Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
"Selamat pagi, Pumpkin. Apa kau tidur nyenyak semalam?" bisik Malika sambil duduk bersila di atas tempat tidur sambil mengusap kepala kucing oranye yang asik menjilati kakinya.
Pumpkin mengangguk kecil, mungkin hanya refleks menjilat, tapi Malika sudah menafsirkannya sebagai jawaban.
Malika menguap lebar, merenggangkan otot-ototnya lalu turun dari tempat tidur. Ia membuka tirai, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk, kemudian membuka jendela lebar-lebar.
"Haaah… sejuk sekali," gumamnya sambil menghirup udara dalam-dalam. "Entah kapan terakhir kali Lika menghirup udara sesejuk ini."
Selama tinggal bersama Jhon, pamannya yang tukang mabuk itu, Malika lebih sering dikurung daripada dibiarkan keluar rumah. Bahkan untuk membeli sabun sekalipun, ia harus meminta izin.
"Oh iya! Lika harus siap-siap ke kampus!" serunya pada dirinya sendiri. "Kasihan paman Albert, sudah keluar banyak uang. Masa Lika malas-malasan?"
Malika segera bersiap. Cukup cepat.
Gadis itu sudah selesai dengan mandi, skincare seadanya, dan gaya rambut sederhana. Ia mengambil tasnya.
Tok tok!
Pintu kamarnya diketuk.
"Lika, Paman tunggu di luar. Kita sarapan bersama. Jangan lama-lama," ucap Albert dari balik pintu.
"Iya, Paman!" jawab Malika semangat. Ia lalu menepuk kedua pipinya di depan cermin.
"Semangat, Lika! Kau pasti bisa!"
Setelah memberi Pumpkin makan, Malika menenteng tas dan keluar.
Albert sudah duduk di meja makan rumah pelayan, yang hari ini tampak lebih meriah dari biasanya.
"Wah, banyak sekali makanannya, Paman?" Mata Malika berbinar seperti anak kecil di toko permen.
Albert tersenyum bangga. "Itu sebagian menu sarapan tuan muda. Beliau meminta Sofia membagikan sedikit untuk kita."
Malika langsung duduk dan mulai makan. Namun baru dua suap, matanya berkaca-kaca, lalu butiran bening itu menetes.
"Hei! Kenapa? Tidak enak?" Albert panik.
Malika menggeleng.
"Bukan, Paman… Ini pertama kalinya Lika makan makanan semewah ini. Dari kecil, sarapan Lika hanya roti gandum keras tanpa nasi, tanpa lauk,” Ia menunduk, berusaha menahan isak.
Albert menatapnya lama. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi ia tahu luka gadis itu masih terlalu segar.
Ia hanya mengusap kepala Malika pelan. "Sudahlah, Lika. Lupakan masa lalumu. Di sini, Paman pastikan hidupmu terjamin."
Malika tersenyum tipis, mulutnya masih penuh makanan.
"Terima kasih, Paman…"
Albert terkekeh kecil. "Hati-hati nanti tersedak."
*
*
Theo berdiri di depan ranjang, memandangi putrinya yang sibuk bermain ponsel sambil tiduran.
"Papa sudah mengurus kepindahanmu ke kampus ternama di sini," ucap Theo datar. "Gunakan kesempatan itu dengan benar. Jangan membuat ulah."
Kaylin hanya mengangkat alis tanpa menatapnya.
"Kay?" ulang Theo.
Masih tak ada respons. Seakan suara ayahnya hanyalah angin lalu.
Rahang Theo mengeras. Dalam sekejap ia merebut ponsel Kaylin dan melemparkannya ke lantai, lalu menghancurkannya berkeping-keping.
"Papa!!" Kaylin langsung duduk tegak dengan mata melotot. "Itu ponsel keluarkan terbaru! Apa Papa sudah gila?!"
"Jaga nada bicaramu!" bentak Theo. "Papa ini orang tuamu, Kaylin!"
Kaylin mendelik. "Lalu? Ponselku rusak karena orang tuaku sendiri! Hebat!"
Theo memijit pelipisnya. Sikap putrinya akhir-akhir ini mengingatkannya pada Jenifer saat dulu mereka masih berkencan, keras kepala dan mudah tersulut emosi.
"Cukup, Theo." Suara Jenifer terdengar dari ambang pintu. "Kau harus segera bersiap. Biar aku yang bicara dengan Kaylin."
Theo menatap istrinya sejenak lalu menghela napas.
"Kita berkunjung ke Mansion Frederick hari ini, bukan?" tanya Jenifer.
"Ya," jawab Theo singkat.
"Aku merindukan Alex, Leon, dan Leana," ucap Jenifer sambil tersenyum kecil.
Begitu mendengar nama Alex, Kaylin langsung memutar badan.
"Aku ikut! Mama izinkan aku ikut!"
Theo menatap Kaylin tajam. "Alex sudah melarangmu datang tanpa izin."
Kaylin mengibaskan tangan. "Aku tidak perlu izin seperti itu lagi darinya. Aku ingin memberi kejutan. Sebentar lagi kami akan menikah, Papa."
Theo mendengus pasrah. Kalau Kaylin sudah merengek begini, membantah hanya membuat perang baru.
Ia mengambil jasnya. "Terserah. Tapi jangan membuat masalah lagi."
Kaylin tersenyum puas, sementara Jenifer justru menatapnya dengan tatapan rumit, antara khawatir dan sayang.
Karena hari ini Kaylin akan kembali bertemu Alex.
Dan Jenifer tahu, Alex tidak suka diganggu oleh siapa pun, terlebih lagi Kaylin.
Tunangannya sendiri.
malika dan Leon cm korban😄🤣