Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Pagi itu, Rada berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa, menekan segala pikiran yang mengganggu. Udara pagi terasa segar, langit Jakarta masih berwarna keperakan saat ia menatap keluar jendela sambil meminum segelas kopi hangat.
"Aku harap hari ini nggak ketemu manusia menyebalkan kayak Gavin," gumamnya pelan, menyesap sedikit kopinya.
Setelah menghabiskan segelas kopi, Rada memastikan rambutnya rapi dan kemeja biru muda yang dikenakannya tidak kusut, ia mengambil tas kerja dan berangkat.
Di perjalanan menuju kantor barunya, Rada sempat merasa gugup. Meski sistem dan lingkup perusahaan masih sama, suasana pasti berbeda. Ia harus beradaptasi lagi dengan rekan baru, lingkungan baru, dan mungkin... perhatian tak diinginkannya dari keluarga Gavin jika kabar pernikahan itu makin serius.
Begitu tiba di kantor, Rada disambut oleh seorang resepsionis ramah yang membawanya ke ruangan HR untuk orientasi singkat. Kantornya jauh lebih hangat dibandingkan cabang di New York — tidak terlalu formal, dan setiap orang yang ia temui tersenyum sopan.
Ia dibawa ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan oleh para backend developer. Tim di ruangan ini lebih dari dua puluh orang membuat ruangan menjadi sangat ramai.
"selamat pagi semuanya, aku Nerada Athalia, baru pindah dari kantor cabang New York." Rada memperkenalkan diri di depan semua orang.
Orang-orang dalam ruangan itu menyambutnya ramah meskipun ada beberapa yang bersikap dingin.
Setelah perkenalan, Rada duduk di meja paling ujung. Ia baru saja duduk ketika ponselnya bergetar di dalam tas. Ia melihat nomor asing yang muncul di layar dan spontan menarik napas pelan.
Nomor baru lagi.
Ia menatap nama itu lama sebelum akhirnya membuka pesan singkat yang dikirimnya dan sedikit heran pesan itu dari orang yang tidak ia duga.
[08×××× : Semoga harimu menyenangkan. Simpan nomorku, Gavin.]
Rada mendecak pelan, menggeleng. “Nggak mau! Nggak bakal Kusimpan…” gumamnya pelan sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Ia mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tapi jauh di dalam pikirannya, ada perasaan aneh, ia kesal tapi juga penasaran. Gavin tiba-tiba datang ke hidupnya.
"Bukannya dia nggak mau dekat-dekat sama perempuan ya? Kok sekarang udah kayak hantu aja, sering banget muncul tiba-tiba di dekatku?" Gerutu Rada. Sambil bekerja, Rada juga sesekali menggerutu.
Setelah empat jam bekerja akhirnya jam makan siang tiba. Rada memutuskan turun ke kantin bersama beberapa rekan barunya. Ia masih mencoba berbaur, tersenyum sopan dan menahan diri untuk tidak terlalu banyak bicara. Kantin itu cukup besar dan penuh suara tawa serta obrolan. Rada baru saja menaruh nampan makan di meja ketika matanya tanpa sengaja tertuju pada sosok yang familiar di sisi ruangan.
Gerakannya langsung terhenti.
Gavin.
Pria itu berdiri di dekat pintu, mengenakan setelan abu muda dengan kemeja putih. Wajahnya datar seperti biasa, sedikit dingin, sementara di sebelahnya berdiri seorang wanita berpenampilan profesional sepertinya sekretarisnya. Mereka berbicara sebentar sebelum Gavin menerima map dari wanita itu dan berjalan menuju lift pribadi di ujung ruangan.
Rada spontan memalingkan wajah, berharap Gavin tidak melihatnya. Tapi rasa penasaran yang membuncah membuatnya tetap melirik diam-diam.
Salah satu karyawan di sebelahnya, Sania, memperhatikan arah pandangan Rada lalu tersenyum. “Kamu kelihatannya baru pertama kali lihat Pak Gavin ya?”
“Pak… Gavin?” Tanya Rada berusaha bersikap tenang
“Iya, CEO kita. Baru dua tahun menjabat, tapi performa perusahaan naik pesat banget,” jawab Sania sambil menatap ke arah lift. “Biasanya susah banget lihat beliau di kantor pusat, tapi katanya minggu ini beliau mau pantau langsung tim baru.”
Rada tercekat, sendok di tangannya berhenti di udara. “CEO?” tanyanya pelan, seolah tidak percaya.
Sania mengangguk cepat. “Iya. Kamu belum tahu? Beliau itu Gavin Reviano Agler, lulusan Stanford, anak bungsu dari pemilik grup Agler Global Holdings."
Nama itu membuat jantung Rada berdetak cepat. Jadi selama ini ia bekerja di perusahaan Gavin? Tunggu... Perusahaan game Apexion milik Gavin? Astaga! Kenapa Rada tidak tahu selama ini.
"Kok kamu nggak tahu? Emangnya nggak pernah ketemu di New York? Setahuku, dia sering lho ke kantor cabang New York, iya kan Vel?" Kata Sania seraya meminta persetujuan rekan lainnya bernama Vella.
"Benar banget. Sejak dia menjabat jadi CEO Apexion, dia lebih sering ke kantor cabang New York dibandingkan kantor pusat. Bahkan jarang sekali karyawan disini yang bisa lihat beliau disini." Vella menambahkan.
Rada menelan ludah, mendadak kehilangan selera makan. Sialnya, seharusnya ia mencari tahu dari lama pemilik perusahaannya, sekarang ia resmi bekerja di bawahnya. Rada hanya berharap Gavin tidak mengetahuinya.
"Oh... A-aku nggak pernah tahu, mungkin karena selama di kantor cabang, aku lebih sering dalam ruanganku." Kata Rada tidak yakin. Seingatnya, ia sering ikut meeting dan tidak pernah bertemu Gavin. Rada yakin sekali pertemuan pertama mereka adalah di apartemen.
"Wajar sih, beliau lebih suka di balik layar." Rekan lainnya yang sejak tadi diam ikut nimbrung, satu-satunya pria di meja itu. Ronald.
“Aneh ya orang seperti dia masih sempat kirim makanan malam-malam,” gumam Rada pelan tanpa sadar, membuat Sania menoleh heran.
“Oh, kamu kenal Pak Gavin?” tanya Sania penasaran.
Rada tersenyum canggung lalu cepat-cepat menggeleng. "Nggak. Nggak kenal,"
"Oh, kirain kenal." Sania kembali melanjutkan makannya.
Sendok di tangan Rada hanya berpindah dari piring ke bibir tanpa benar-benar menikmati rasanya. Makanan yang tadinya terlihat lezat kini seperti tak punya rasa sama sekali. Suara riuh di kantin terasa jauh, seolah ia duduk di ruang hampa yang hanya berisi pikirannya sendiri.
"Apa sebaiknya aku risegn aja?" Pikir Rada dalam hati. Kepalanya pusing memikirkannya, jika ia jadi menikah dengan Gavin, ia tidak ingin bekerja disini.
Ia menatap ponselnya, belasan pesan dari ibunya belum sempat ia balas. Semua bertema sama.
[Bunda : Ayah dan Bunda senang sekali, Gavin itu anak yang sopan. Kalian tampak cocok, Rada. Besok malam jangan lupa pakai sesuatu yang rapi, ya, sayang.]
Rada menutup layar ponsel dengan napas berat. “Rapi? Mereka pikir ini kencan formal atau apa?” gumamnya lirih sambil menunduk.
Rekan-rekan di meja mengira Rada hanya sedang kelelahan di hari pertama kerja, jadi mereka tak banyak bertanya.
Ia mengingat lagi tatapan datar Gavin saat mengantar makanan semalam. Tatapan yang sulit diterjemahkan, antara dingin, tenang, dan sedikit… perhatian? Tapi sekarang setelah tahu siapa dia sebenarnya, semuanya terasa jauh lebih rumit.
Bagaimana kalau Gavin juga tidak ingin pernikahan ini? Bagaimana kalau dia menolak dan membuat keluarganya malu di depan ayahnya? Atau lebih buruk lagi… bagaimana kalau dia justru menerima tanpa perasaan apa-apa hanya karena perintah orang tuanya?
Rada menatap keluar jendela besar di ujung kantin, cahaya siang menyilaukan matanya.
Ia memejamkan mata sebentar, berusaha menenangkan diri. Tapi bayangan pertemuan besok malam tetap membuat perutnya mual.
Rada belum siap. Tidak untuk bertemu orang tua Gavin, tidak untuk duduk di meja makan bersama kedua keluarga, dan terlebih lagi tidak untuk membicarakan pernikahan dengan pria yang baru ia kenal beberapa hari lalu.
Rada menatap ponselnya sekali lagi, jari-jarinya gemetar di atas layar. Tapi mungkin ini satu-satunya cara untuk menyingkirkan El selamanya… mungkin ia harus pura-pura menerima permainan ini dulu.
Namun di sudut hatinya yang lain, suara kecil berbisik pelan: “Dan jika kau terlalu lama berpura-pura, Rada… bagaimana kalau nanti kau mulai sungguh-sungguh?”
......