“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh Belas
Elena terbangun oleh aroma wangi yang samar-samar memenuhi kamar. Matanya masih terasa berat, kepala sedikit pening karena semalaman hampir tak tidur. Mungkin ini gila, dia dan Axel mengulangi hubungan badan menjelang subuh. Pelan-pelan ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya pagi yang menerobos dari celah gorden.
Begitu fokusnya kembali, ia melihat nampan sarapan sudah rapi di atas meja samping tempat tidur. Ada roti panggang, telur mata sapi, irisan buah, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Untuk sesaat Elena hanya menatapnya, lalu ia mendengar suara air dari arah kamar mandi.
Hatinya langsung tergerak. "Itu pasti Axel."
Ia duduk perlahan, meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Nafasnya agak berat. Malam tadi, Elena menelan ludah mengingat kejadiannya, mereka sudah melangkah terlalu jauh. Bukan sekali, tapi dua kali. Hanya mengingatnya saja membuat pipinya panas.
"Apa yang sudah aku lakukan ...," gumam Elena lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Ada rasa bersalah menyelinap di dadanya. Rasa yang sama seperti tadi malam, tepat setelah mereka terbaring lelah, saling memunggungi. Elena menggigit bibir. Aku ini istri orang. Bagaimanapun, aku dan Aldi masih menikah. Aku sudah mengkhianati janji pernikahan kami.
Namun, seperti yang Axel katakan semalam, Aldi yang pertama kali merusak janji itu. Ia yang duluan selingkuh dengan Lisa, sahabat yang pernah Elena percaya. Ia yang membuat pernikahan mereka hancur tanpa rasa bersalah. Elena menghela napas panjang.
"Kenapa cuma aku yang berjuang, ya?" tanya Elena dengan suara lirih. "Kenapa cuma aku yang harus merasa bersalah?"
Ia memejamkan mata sejenak. Membayangkan wajah Aldi yang mungkin saat ini sedang tertawa bersama Lisa entah di mana. Membayangkan bagaimana mereka menghabiskan waktu sementara dirinya di sini, di hotel, merasa hancur.
"Enggak ...," batin Elena bersuara dan mendadak mengeras. "Aku enggak salah. Aku cuma capek. Aku cuma ... pengen ngerasain dipilih. Diprioritaskan. Dihargai."
Suara air berhenti. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka.
Axel keluar hanya dengan handuk putih melilit di pinggangnya. Air menetes dari rambutnya yang masih basah, menelusuri dada bidangnya hingga ke perut. Cahaya pagi yang masuk dari jendela membuat kulitnya terlihat lebih terang.
Elena langsung membuang muka, pipinya kembali memanas. Ia menarik selimut sampai menutupi hampir seluruh wajahnya.
Axel menyadari itu, lalu tersenyum miring. Dengan langkah santai ia mendekati sisi ranjang. "Pagi," ucap Axel, suaranya serak tapi terdengar hangat.
Elena hanya mengangguk pelan, tak berani menatapnya.
Axel menyandarkan satu tangannya di kasur, tubuhnya menunduk, wajahnya semakin dekat dengan Elena. Jarak mereka hanya tinggal beberapa inci.
"Jangan malu, Lena," ujarnya pelan dengan nada menggoda. "Lebih dari ini kamu sudah lihat, kan?"
Elena memejamkan mata, makin menarik selimut. "Axel ... masih pagi. Jangan main-main," bisik Elena protes, suaranya nyaris tak terdengar.
Axel tertawa kecil. Suara tawanya berat, membuat bulu kuduk Elena meremang. "Kalau kamu mau main lagi, aku siap!"
Elena buru-buru bangkit, berniat menjauh. Tapi ia lupa satu hal, selimut yang ia kenakan ikut tersibak saat ia bergerak. Tubuhnya yang polos langsung terekspos.
Elena menahan napas, lalu dengan cepat menarik kembali selimutnya dan menutup tubuhnya rapat-rapat. Pipinya memerah seketika.
Tawa Axel pecah lebih keras kali ini. "Astaga, Lena," katanya sambil menggeleng. "Kamu lucu banget kalau panik gini. Atau kamu sengaja menggodaku!"
Elena cemberut, masih menatap ke arah lain. "Kamu tuh enggak usah ketawa! Siapa juga yang menggodamu!"
Axel duduk di tepi ranjang, wajahnya masih dihiasi senyum. "Kenapa nggak? Kamu imut banget, malu-malu gini. Padahal semalam kamu ...." Ia sengaja menggantung kalimatnya.
"Axel!" potong Elena cepat, wajahnya makin panas.
Axel mengangkat kedua tangan seolah menyerah, tapi senyum nakalnya tak hilang. "Oke, oke. Aku diem. Tapi beneran deh, kamu enggak perlu malu sama aku."
Elena mendesah pelan. Ia tahu Axel benar. Tapi tetap saja, hatinya terasa campur aduk.
Axel berdiri dan meraih handuk lain untuk mengeringkan rambutnya. "Sarapan dulu, yuk. Kamu pasti lapar."
Elena hanya diam, memeluk selimut. Dia takut selimut kembali jatuh.
Axel menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Nada suaranya berubah sedikit lebih lembut. "Lena, denger. Semalam itu bukan cuma tentang ... ya, kamu tahu." Ia menunjuk ranjang. "Tapi tentang kamu dan aku. Tentang kamu yang akhirnya berhenti menyiksa diri sendiri."
Elena menatapnya dengan mata berair.
"Kalau kamu masih merasa bersalah, enggak apa-apa," lanjut Axel. "Itu tandanya kamu masih punya hati. Tapi jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kamu enggak salah, Lena."
Elena terdiam. Kata-kata itu lagi-lagi menusuknya.
Axel melangkah mendekat, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Elena yang masih menggenggam selimut. "Aku tahu kamu masih mikirin dia. Tapi aku janji, aku bakal bikin kamu berhenti ngerasa kamu sendirian di dunia ini."
Elena menatap tangan Axel yang menggenggamnya. Ada rasa hangat menjalar dari ujung jarinya.
"Aku enggak minta kamu langsung melupakan Aldi," tambah Axel pelan. "Aku cuma minta kamu kasih kesempatan sama dirimu sendiri untuk bahagia lagi. Kamu udah terlalu lama menderita, Lena."
Air mata Elena menetes lagi, kali ini bukan karena rasa bersalah, tapi karena perasaan lega yang entah kenapa muncul.
Ia mengangguk pelan. "Aku ... aku enggak tahu bisa atau enggak. Tapi aku mau coba."
Axel tersenyum kecil. Ia mengusap kepala Elena lembut. "Itu aja udah cukup."
Untuk sesaat kamar itu hening. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar.
Kemudian Axel berdiri. "Oke, sekarang kamu sarapan dulu. Aku ganti baju."
Elena akhirnya tertawa kecil, merasa suasana sedikit mencair. Ia meraih roti panggang dan mulai makan pelan-pelan, meski selimut tetap ia tarik menutupi tubuhnya.
Axel berganti pakaian di depan lemari tanpa rasa canggung, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Saat selesai, ia menatap Elena yang masih duduk di ranjang.
"Nanti siang kita pulang setelah meeting. Kamu siap?" tanya Axel.
Elena menatapnya sejenak. Ada rasa tegang, karena berarti mereka akan kembali bertemu Aldi di kantor. Tapi ia mengingat kata-kata Axel semalam.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Siap."
Axel tersenyum puas. "Bagus. Aku suka kamu yang begini."
Elena tersipu, tapi kali ini ia tidak mengalihkan pandangan. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit kuat.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2