya. Ia menunduk, dan napasnya tercekat saat menyadari siapa yang ada dalam pelukannya.

Livia.

Wajah gadis itu begitu dekat. Terlalu dekat. Rambutnya terurai, sebagian menyentuh lehernya. Napas Livia teratur dan damai, seolah dunia tak pernah menyakitinya.

Narendra membeku.

Kenangan malam tadi menghantam bersamaan: kafe bar, air mata, igauan, pelukan yang seharusnya tak terjadi. Dadanya mengencang. Ia hendak menarik lengannya, tapi ragu, tak ingin membangunkan Livia dengan kasar.

Namun seolah merasakan perubahan itu, Livia mengerjap. Matanya terbuka perlahan.

Butuh beberapa detik sebelum kesadarannya menyatu dengan kenyataan. Livia menatap dada di depannya, lalu wajah Narendra yang kini menegang dan seketika tubuhnya ikut menegang pula.

“Aku—” napasnya tersendat. “Pak… Narendra?”

Ia langsung bergerak menjauh, duduk di ranjang dengan jantung berdegup keras. Selimut ikut bergeser, menciptakan jarak yang terasa mendadak dingin.

Narendra juga duduk, mengusap wajahnya frustasi. “Maaf,” ucapnya cepat, suaranya serak. “Aku seharusnya pergi setelah mengantarmu pulang.”

Hening menggantung.

Livia memeluk lututnya, pandangannya jatuh ke seprai. Ada rasa malu, bingung, dan… kehilangan yang tak ingin ia akui. “Aku tidak ingat kapan tertidur,” katanya pelan.

“Aku tidak berniat—” Narendra berhenti, menarik napas panjang. “Aku hanya ingin memastikan kamu aman.”

Livia mengangguk, masih tak berani menatapnya. “Aku tahu.”

Sunyi kembali mengisi kamar. Sunyi yang berbeda, bukan tenang, tapi penuh konsekuensi. Keduanya sadar, garis yang semalam kabur kini kembali tampak jelas.

Narendra berdiri lebih dulu. “Aku harus pergi,” katanya, kali ini lebih tegas, kepada dirinya sendiri. “Ini tidak boleh terulang.”

Livia akhirnya menatapnya. Ada sesuatu di matanya, campuran terima kasih dan penyesalan. “Iya,” jawabnya singkat.

Narendra melangkah ke pintu, berhenti sejenak tanpa menoleh. Lalu ia pergi.

Pintu tertutup pelan.

Livia duduk diam di ranjangnya, menatap cahaya pagi yang kini terasa terlalu terang. Pelukan semalam masih membekas di tubuhnya, hangat, nyata, dan menyisakan kekosongan yang tak mudah dihapus.

Pagi itu, mereka bangun bersama.

Dan sekaligus menyadari, bahwa apa yang terjadi semalam bukan sekadar kebetulan, melainkan awal dari sesuatu yang mungkin jauh lebih rumit.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!