PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Setelah Fiona selesai berbicara, Vergil menghela napas panjang dan berbalik tanpa sepatah kata pun, melangkah menjauh meninggalkan Fiona yang masih duduk di atas ranjang. Suara langkahnya terdengar pelan di lantai marmer, seolah dia tidak berniat kembali.
Fiona memandang punggung tegapnya yang perlahan menjauh, matanya menyipit dengan keheranan. Tiba-tiba, dia mengangkat suaranya, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Kenapa kau tidak bertanya?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Langkah Vergil terhenti di depan pintu, tapi dia tidak berbalik. "Untuk apa?" Vergil menjawab, suaranya terdengar datar dan dingin, tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Bukankah kau harus menanyakannya? Rencanamu, rencanaku, segalanya. Tidak bisakah kau menanyakan apa yang kupikirkan?" tanya Fiona dengan nada yang semakin meninggi, hatinya merasa sedikit terganggu oleh sikapnya yang acuh tak acuh.
"Tidak perlu," jawab Vergil, akhirnya berbalik menghadap Fiona. "Apa gunanya bertanya ketika kau sudah mengambil keputusan, Fiona? Kau selalu mengambil keputusan dengan cepat, dan kau tidak pernah mendengarkan siapa pun. Jadi, apa gunanya aku bertanya?"
"Justru itu! Aku tidak pernah tahu kau akan melangkah pergi tanpa berkata apa pun, tanpa bertanya, tanpa peduli! Kau tidak seperti ini, Pangeran Vergil! Kau peduli dan kau bertanya, itulah dirimu!" seru Fiona, suaranya meninggi, ada nada frustrasi di dalamnya. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tetapi tubuhnya masih lemah dan ia terhuyung.
Vergil berjalan kembali ke arah ranjang, matanya menatap tajam ke arah Fiona. "Kau pikir aku peduli? Kau salah, Nona. Sejak awal, aku hanya ingin memanfaatkanmu. Hanya itu."
"Kalau begitu, mengapa kau melindungiku? Mengapa kau begitu peduli padaku?" tanya Fiona, matanya membelalak, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku tidak peduli. Kau salah mengira." Vergil membalas, suaranya dingin dan menusuk. "Aku hanya ingin menggunakanmu untuk menjatuhkan Felix. Setelah itu, kau bisa mati atau hidup, aku tidak akan peduli."
Fiona membalas tatapan Vergil, tetapi tidak berkata apa pun. Pria itu menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya, seolah dia melihat sesuatu yang sangat lucu.
"Nah, tampaknya kau sudah sembuh," katanya sambil mencondongkan tubuhnya, menatap Fiona dengan tatapan penuh perhitungan. "Tunggu di sini, gadis bodoh. Aku akan menculik Ratu Eleanor sesuai keinginanmu.
Setelah itu, kita akan lihat apakah kau masih memiliki otak yang berguna bagiku." Vergil kemudian melangkah pergi, tanpa menunggu balasan dari Fiona. Pintu kamar tertutup dengan bunyi berderit pelan, meninggalkan Fiona sendirian di dalam kamar yang sunyi.
Vergil melangkah keluar dari kamar, menyusuri koridor yang panjang. Langkahnya tetap tenang dan pasti, seolah-olah percakapan tadi tidak memengaruhi dirinya sedikit pun.
Di depannya, dari arah berlawanan, ia melihat Ratu Eleanor berjalan dengan santai, diiringi oleh dua pengawal. Pandangan Vergil mengamati setiap gerak-gerik sang Ratu, senyum licik terukir di wajahnya. Langkahnya melambat, ia berjalan perlahan, mengikuti Ratu Eleanor dari belakang, menyembunyikan dirinya dalam bayangan pilar. Ia menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencananya.
Vergil melihat Ratu Eleanor menoleh ke arah pengawalnya. Matanya mengisyaratkan sesuatu, dan kedua pengawal itu segera berbalik dan pergi, meninggalkan Ratu Eleanor sendirian. Vergil tahu ini adalah kesempatan terbaiknya. Dengan seringai licik, ia keluar dari bayangan pilar dan melangkah maju. "Pangeran Vergil?" Ratu Eleanor bertanya, terkejut melihatnya di sini. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Bukankah sudah jelas? Tentu saja aku di sini untuk menculikmu," jawab Vergil dengan nada mengejek. "Kau tahu, aku tidak pernah menyangka kau akan begitu bodoh, Yang Mulia. Meninggalkan pengawalmu begitu saja. Sungguh ceroboh."
"Kau gila, Vergil!" Ratu Eleanor membalas, suaranya dipenuhi ketakutan yang berusaha ia sembunyikan. "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja? Kau akan berakhir di penjara seumur hidup, atau bahkan dieksekusi!"
"Oh, aku tidak yakin akan hal itu, Yang Mulia," Vergil membalas, ia berjalan mendekat ke arahnya, matanya menatap tajam ke arah Ratu. "Karena aku tidak akan meninggalkan jejak apa pun. Tidak ada yang akan tahu bahwa kau diculik. Mereka akan mengira kau kabur, atau bahkan mati. Kau tahu? Aku tidak peduli."
"Kau...!" Ratu Eleanor tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Pandangan matanya berubah menjadi ketakutan saat Vergil mengeluarkan sebilah pisau dari balik jubahnya.
Vergil dengan cekatan membekap mulut Ratu Eleanor dengan tangannya yang lain, menyeretnya ke dalam bayangan pilar. Pisau di tangannya berkilauan, menyentuh leher Ratu dengan tekanan pelan, seolah memberi peringatan. "Diamlah, Yang Mulia. Jangan berteriak. Aku tidak ingin melukaimu, tapi jangan paksa aku," bisiknya, suaranya terdengar mengancam.
Ratu Eleanor gemetar ketakutan. Vergil kemudian mengeluarkan botol kecil dari balik jubahnya, membuka tutupnya, dan mengoleskan cairan di dalamnya ke sapu tangan, lalu menyentuhkannya ke hidung Ratu. Ratu Eleanor mencoba berontak, tapi Vergil lebih kuat.
Tak butuh waktu lama sampai tubuh Ratu Eleanor lemas dan matanya terpejam. Vergil menggendong tubuh Ratu Eleanor yang tak sadarkan diri, lalu membawanya pergi. Ia berjalan menyusuri koridor, melintasi taman belakang istana, dan menuju ke gerbang belakang.
Ia menyelinap keluar tanpa menarik perhatian siapa pun. Ia berjalan ke arah hutan, ke rumah kecil di luar istana. Vergil meletakkan Ratu Eleanor di ranjang yang bersih, mengikat tangannya ke kepala ranjang, kemudian membiarkannya terbaring di sana. Setelah itu, ia melangkah ke luar, menunggu Fiona di gerbang istana.
Waktu berlalu, tetapi Fiona tak kunjung datang. Vergil mulai merasa gelisah, ia melirik ke arah gerbang istana yang masih sepi, lalu menghela napas panjang.
Ia sudah bisa menebaknya, Fiona terlalu lemah untuk berjalan, bahkan untuk pergi ke gerbang istana. Ia mengepalkan tangannya, kemudian berbalik dan berjalan kembali ke istana.
Ia menyelinap masuk melalui gerbang belakang, kembali ke kamar tempat ia meninggalkan Fiona. Pintu kamar masih tertutup rapat, dan Vergil membukanya dengan perlahan.
Vergil melihat Fiona masih berbaring di atas ranjang, matanya terpejam, tubuhnya gemetar.
Vergil berjalan mendekat, dan berlutut di samping ranjang. "Kau tahu? Aku sudah bisa menebaknya," bisiknya, suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ejekan di sana.
Fiona membuka matanya, menatapnya dengan pandangan kosong. "Aku sudah menunggu selama satu jam," lanjut Vergil, senyum licik terukir di wajahnya. "Dan kau tidak datang. Sungguh mengecewakan."
"Aku tidak bisa berjalan," Fiona membalas, suaranya terdengar serak. "Aku sudah mencoba."
"Tentu saja kau tidak bisa," Vergil membalas, ia mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Fiona dengan ibu jarinya. "Kau terlalu lemah, gadis bodoh. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana, tapi kau terlihat seperti habis dipukuli."
"Jangan sentuh aku," bisik Fiona, ia memalingkan wajahnya. "Aku benci disentuh."
"Aku tahu," Vergil membalas, ia menarik tangannya kembali. "Tapi kau harus ikut denganku." Vergil kemudian menggendong Fiona dalam pelukannya, melindunginya dengan jubahnya, dan membawanya keluar dari istana.
Vergil membawa Fiona ke rumah sepi di luar istana, membuka pintu, dan melangkah masuk ke dalam. Di sudut ruangan, tergeletak di atas ranjang dengan tangan terikat ke kepala ranjang, Ratu Eleanor sudah sadar dan kini matanya melotot dipenuhi kemarahan.
Ketika melihat Vergil dan Fiona memasuki ruangan, wajahnya dipenuhi rasa jijik. "Sudah kuduga, ini rencanamu, jalang sialan" Ratu Eleanor meludah, suaranya dipenuhi amarah. "Kau akan mendapatkan balasan atas tindakanmu ini"