Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

1. Kehilangan Yang Tak Pernah Siap Di Terima

Pernahkah kalian merasakan kehilangan seseorang yang begitu kalian cintai?

Mungkin hampir semua orang pernah. Namun bagi Selena, kehilangan itu datang terlalu cepat—terlalu tiba-tiba. Ia bahkan belum sempat bersiap, belum sempat membayangkan hidup tanpanya.

Kehilangan suami di saat keluarga kecil mereka sedang merajut kenangan, adalah luka yang tak terbayangkan. Putrinya yang baru berusia tiga tahun pun harus merasakan kehilangan yang bahkan tak sanggup ia pahami.

Selena tak pernah membayangkan akan kehilangan Kavi secepat itu. Tanpa aba-aba, tanpa firasat—semuanya berakhir di hari ketika mobil Kavi mengalami kecelakaan seusai menghadiri rapat di luar kota.

Laki-laki yang begitu ia cintai, meninggalkannya setelah berjanji akan pulang membawa kebahagiaan. Kini, semua yang tersisa hanyalah kenangan.

Tiga tahun berlalu, namun luka itu tak pernah benar-benar sembuh.

Selena belajar berdiri kembali demi Arunika—putri semata wayangnya. Tapi setiap malam, saat sunyi menyelimuti kamar, ia masih menatap kosong ke langit-langit, berharap Kavi hanya sedang dinas di luar kota dan akan segera pulang.

 

“Mah... aku nggak bisa. Aku nggak mau menikah lagi. Aku nggak mau menggantikan Mas Kavi dengan siapa pun,” ucap Selena lirih, menatap ibunya dengan mata basah.

“Selen, Kavi sudah tiada tiga tahun yang lalu, Nak,” jawab Laras lembut. “Kamu harus belajar mengikhlaskan dan melanjutkan hidup. Pikirkan juga Arunika. Ia butuh sosok ayah. Lihat dia sekarang, dia iri pada teman-temannya yang di antarkan sekolah oleh ayahnya."

Selena terdiam. Tatapannya beralih pada Arunika yang duduk di sudut ruangan, masih sesenggukan sepulang sekolah.

Anak itu terus meminta ayahnya pulang, ingin seperti teman-temannya yang diantar ke sekolah oleh sang ayah.

Namun Selena bisa apa? Kavi sudah tiada.

Dengan hati remuk, Selena memeluk anaknya erat. “Maaf, Sayang... Mama nggak bisa bawa Papa pulang,” bisiknya dengan suara bergetar.

Air mata mereka pun bercampur—antara rindu dan kehilangan yang belum selesai.

Arunika masih terisak di pelukan Selena. Tubuh mungilnya bergetar, tangan kecilnya mencengkeram erat baju ibunya seolah takut kehilangan lagi. Selena membelai rambut putrinya perlahan, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri nyaris hancur berkeping.

“Papa bohong ya, Ma?” suara lirih itu keluar di sela tangis. “Papa janji mau ajak aku ke taman pas udah bisa makan sendiri mau ajak aku ke kebun binatang... tapi Papa nggak pulang-pulang...”

Selena menahan napas. Dada kirinya sesak, seolah ada batu besar menimpa. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana.

Tangannya gemetar saat menyeka air mata di pipi Arunika.

“Nggak, Sayang... Papa nggak bohong,” katanya pelan, menahan suaranya agar tidak pecah. “Papa cuma... udah pulang ke rumah yang jauh. Rumah yang nggak bisa Mama dan Aru datangi sekarang.”

Arunika menatap ibunya dengan mata bulat basah. “Terus... Papa nanti balik, Ma?”

Pertanyaan polos itu menancap tepat di hati Selena.

Ia memejamkan mata, menggigit bibir agar tak menangis lebih keras dari putrinya sendiri.

"Sudah tidak bisa, sayang. Tapi papa bakal selalu jagain kita dari jauh, Sayang.”

Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang menemani mereka.

Pelukan Selena semakin erat, seolah berusaha menyatukan dua hati yang sama-sama kehilangan.

Hujan deras di luar terasa seirama dengan derasnya air mata mereka malam itu.

 

Keesokan harinya, setelah tangisan panjang malam itu, Arunika kembali ceria seperti biasanya—seolah badai kecil di hatinya telah berlalu begitu saja. Anak itu memang mudah tersenyum, mudah pula terluka. Selena tahu, di balik tawa polos itu masih tersisa ruang kosong yang belum terisi; ruang yang dulu diisi oleh sosok Kavi.

Namun siang itu, saat mereka sedang duduk di meja makan, Arunika tiba-tiba berkata dengan mata berbinar, “Mama, besok Aru mau main sama Depa, ya. Aru nggak mau sekolah.”

Selena menghentikan sendoknya sejenak, menatap heran. “Depa? Emangnya Pakde Daren udah pulang dari Paris, Sayang?”

Anak itu mengangguk mantap, pipinya sedikit belepotan saus stroberi. “Iya! Kemarin Aru ketemu Depa waktu jalan sama Tante Nayla di taman. Katanya besok mau ajak Aru main. Aru boleh, kan?”

Selena tersenyum lembut, mencoba menyesuaikan diri dengan antusiasme putrinya. “Boleh, Sayang. Tapi Aru janji jangan nakal, ya. Jangan makan sembarangan juga. Mama nggak mau kamu sakit lagi.”

Arunika langsung mengangguk semangat, kedua kakinya menendang-nendang kursi dengan riang. “Janji, Ma!”

Selena terkekeh kecil. Melihat tawa itu, hatinya sedikit hangat. Sudah lama ia tak melihat Arunika sebahagia ini.

 ---

Memasuki halaman rumah mertuanya, rumah yang dulu sering ia datangi bersama Kavi, tapi sekarang ia datang hanya bersama Arunika, anaknya.

“Len!!”

Suara berat itu terdengar dari arah pintu. Selena menoleh, dan di sana berdiri seorang pria bertubuh tegap—Daren Aurelio Vance, kakak kandung Kavi.

Wajahnya berubah hangat begitu melihat Arunika. “Wih, anak Depa udah tinggi banget sekarang!” ujarnya sambil mengangkat Aru ke gendongannya.

“Long time no see, baby girl! Pakde kangen banget sama kamu!” katanya sambil mencubit pipi keponakannya.

“Depa, aku bukan anak kecil lagi, tau! Aku udah besar, buktinya sekarang aku udah bisa makan sendiri,” protes Aru cemberut.

Daren pura-pura merajuk. “Waduh, ponakan gue sekarang udah sombong, ya! Udah gak mau dipanggil baby girl lagi."

Selena hanya bisa menggeleng kecil. “Kak, tolong bahasanya dijaga. Nanti Aru ngikutin,” katanya lembut.

Daren terkekeh. “Siap, siap. Yuk, masuk. Mama udah masak banyak.”

Selena berjalan mengikuti Daren yang lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan Arunika di gendongannya.

 

Makan bersama kali ini terasa lebih hangat dari biasanya. Pasalnya, anak sulung mereka, Daren, menantunya Selena, dan cucu kecil mereka datang berkunjung. Hal itu membuat Arga dan Sekar tak bisa menyembunyikan senyum bahagia yang terus mengembang di wajah mereka.

Suasana meja makan dipenuhi tawa dan cerita.

Daren bercerita panjang lebar tentang kepulangannya dari Paris—tentang proyek besar yang baru saja ia rampungkan, tentang cuaca musim gugur di sana, dan tentang betapa ia merindukan masakan rumah. Sesekali, ia menggoda Aru, keponakannya yang duduk di samping.

“Waktu di Paris, aku kangen banget sama sambal buatan Mama,” ujar Daren sambil tersenyum. “Ternyata selama ini aku baru sadar, rasa rumah cuma bisa dibuat sama Mama.”

Sekar tertawa kecil, “Kalau begitu, mulai sekarang kamu sering-sering makan masakan mamah sampai bosen sendiri."

Semua tertawa mendengar jawabannya.

Namun perhatian Selena teralihkan ketika matanya menatap piring makan putrinya, Arunika, yang masih penuh dengan lauk dan nasi. Arunika tampak serius—alisnya berkerut, tangannya kecilnya menggenggam sendok dengan hati-hati. Ia memandangi piring itu seolah sedang berhadapan dengan ujian besar.

“Sayang, kenapa nggak dimakan?” bisik Selena lembut sambil mengusap rambut anaknya.

Arunika langsung mendongak dan berkata dengan penuh semangat, “Aku bisa makan sendiri, Ma. Lihat ya! Aku makan banyak biar Pakde tau,” katanya dengan suara lantang, membuat semua orang di meja makan spontan menoleh.

Daren menahan tawa, lalu menatap keponakannya dengan senyum hangat.

“Wah, hebat banget Aru. Pakde jadi tau deh Aru makannya udah sendiri. Tapi pelan-pelan ya, nanti keselek.”

Arunika mengangguk cepat, lalu menyendok nasi besar-besar dan berusaha memasukkannya ke mulut. Sekar menatap cucunya geli sambil berkomentar,

“Duh, kayaknya ada yang lagi pamer nih."

"Iya dong," jawab Arunika percaya diri.

Tawa pun pecah memenuhi ruangan. Arga sampai menepuk meja ringan sambil terkekeh.

Selena ikut tertawa, meski di matanya terselip kehangatan yang tak bisa disembunyikan. Pemandangan sederhana itu—anaknya yang berusaha tumbuh mandiri, dan tawa yang memenuhi rumah—membuat dadanya terasa hangat.

 

Setelah makan, Selena duduk bersama mertuanya di ruang tengah. Dari jendela, ia bisa melihat Daren dan Aru bermain di halaman belakang, tertawa bersama.

“Selen,” panggil Sekar lembut. “Mama mau bicara sebentar, boleh?”

Selena mengangguk pelan. “Boleh, Mah. Ada apa?”

“Nak, kemarin Mama dan Papa sempat bertemu orang tuamu. Kita membicarakan banyak hal—tentang kamu, tentang Aru, dan... tentang Kavi.”

Selena menunduk, memainkan jemarinya yang gemetar. Perasaannya tak enak.

“Mama tahu kamu masih sangat mencintai Kavi,” lanjut Sekar. “Tapi Aru sudah semakin besar. Ia butuh sosok ayah, Nak. Mama dan Papa nggak apa-apa kalau kamu mau menikah lagi.”

Selena menggeleng cepat, air matanya mulai menetes.

“Aku bisa hidup sama Aru aja, Mah. Aku nggak bisa gantiin Mas Kavi. Aku juga nggak tertarik untuk menikah lagi. Aku akan jaga Aru sebaik mungkin.”

Sekar terdiam, sedih.

Sementara Arga, ayah mertua Selena, menepuk bahu menantunya lembut. “Sudahlah, Sekar. Jangan dipaksa. Kita nggak tahu bagaimana rasanya kehilangan seperti dia. Biarkan waktu yang menyembuhkan.”

Selena menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pah...”

 

“MAA! Lihat! Aru dapet banyak coklat dari Depa!”

Suara kecil itu memecah keheningan. Arunika berlari masuk bersama Daren yang menggendongnya di bahu.

Tawa mereka memenuhi ruangan, membuat semua mata menoleh.

“Depa besok anterin Aru ke sekolah, ya!” seru anak itu ceria.

“Aru mau kenalin Depa ke temen-temen!”

Selena tak sempat menjawab saat Aru tiba-tiba berlari ke arahnya dan berkata dengan polosnya,

“Mama... boleh nggak Depa jadi papanya Aru?”

Kalimat itu membuat semua orang di ruangan terdiam.

Daren terpaku, Selena menatap putrinya dengan mata berkaca, dan Sekar menutup mulutnya menahan haru.

Dalam sekejap, seluruh perasaan yang selama ini ditahan Selena kembali menyeruak—rindu, kehilangan, dan kehangatan yang tak pernah ia duga akan muncul dari tawa sederhana seorang anak kecil.

 

Terpopuler

Comments

Favmatcha_girl

Favmatcha_girl

Aduh sedihnya, meskipun gak pernah mengalami tapi merasakan sedih☹️

2025-10-29

2

Favmatcha_girl

Favmatcha_girl

Kalau ada di dunia nyata pasti langsung down banget☹️

2025-10-29

2

Favmatcha_girl

Favmatcha_girl

Papa kamu udah tidur di tanah, Aru.

2025-10-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!