Chen Lin, sang mantan agen rahasia, mendapati dirinya terlempar ke dalam komik kiamat zombie yang ia baca. Sialnya, ia kini adalah karakter umpan meriam yang ditakdirkan mati tragis di tangan Protagonis Wanita asli. Lebih rumit lagi, ia membawa serta adik laki-laki yang baru berusia lima tahun, yang merupakan karakter sampingan dalam komik itu.
Sistem yang seharusnya menjadi panduan malah kabur, hanya mewariskan satu hal: Sebuah Bus Tua . Bus itu ternyata adalah "System's Gift" yang bisa diubah menjadi benteng berjalan dan lahan pertanian sub-dimensi hanya dengan mengumpulkan Inti Kristal dari para zombie.
Untuk menghindari kematiannya yang sudah tertulis dan melindungi adiknya, Chen Lin memutuskan untuk mengubah takdir. Berbekal keterampilan bertahan hidup elit dan Bus System yang terus di-upgrade, ia akan meninggalkan jalur pertempuran dan menjadi pedagang makanan paling aman dan paling dicari di tengah kehancuran akhir zaman!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Si kecil pemimpi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun
Ia menatap salah satu anak buahnya dengan tidak percaya. Pria itu adalah senjata pamungkas mereka , tembus pandang. Tidak banyak orang bisa mendeteksi kehadirannya, bahkan sensor elektronik pun sering gagal!
Itulah andalan mereka.
Itulah “keuntungan” terakhir yang seharusnya membuat mereka menang.
Dan pria itu… kini tergeletak sambil memegangi bahunya yang berdarah deras.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Nyaris tidak seorang pun melihatnya.
Sebenarnya, beberapa detik sebelumnya, pria tembus pandang itu sudah berdiri tepat di belakang Chen Lin. Pisau melayang hanya sejengkal dari punggungnya. Satu tusukan saja cukup membuat Chen Lin tumbang.
Jika targetnya adalah Wen Tao… mungkin kepala bocah itu sudah terpisah dari badannya.
Tapi ini Chen Lin.
Di kehidupan sebelumnya, ia adalah agen elite yang menjalani pelatihan tidak manusiawi. Berbulan-bulan tanpa cahaya, bertahan hanya dengan pendengaran; bertarung di ruang gelap melawan orang-orang yang tak bisa dilihat; merasakan napas samar di udara yang berbeda tekanan; mengenali getaran langkah sekecil apa pun.
Orang biasa tidak mungkin membayangkan.
Inderanya bukan hanya tajam—mereka telah diasah sampai melampaui batas manusia normal.
Tembus pandang?
Untuknya, itu sama saja dengan berdiri telanjang.
Saat udara di belakangnya bergetar sedikit—sangat halus—Chen Lin langsung mengetahui posisinya. Bahkan ritme napas si pembunuh pun bisa ia hitung.
Tatapan Chen Lin tetap datar.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengumpulkan hawa dingin di ujung jarinya, membentuk pecahan es runcing.
DRRT!
Es itu ditembakkan tepat ke arah bahu kiri pembunuh tak terlihat itu—tempat ia mendengar gesekan pisau.
“AARGH—!”
Darah menyembur.
Tubuh yang tak terlihat itu perlahan muncul, seperti kabut yang memudar, menunjukkan wajah si pembunuh yang penuh rasa sakit dan ketakutan.
Bos Ling benar-benar terpaku. “Bagaimana… bagaimana kau menemukannya? Dia… dia tak bisa dilacak…”
Chen Lin menengok sedikit, suaranya tenang dan dingin.
“Jika ingin membunuhku,” katanya pelan, “belajarlah bernafas tanpa suara dulu.”
Pembunuh itu pingsan sebelum sempat merespons.
Ia gemetar melihat anak buahnya dipukul mundur dengan mudah.
“Tidak… mustahil… kalian ini siapa—?”
Chen Lin melangkah maju, pandangannya tetap lembut namun mematikan.
“Kami? Kamu harus ingat nama ini 'Phoenix'”
Listrik di tangan Bos Ling padam.
Ia mundur sambil merendahkan suara, “Tunggu… tunggu dulu…”
Chen Lin berhenti satu langkah di depannya.
“Lain kali,” ucapnya pelan namun tajam, “jangan pernah meremehkan orang hanya karena mereka terlihat kurus… atau karena mereka perempuan.”
Stelah mengatakan itu, Chen Lin berbalik dengan wajah setenang permukaan danau pagi hari. Ia berjalan menuju bus, langkahnya ringan, elegan…
Tidak ada yang menyadari bahwa langkah itu sebenarnya sedikit lebih cepat dari biasanya.
Sial… dia hampir keselek biji kuaci barusan.
Nyaris mati bukan karena musuh—tapi karena cemilan!!!
Wen Tao memandangi punggung Chen Lin lalu menepuk bahu Bos Ling dnegan gaya pongah.
“Hei! Jika kalian melihat kami lagi di lain waktu, tolong panggil aku kakek!”
Ucapan itu membuat urat leher Bos Ling menegang.
“KAU… TUNGGU SAJA!!” teriaknya penuh amarah dan rasa malu.
Ia berbalik dan lari terbirit-birit, meninggalkan anak buahnya.
Anak buahnya saling pandang, tercengang.
“…Bos?”
Tapi bos mereka sudah menghilang di balik semak.
Mereka bangkit dengan tergesa, lalu berlari mengejarnya sambil tersengal-sengal seperti ayam dikejar anjing.
Mei Yiran memandang punggung mereka yang menjauh. “Apa kita benar-benar membiarkan mereka pergi begitu saja?”
Jin Rang menyilangkan tangan, terkekeh.
“Tidak mungkin. Itu bukan gayanya.”
Wen Tao berkedip bingung. “Maksudmu apa?”
Jin Rang menatapnya seolah pertanyaan itu terlalu polos.
“Tanyakan sendiri, kau akan paham.”
Dengan penasaran, Wen Tao masuk dan berjalan kearah Chen Lin yang kini sudah berbaring santai di sofa. Ying Ying ada di pelukannya, menyeruput susu botol mungil sambil memandang sekeliling dengan mata bulat.
Wen Tao jongkok.
“Apa yang kau lakukan pada mereka?”
Chen Lin menatapnya malas, matanya setengah tertutup.
“Aku hanya ingin menguji racun hadiah dari sistem.”
Wen Tao tertegun.
“K… kapan kau memberikan racunnya? Aku tidak melihat kau bergerak sama sekali!”
Chen Lin menguap, suaranya makin pelan.
“Itu racun bubuk… tinggal ditebar saja… angin yang urus…”
Suaranya semakin hilang… dan ia langsung tertidur tanpa memberi penjelasan tambahan.
“…”
Wen Tao terdiam.
Mei Yiran: “…”
Jin Rang: “…”
Ying Ying mendadak tertawa kecil, “Hihihihi!”
Tangan mungilnya melambai-lambai seolah mengejek mereka semua.
Mei Yiran mendekat dan mencubit pipi tembem bayi itu lembut.
“Kamu menertawakan kami, ya?”
Ying Ying hanya balas tersenyum dengan gusi ompongnya yang menggemaskan.
“Menurutmu apa yang terjadi pada mereka?”
Pertanyaan itu kembali terdengar untuk kesekian belas kalinya—begitu mereka duduk makan malam.
Chen Lin yang baru saja bangun tidur langsung memutar bola matanya pelan.
Dari bangun tidur, saat minum teh sore, selesai mandi, sampai sekarang memasukkan suapan pertama ke mulutnya…
Pertanyaan Wen Tao hanya satu: “Apa yang terjadi pada mereka?”
“Aku. Tidak. Tahu.” Chen Lin menekankan setiap kata, jelas jengkel.
“Tapi menurutmu—”
Chen Lin meletakkan sumpitnya dengan suara tek! kecil.
Dia hanya ingin makan dengan khusu!
“Kenapa kita tidak pergi melihatnya saja?” Wen Tao mengusulkan, matanya berbinar.
“Pergi sendiri,” balas Chen Lin datar, lalu langsung berdiri sambil membawa mangkuknya menuju lantai dua.
Chen Wei yang duduk di dekatnya langsung ikut bangkit. Sebelum mengikuti kakaknya, ia sempat melotot ke arah sepupunya itu, lalu berlari mengekor Chen Lin seperti anak anjing setia.
Wen Tao hanya bisa menatap punggung mereka pergi.
Ia mengerucutkan bibir, cemberut.
“Apa salahnya sih bertanya? Aku cuma penasaran…”
Ia menoleh pada Jin Rang dan Mei Yiran.
“Hei, kalian tidak penasaran apa yang terjadi pada mereka?”
Dua orang itu sama-sama menggeleng serentak.
“Hmph!” Wen Tao mendengus, menunduk pada piringnya dengan kesal.
Lalu ia menyuap nasinya besar-besar, sebagai bentuk dirinya tidak puas!
...----------------...
Dilain sisi Bos Ling dan anak buahnya berlari menghindari zombie yang semakin banyak mengejar mereka.
Jika itu sebelumnya, mereka pasti dapat mengalahkannya.
Tapi sekarang, apalagi melawan zombie untuk berlari saja rasanya sudah tidak sanggup.
Mereka kemudian memasuki gedung yang tak berpenghuni.
Dan dengan cepat menguncinya.
Napas mereka kacau, bukan hanya karena rasa takut… tetapi karena sesuatu yang aneh mulai terjadi pada tubuh mereka.
“Bos… dada aku… kayak—kayak ada yang merayap…” si gemuk mengeluh sambil mencakar leher bajunya.
“Diam!!” bentak Bos Ling.
Tapi beberapa detik kemudian, wajahnya sendiri berubah pucat.
Bulu kuduknya berdiri… seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah kulitnya.
“Bos… kulitku gatal… gatal sekali!” teriak si pendek pengguna angin sambil menggaruk lengannya sampai merah.
“Bukan hanya gatal… aku… aku dengar suara…” kata pengguna logam, wajahnya ketakutan.
“Suara berbisik… di dalam kepala…”
Bos Ling menoleh cepat. “Berbisik apa?!”
“Aku… aku gak tahu… kayak ada yang manggil-manggil namaku… dekat banget… padahal gak ada siapa-siapa…”
Tubuh mereka mulai panas lalu dingin, berganti-ganti dalam hitungan detik.
“Bos… ini gak normal…” kata pengguna kekuatan, suaranya bergetar.
Tiba-tiba mata si gemuk melebar. “Bos!! Itu… LIDAHKU—”
Bahasanya melilit sendiri.
Tapi tidak lumpuh.
Justru… terlalu sensitif.
Semua indera mereka tiba-tiba aktif berlebihan—pendengaran mereka bisa mendengar desiran angin dari jarak jauh, penciuman mereka menangkap bau tanah, tubuh mereka merasa seperti disentuh ratusan jarum halus yang tidak berhenti menggelitik… tetapi tidak menyakitkan.
Melainkan… menyiksa.
“AAAH!! GATAL!! AAA SAKIT!! BOS TOLONG?!!” teriak si pendek, menggelinjang di tanah.
Si gemuk sudah berguling-guling sambil menggosok tubuhnya ke tanah seperti ikan kepanasan.
"Berisikkkkk! Bauuu sekali" Si gemuk menutup hidungnya mual
Dan di tengah kekacauan itu—
Bos Ling berdiri dengan napas tersengal, tubuh bergetar hebat.
“Apa… apa ini?!”
Dalam hitungan detik, kulitnya merona merah, seperti habis minum alkohol berlebihan, lalu berubah pucat seperti mayat.
Keringat dingin menetes deras, tapi matanya melotot karena sensasi aneh yang menyerang tubuhnya.
Tiga anak buahnya sudah jatuh duduk, berguling, atau merangkak seperti orang gila.
Bos Ling memukul pintu dengan tinjunya, frustrasi.
Aaaa sial menyakitkan!!!
...****************...
Terimakasih atas dukungan kalian semua