Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Daren Sakit
Cuaca belakangan ini memang tak menentu. Hujan sering turun tanpa permisi — bahkan saat matahari baru saja menampakkan sinarnya di tengah hari. Langit tampak murung, seolah menyimpan rahasia yang berat.
Pagi itu, suara rintik hujan kembali terdengar dari balik jendela kamar. Selena bangun lebih dulu, seperti biasa. Udara terasa dingin menusuk tulang, membuatnya ragu untuk keluar dari bawah selimut. Namun begitu melihat wajah Daren yang masih terlelap, napasnya terhenti sejenak. Dahi pria itu tampak lembap, pipinya sedikit memerah.
Selena mencondongkan tubuhnya, menyentuh kening Daren perlahan.
“Kak… kamu demam,” bisiknya pelan.
Daren mengerjap, suara napasnya berat. “Hm? Enggak kok, cuma… agak pusing dikit.” Ia berusaha bangun, tapi Selena segera menahannya.
“Udah, jangan maksa. Badan kamu panas banget. Salatnya nanti aja, istirahat dulu.”
Pria itu tersenyum samar, meski matanya tampak lelah. “Kamu jadi khawatir, ya?”
“Ya jelas,” balas Selena lirih sambil merapikan selimut di dadanya. “Setiap hari kamu kehujanan. Bilang pakai mobil, tapi tetep aja pulangnya selalu basah. Kamu tuh susah banget disuruh hati-hati.”
Daren terkekeh pelan, meski suara tawanya serak. “Aku nggak apa-apa, Sel. Cuma kecapekan.”
Selena memutar bola matanya, tapi senyum kecil muncul di bibirnya. Ia mengambil handuk kecil, lalu menepuk-nepuk wajah Daren yang berkeringat.
“Kalau kamu tumbang, siapa yang mau gendong Aru nanti? Aku?”
“Kenapa nggak?” goda Daren dengan mata setengah terbuka. “Kamu kan kuat.”
Selena mendecak pelan, tapi wajahnya memerah sedikit. “Udah ah, diam. Minum obat dulu. Aku buatin bubur sama teh jahe, biar badan kamu anget.”
Daren hanya menatapnya — diam, tapi pandangannya penuh rasa. Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Selena menunduk. Saat ia berbalik menuju dapur, Daren sempat tersenyum kecil sambil berbisik pelan, hampir tak terdengar di sela hujan yang mengetuk kaca.
“Kayak dulu, ya… waktu kamu pertama kali jagain aku di sekolah.”
Langkah Selena terhenti di ambang pintu. Ia menoleh perlahan, menatap Daren yang kini menatap langit-langit kamar dengan senyum samar — antara sadar dan mengenang.
Kenangan lama yang selama ini ia pikir telah tenggelam, ternyata masih tersisa di antara tetes hujan dan demam yang hangat itu.
Tak ingin terlarut dalam kenangan masa lalu, Selena menghela napas pelan. Ia menatap wajah Daren sebentar — tenang, namun tampak lelah. Ada rasa hangat yang muncul di dadanya, campuran antara khawatir dan sayang yang sulit dijelaskan.
Ia mengusap perlahan kening pria itu sebelum beranjak dari tepi ranjang. “Tidur lagi, ya, Kak. Aku buatin bubur dulu,” ucapnya pelan.
Daren hanya menggumam kecil, matanya mulai terpejam kembali. Selena menatapnya sesaat, memastikan ia benar-benar tertidur, sebelum melangkah keluar dari kamar.
Begitu menuruni tangga, aroma tanah basah dari luar rumah langsung menyeruak. Suara hujan yang menetes di atap terasa menenangkan, tapi juga sedikit menyesakkan. Selena melilitkan syalnya lebih erat di leher, lalu masuk ke dapur.
Ia mulai menyiapkan bahan-bahan sederhana — beras, kaldu ayam, sedikit jahe, dan daun bawang. Tangannya bergerak cekatan, seolah sudah terbiasa melakukan ini. Sejak menikah dengan Daren, ia memang jarang benar-benar punya waktu untuk berhenti. Tapi pagi ini, semua terasa lebih lambat, lebih lembut.
Sesekali ia menatap ke arah jendela dapur, memperhatikan hujan yang tak kunjung reda. “Dia pasti kehujanan lagi kemarin,” gumamnya pelan sambil mengaduk bubur di panci. “Udah dibilang jangan pulang malam-malam, masih aja keras kepala.”
Namun senyum tipis muncul di wajahnya.
“Ya, tapi keras kepalanya itu yang bikin aku jatuh cinta,” bisiknya tanpa sadar.
Bubur perlahan mendidih, aroma kaldu yang gurih menyebar ke seluruh ruangan. Selena menyiapkan semangkuk bubur hangat, menambahkan sedikit bawang goreng dan potongan ayam di atasnya.
Saat ia hendak membawa nampan itu ke kamar, suara langkah pelan terdengar dari arah tangga. Daren muncul dengan wajah masih pucat, rambut berantakan, tapi senyumnya tetap menenangkan.
“Kamu ngapain turun?” tegur Selena cepat, meletakkan nampan di meja. “Aku kan suruh kamu istirahat.”
Daren terkekeh kecil sambil mengusap tengkuknya. “Aku nggak bisa tidur. Bau buburnya enak banget, jadi bangun deh.”
Selena memelototinya setengah kesal. “Nih, makan sini aja. Jangan berdiri lama-lama.”
Daren duduk, menatap bubur hangat di hadapannya, lalu menatap Selena. “Kamu selalu inget seleraku, ya?”
“Ya iyalah, masa istri nggak tahu suaminya suka apa,” jawab Selena ringan, tapi pipinya memerah sedikit.
Daren tersenyum tipis, lalu menyuap bubur pelan. “Rasanya kayak dulu banget…” ucapnya tiba-tiba. “Waktu kamu pertama kali bawain aku bubur di UKS. Bedanya, sekarang kamu udah jadi istriku.”
Selena berhenti sejenak, menatapnya dalam diam. “Kak, jangan ngomong yang bikin aku malu gitu, deh.”
Daren tertawa kecil. “Tapi aku serius. Dari dulu aku udah suka kalau kamu perhatian gini.”
Selena hanya menggeleng pelan, tapi tak bisa menahan senyum di bibirnya. Hujan di luar semakin deras, tapi di dalam rumah itu, kehangatan kecil mulai tumbuh pelan-pelan — bukan hanya dari semangkuk bubur, tapi juga dari cinta yang sudah lama berakar, dan kini tumbuh dalam diam.
“Lho, Ayah kok nggak pakai baju kerja?” tanya Arunika polos sambil mengerjap-ngerjap. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi seragam TK-nya sudah rapi — rok merah muda, kaus putih bergambar bunga, dan tas kecil bergambar kelinci di punggungnya.
Daren yang sedang duduk di ruang tamu menatap putrinya, tersenyum kecil. “Hari ini Ayah nggak kerja dulu, sayang. Ayah lagi kurang enak badan.”
“Kurang enak badan?” Arunika mendekat, menatap wajah ayahnya penuh rasa ingin tahu. Ia meletakkan tangannya yang mungil di dahi Daren, menirukan gerakan Selena. “Ih, Ayah panasnya udah turun, belum?”
Daren tertawa pelan melihat tingkah putrinya. “Udah agak mendingan, kok. Soalnya Ayah udah makan bubur buatan Mama.”
“Bubur Mama enak, ya?” tanya Arunika sambil ikut duduk di samping ayahnya.
“Enak banget,” jawab Daren sambil mencubit pipinya lembut. “Tapi kalau Arunika yang suapin, pasti tambah sembuh deh.”
Anak kecil itu langsung tersenyum lebar, lalu meraih sendok dan mencoba menyuapi Daren dengan penuh semangat. “Nih, Ayah, buka mulutnya. Aaa~”
Daren menurut, pura-pura membuka mulut lebar dan tertawa. “Wah, Arunika calon dokter nih, bisa nyembuhin Ayah cuma pakai bubur.”
Tepat saat itu, langkah kaki Selena terdengar dari tangga. Ia sudah berganti pakaian kerja — kemeja krem dengan celana panjang hitam, rambutnya diikat rapi. Di tangannya ada tas kerja dan payung kecil berwarna biru.
“Eh, dua-duanya udah kompak aja di bawah,” katanya sambil tersenyum melihat pemandangan itu.
“Mama!” seru Arunika, langsung berlari kecil menghampiri Selena. “Aku udah bantu Ayah makan bubur biar cepet sembuh!”
Selena terkekeh, menunduk lalu mengecup kening putrinya. “Wah, hebat banget si kecil Mama. Tapi sekarang waktunya sekolah, ya. Ayo, nanti Bunda Dhea nungguin di gerbang.”
Arunika mengangguk cepat. “Iya, tapi Ayah nggak antar?”
Selena sempat melirik Daren, lalu tersenyum lembut. “Ayah istirahat dulu, ya. Nanti pulang sekolah Ayah jemput, gimana?”
Daren mengangguk. “Janji, deh. Pulang sekolah Ayah jemput Arunika pulang.”
“Yeeay!” Arunika bersorak kecil lalu menepuk tangan kegirangan.
Setelah itu, Selena menyiapkan payung dan menggandeng tangan putrinya menuju pintu. Hujan masih turun rintik-rintik di luar, suara gemericiknya berpadu dengan tawa kecil Arunika yang riang.
Sebelum keluar, Selena sempat menatap Daren lagi. “Kak, jangan lupa minum obatnya, ya. Aku taruh di meja makan. Kalau masih panas, kabarin aku di kantor.”
Daren mengangguk dengan senyum hangat. “Iya, Ma. Hati-hati di jalan. Jangan kebut-kebutan.”
Selena hanya menatapnya sambil tersenyum, lalu berbalik menuju mobil. Arunika melambaikan tangan kecilnya dari dalam. “Dadah, Ayah! Cepet sembuh yaaa!”
Daren membalas lambaian itu sambil tersenyum lebar. “Dadah, sayang. Ayah tunggu nanti pulang sekolah.”
Begitu pintu tertutup, rumah kembali hening. Suara hujan jadi satu-satunya yang menemani. Daren bersandar di sofa, menatap jendela dengan tatapan hangat.
Sesaat ia memejamkan mata, teringat masa lalu — masa ketika rumah ini terasa sepi tanpa tawa anak kecil, tanpa aroma bubur hangat, tanpa suara lembut Selena yang membangunkannya tiap pagi.
Kini semua itu ada di hadapannya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa… utuh.